Substitusi Bahan Baku Obat Impor dengan Bahan Lokal
Riset pemanfaatan bahan lokal sebagai bahan baku obat perlu dipacu lebih cepat lagi untuk menekan ketergantungan impor bahan baku produk farmasi di Indonesia.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Riset pemanfaatan bahan lokal sebagai bahan baku obat perlu dipacu lebih cepat lagi untuk menekan ketergantungan impor bahan baku produk farmasi di Indonesia. Pemberian insentif pajak diharapkan bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong pengembangan riset di industri.
Menteri Riset dan Teknologi yang juga Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pemerintah akan mendorong industri melakukan riset dan pengembangan inovasi melalui pemberian super deduction tax hingga 300 persen. Bidang kesehatan menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam pengembangan riset dan penelitian.
Bambang mengatakan, insentif super deduction tax diharapkan dapat memacu perusahaan yang belum pernah melakukan RnD (riset dan pengembangan) untuk mulai masuk ke bidang itu. Sementara industri yang sudah melakukan RnD bisa memperbesar riset yang sudah dijalankan.
”Dengan begitu, perusahaan swasta pun tidak lagi ragu berinvestasi dalam program riset, termasuk riset bahan baku obat,” katanya seusai melakukan kunjungan kerja ke Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (8/1/2020).
Kebijakan terkait super deduction tax telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP No 94/2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Menurut rencana, pemberian insentif pajak ini mulai dilaksanakan pada 2020.
Bahan baku lokal
Bambang menambahkan, pengembangan riset dan inovasi di industri farmasi perlu ditingkatkan, terutama untuk mengembangkan pemanfaatan bahan lokal sebagai bahan baku obat. Riset yang dilakukan harus dipastikan bisa mencapai tahap hilirisasi.
Dari data Kementerian Kesehatan, 72 persen industri farmasi di Indonesia dikuasai oleh perusahaan lokal. Namun, bahan baku yang digunakan untuk produk farmasi yang dihasilkan sekitar 95 persen berasal dari impor. Pemerintah pun menargetkan bahan baku impor bisa ditekan hingga 15 persen setiap tahun.
”Ke depan, untuk substitusi bahan baku impor, kita ingin tidak sekadar menggunakan materi atau bahan yang sama dengan bahan baku obat impor, tetapi menggantinya dengan bahan baku asli Indonesia. Biodiversitas tumbuhan dan hewan di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan baku obat yang tidak kalah berkhasiat,” tuturnya
Executive Director DLBS Raymond Tjandrawinata menilai, sumber daya yang dimiliki dalam negeri sudah cukup mendukung pengembangan riset hingga hilirisasi bahan baku obat asli Indonesia. Jika ada kemauan untuk investasi dalam melakukan riset, industri bisa menghasilkan obat modern asli Indonesia yang unggul dan berkualitas.
Melalui DLBS, Raymond menambahkan, Dexa Group setidaknya telah mengembangkan sediaan farmasi dan memproduksi bahan farmasi aktif yang berasal dari hewan dan tumbuhan asli Indonesia.
Untuk hilirisasi riset, 18 produk fitofarmaka berizin edar telah dihasilkan. Adapun obat modern asli Indonesia yang telah dihasilkan di antaranya berbahan baku bungur, kayu manis, ikan gabus, dan cacing tanah.
”Dengan pemberian insentif pajak dari pemerintah kami yakin semakin memudahkan industri untuk mengembangkan bahan baku obat lokal. Dengan begitu, produk farmasi berupa obat modern asli Indonesia juga meningkat,” ujarnya.