Tubuh Manusia Berevolusi Jadi Lebih Tinggi dan Gemuk
Tubuh manusia terus berevolusi. Selain lebih tinggi dan gemuk, suhu tubuh telah menurun rata-rata 0,6 derajat celsius dibandingkan 1,5 abad lalu.
Tubuh manusia terus berevolusi. Selain lebih tinggi dan gemuk, suhu tubuh telah menurun rata-rata 0,6 derajat celsius dibandingkan 1,5 abad lalu. Perubahan itu berdampak terhadap kesehatan dan umur lebih panjang. Untuk ukuran tubuh, manusia Indonesia, khususnya ketinggian tubuh, populasi di Indonesia cenderung tertinggal.
”Kita seharusnya tidak lagi terjebak pada suhu tubuh normal 37 derajat celsius dan jika suhu berada di atasnya Anda sedang demam,” kata Julie Parsonnet dari Fakultas Kedokteran Universitas Stanford, yang memimpin studi yang diterbitkan di jurnal eLife edisi Januari 2020.
Standar suhu tubuh normal 37 derajat celsius ditetapkan pada tahun 1851 oleh seorang dokter Jerman. Namun, standar itu kini tidak bisa menjadi acuan karena perubahan fisiologi manusia.
Hal ini sebenarnya bukan pertama kalinya para ilmuwan mencatat penurunan suhu tubuh. Sebagai contoh, kajian M Sund-Levander yang diterbitkan di Scandinavian Journal of Caring Sciences tahun 2002 menunjukkan standar suhu 37 derajat celsius tidak sesuai dibandingkan rata-rata.
Studi Obermeyer dalam jurnal BMJ tahun 2017 menyimpulkan, suhu rata-rata orang Inggris 36,6 derajat celsius.
Awalnya para ilmuwan mengira perbedaan itu ada hubungannya dengan pembacaan yang salah dari termometer masa lalu, atau dengan kata lain kita tidak benar-benar memiliki suhu tubuh 37 derajat celsius sejak awal.
Baca juga Pendidikan Gizi Bantu Entaskan Tengkes di Masyarakat
Namun, setelah meninjau tiga set data tambahan, Parsonnet dan tim bisa membuktikan, selama 150 tahun terakhir terjadi tren pendinginan suhu tubuh manusia secara stabil.
Kesimpulan itu diperoleh setelah para peneliti Stanford menganalisis catatan veteran Perang Sipil Amerika tahun 1850-an, data tahun 1970-an dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional AS, dan catatan medis terbaru dari pasien yang mengunjungi Stanford Health Care.
”Tanpa mengubah susunan genetika, kita telah berubah secara fisiologis dari waktu ke waktu. Kami telah melihat bahwa orang-orang telah tumbuh lebih tinggi. Mereka tumbuh lebih gemuk dan suhu tubuh mereka menurun,” kata Parsonnet.
Kajian Parsonnet ini melengkapi riset-riset sebelumnya tentang evolusi tubuh manusia. Kajian oleh Roy E Bailey dan tim dari University of Essex tahun 2014 menunjukkan para pemuda di Inggris bertambah tinggi 10 sentimeter (cm), yaitu dari rata-rata 168 cm menjadi 178 cm, dalam satu abad terakhir.
Tanpa mengubah susunan genetika, kita berubah secara fisiologis dari waktu ke waktu. Kami telah melihat orang-orang tumbuh lebih tinggi. Mereka tumbuh lebih gemuk dan suhu tubuh mereka menurun.
Di sejumlah negara maju lainnya, orang juga tumbuh lebih tinggi, misalnya Belanda yang rata-rata mencapai 1,85 meter. Menariknya, orang Amerika yang dikenal tertinggi di dunia pada Perang Dunia II kini telah disalip dengan tinggi rata-rata 1,77 meter. Penelitian John M Komlos (2014), ketinggian orang AS mengalami stagnasi.
Mengatasi ketertinggalan
Di beberapa negara, ketinggian masyarakatnya cenderung tertinggal. Sebagai contoh, orang-orang dari bekas Jerman Timur masih mengatasi ketertinggalan dengan bekas penduduk Jerman Barat.
Barry Bogin, profesor antropologi biologis di Universitas Loughborough, Inggris, dalam studinya pada 2013 menyebutkan, di beberapa negara non-Barat yang telah dilanda perang, penyakit dan masalah serius lain, ketinggian rata-rata menurun pada satu titik waktu atau yang lain.
