Masih Muda Tapi Beruban, Pertanda Stres
Sains membuktikan stres menyebabkan rambut memutih secara dini. Stres, melalui aktivasi sistem saraf simpatik, mendorong hilangnya sel-sel induk melanosit, sel-sel induk yang penting dalam regenerasi pigmen
Kita mungkin kerap mendengar orangtua yang menasehati anaknya, jika mereka nakal bakal membuat orangtua stres dan cepat ubanan. Ternyata, sains membuktikan bahwa stres memang menyebabkan rambut memutih secara dini.
Banyak cerita yang mengisahkan, bagaimana orang mengalami ubanan tiba-tiba karena stres, namun mengapa hal itu terjadi masih menjadi tanda tanya hingga berabad-abad. Kisah yang populer adalah memutihnya rambut Marie Antoinetee, Ratu Perancis terakhir.
Ketika sang Ratu memulai usianya yang ke-30, uban mulai muncul di kepalanya. Saat kekacauan politik kian memanas menjelang Revolusi Perancis, rambutnya menjadi semakin putih.
Dalam surat-surat kepada teman-teman dekat, Marie Antoinette menganggap perubahan warna rambutnya itu akibat cobaan berat yang ia alami itu. Bahkan, sebelum dieksekusi di usianya yang ke-38 pada 16 Oktober 1793, banyak didongengkan rambutnya memutih dalam semalam.
Baca juga Relativitas Penuaan
Tentu saja rambut tidak bisa memutih dalam sekejap, kecuali dengan bantuan sebotol pemutih atau karena memakai wig. Kini, untuk pertama kali para ilmuwan membuktikan bagaimana stres memercepat putihnya rambut. Hasil riset ini dipublikasikan di jurnal Nature pada 23 Januari 2020.
Ya-Chieh Hsu, ahli biologi sel punca dari Universitas Harvard dan timnya, menemukan, prosesnya dimulai dengan sistem saraf simpatik, yang mengatur semua proses penting tubuh yang tak pernah kita pikirkan, mulai dari detak jantung, pernapasan, dan hal-hal seperti mencerna makanan dan melawan kuman. Saraf itu juga bertanggung jawab atas respons \'melawan-atau-lari\' (fight-or-fligh), sistem perilaku pilot otomatis yang membantu mengenali dan merespons ancaman sebelum kita mempunyai waktu untuk memikirkan dan memprosesnya.
Stres menyebabkan sistem saraf ini memompa keluar hormon yang menyapu sel punca yang digunakan untuk membuat pigmen rambut. Akibatnya, rambut pun kehilangan warna dan menjadi ubanan.
Tim Harvard ini menemukan kesimpulan ini melalui serangkaian percobaan yang mengukur efek stres pada perubahan warna rambut tikus. Hewan-hewan itu dibuat tertekan minimal empat jam per hari selama beberapa hari melalui kombinasi tempat tidur yang lembab, perubahan penerangan yang cepat, atau membuat kandang mereka dimiringkan.
Sistem saraf simpatik
Pada awalnya, para ilmuwan menduga bahwa stres memicu serangan kekebalan pada sel-sel pembuat pigmen rambut. Namun, hipotesa itu dikesampingkan ketika mereka menemukan bahwa rambut tikus tanpa sel kekebalan masih memutih setelah episode stres. Selanjutnya mereka mempertimbangkan kortisol, hormon yang meningkat sebagai respons terhadap stres. Namun, hipotesa ini kembali dimentahkan karena tikus tanpa kortisol masih memiliki rambut beruban.
Para peneliti akhirnya menemukan pelakunya dalam satu set saraf yang membentuk sistem saraf simpatik. Saraf, yang mempersiapkan tubuh untuk bertindak sebagai bagian dari respons melawan-atau-lari itu menjangkau folikel rambut di kulit, dan di sinilah mereka melakukan kerusakan.
Folikel rambut mengandung tonjolan yang merupakan rumah bagi genangan sel induk. Ketika rambut baru dibuat, beberapa sel batang ini berubah menjadi pigmen yang disebut melanosit. Warna rambut tergantung pada campuran senyawa melanin penyerap cahaya yang dihasilkan melanosit.
Percobaan menunjukkan stres menyebabkan sistem saraf simpatik memompa hormon yang disebut noradrenalin, atau norepinefrin, ke tonjolan folikel rambut. Tiba-tiba noradrenalin memiliki efek luar biasa. Hormon itu mengubah sejumlah besar sel punca menjadi melanosit, tetapi tidak lama setelah mereka mulai melayang keluar dari folikel dan terurai. Kali berikutnya folikel mencoba membuat rambut, ada sedikit atau tak ada sel punca yang tersisa untuk menghasilkan sel penghasil pigmen segar.
"Stres, melalui aktivasi sistem saraf simpatik, mendorong hilangnya sel-sel induk melanosit, sel-sel induk yang penting dalam regenerasi pigmen untuk rambut," kata Hsu. Rambut memutih ketika reservoir itu sudah habis.
Stres, melalui aktivasi sistem saraf simpatik, mendorong hilangnya sel-sel induk melanosit, sel-sel induk yang penting dalam regenerasi pigmen untuk rambut.
Hsu mencurigai mekanisme yang sama bertanggung jawab atas pemutihan rambut karena faktor usia. "Pasti ada tanggapan bersama antara bagaimana sel-sel induk melanosit menanggapi stres dan bagaimana mereka menanggapi penuaan. Pada dasarnya kita juga kehilangan kumpulan sel induk karena penuaan," ujarnya.
Sekalipun riset itu awalnya hanya untuk memahami mekanisme pemutihan rambut karena stres, namun menurut Hsu, pekerjaannya telah membuka jalan untuk memahami bagaimana hilangnya sel punca di seluruh tubuh yang berkontribusi pada penuaan.
Karena stres dapat dianggap sebagai bentuk penuaan yang dipercepat, penemuan itu meningkatkan harapan untuk perawatan yang bisa memperlambat atau bahkan menghentikan penuaan yang berhubungan dengan usia normal. Lebih penting lagi, ini dapat menjelaskan bagaimana penuaan menghabiskan sel-sel induk di seluruh tubuh, dan mungkin menunjukkan cara untuk terapi anti-penuaan.
Temuan ini juga menggarisbawahi efek samping dari respon evolusi yang awalnya ditujukan untuk memproteksi tubuh. "Stres akut, terutama respons \'melawan-atau-lari\', secara tradisional dipandang bermanfaat bagi kelangsungan hidup organisme. Tetapi dalam kasus ini, stres akut menyebabkan penipisan sel induk secara permanen," kata Bing Zhang, penulis utama studi ini.
Sekalipun secara biologis kini terbukti bahwa memutihnya rambut di usia muda menandai penuaan dini karena stres, bisa jadi hal ini juga memberikan keuntungan sosial. Karena rambut beruban paling sering dikaitkan dengan usia, itu bisa dikaitkan dengan pengalaman, kepemimpinan, bahkan simpati sosial.
Jika Anda telah mengalami cukup banyak tekanan dalam hidup sehingga \'mendapatkan\' uban secara dini, barangkali bakal memiliki peluang lebih tinggi dalam tatanan sosial. Setidaknya, jika Anda di kendaraan umum, kemungkinannya untuk mendapat tempat duduk prioritas bakal lebih besar.