Bahkan, ada penurunan ketinggian rata-rata di antara orang kulit hitam di Afrika Selatan antara akhir abad ke-19 dan 1970. Penurunan kemungkinan terkait memburuknya kondisi sosial ekonomi sebelum dan selama apartheid.
Fenomena serupa terjadi di Indonesia. Studi yang dilakukan Association of Southeast Asian Nations DNA tahun 2014 menyebut, penduduk Indonesia merupakan yang terpendek di Asia Tenggara dengan ketinggian rata-rata lelaki dewasa 160 cm, atau lebih pendek 4 cm dibandingkan rata-rata di Asia Tenggara.
Namun, untuk dimensi tubuh, hampir semua populasi di dunia saat ini cenderung menggemuk, termasuk di Indonesia.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet pada Mei 2013 menyebut, 29 persen populasi dunia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Sementara Riset Kesehatan Dasar (Riskesdar) 2018 menyebutkan, tingkat obesitas pada orang dewasa di Indonesia meningkat menjadi 21,8 persen dibandingkan 2013.
Cermin kesehatan
Evolusi tubuh manusia tidak bisa dipisahkan dari pola makan dan gaya hidup. Untuk ketinggian tubuh, faktor kecukupan gizi dan kualitas kesehatan, terutama di fase awal pertumbuhan, menjadi dominan.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang ”Kondisi Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia” pada akhir 2018 menyebutkan, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malagizi, yaitu anak pendek (child stunting), kurus (child wasting), dan kegemukan (child overweight).
Baca juga Pemerintah Siapkan Satgas Khusus Tangani Tengkes
Dalam laporan 181 halaman yang dirilis pada Selasa (11/9/2018) itu disebutkan, 73 negara di dunia memiliki anak dengan tengkes (stunting) dengan prevalensi 20 persen atau lebih. Tengkes adalah gangguan tumbuh kembang karena kurang gizi kronis, ditandai tinggi badan di bawah rata-rata.
Sebanyak 29 negara memiliki anak kelebihan berat badan dengan prevalensi 10 persen atau lebih dan 14 negara memiliki anak kurus dengan prevalensi 10 persen atau lebih.
Namun, di antara negara-negara ini, hanya Indonesia yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malagizi anak. Dengan data ini, tak mengherankan jika populasi Indonesia rata-rata lebih pendek dibandingkan negara lain.
Hingga saat ini belum ada kajian mengenai penurunan suhu populasi di Indonesia. Padahal, untuk penurunan suhu tubuh, para peneliti dari Stanford menduga hal itu terjadi karena kita kian jarang menderita peradangan atau demam. Peningkatan mutu air, sanitasi, antibiotik, vaksin, dan kebersihan gigi jadi kunci.
”Standar subu tubuh 37 derajat celsius ditetapkan pada pertengahan abad ke-19 ketika orang-orang selalu menderita penyakit menular. Tidak mengejutkan jika suhu mereka sedikit lebih tinggi karena mereka memerangi TB, malaria, dan disentri sepanjang waktu,” kata Parsonnet.
Karena kita hidup dan bekerja di lingkungan yang lebih konsisten daripada generasi sebelumnya, katanya, tubuh kita mengeluarkan lebih sedikit energi.
Dua ratus tahun lalu, rumah-rumah tidak memiliki pemanas sentral dan penyejuk ruangan. Akibatnya, tubuh kita harus bekerja lebih keras guna menyesuaikan dengan kondisi lingkungan luar.
Kini, data statistik tak terbantahkan lagi, bahwa suhu tubuh telah menurun, lebih tinggi, dan gemuk. Dan ternyata penurunan suhu tubuh ini membawa banyak konsekuensi.
Suhu tubuh memengaruhi tingkat metabolisme basal kita, yang terkait dengan umur panjang dan ukuran tubuh. Metabolisme yang tinggi dapat mempersingkat masa hidup seseorang, sebaliknya metabolisme yang rendah dapat menyebabkan penambahan berat badan.
Masalahnya, penambahan berat badan hingga obesitas juga bisa menjadi pemicu banyak masalah kesehatan. Lebih mengkhawatirkan sebenarnya, jika yang terjadi adalah stagnasi tinggi badan rata-rata populasi, tetapi terjadi peningkatan tren obesitas seperti terjadi Indonesia.