Partisipasi Industri Tembakau dan Keberpihakan Pemerintah
Epidemi tembakau menjadi persoalan besar bidang kesehatan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Epidemi tersebut melibatkan industri tembakau sebagai produsen produk tembakau.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Epidemi tembakau masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat yang besar di banyak negara. Tidak seperti memerangi penyakit, epidemi tembakau melibatkan industri tembakau sebagai produsen produk tembakau. Inilah yang membuat tarik menarik kepentingan kesehatan masyarakat dan ekonomi seperti tidak pernah ada akhirnya.
Sebagai entitas bisnis industri tentu ingin menangguk untung besar. Apapun akan mereka lakukan agar bisnis produk yang menyebabkan kecanduan itu bisa terus menghasilkan laba.
Secara global partisipasi industri produk tembakau dalam proses pengambilan kebijakan di manapun di dunia ini tetap menjadi masalah besar, terlebih lagi di negara yang belum mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC.
Hal itu berarti setiap usaha pemerintah untuk mencegah warganya terkena dampak buruk produk tembakau akan selalu ditentang industri. Ironisnya banyak negara justru lebih melihat industri tembakau sebagai kekuatan ekonomi daripada sebagai entitas bisnis produk berbahaya yang berkontribusi pada meningkatnya beban kesakitan, kematian, dan beban ekonomi yang mesti ditanggung negara.
Kesehatan publik
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pasal 5.3 menyatakan, semua pihak harus melindungi kebijakan pengendalian tembakau untuk kesehatan dari kepentingan komersial dan kepentingan lain dari industri tembakau sesuai hukum yang berlaku. Itu berarti pemerintah, industri tembakau, dan kelompok masyarakat di tiap negara harus mengedepankan kepentingan kesehatan publik di atas kepentingan apa pun.
Namun kenyataannya, data terbaru Tobacco Industry Interference (TII) Index di Asia Tenggara tahun 2016-2018 yang dirilis November 2019 memperlihatkan, partisipasi industri tembakau pada proses pengambilan kebijakan kesehatan di berbagai negara masih tinggi. Semakin tinggi indeksnya semakin tinggi pula tingkat partisipasi industrinya.
Indeks itu dinilai dari tingkat partisipasi industri dalam penyusunan kebijakan, kegiatan yang diklaim sebagai tanggung jawab perusahaan, manfaat yang dirasakan industri tembakau, interaksi yang tidak perlu, transparansi, benturan kepentingan, dan tindakan pencegahan.
Secara berurutan, dari yang paling rendah indeks TII di sembilan negara Asia Tenggara tahun 2018 adalah Brunei Darussalam (nilai indeks 21), Thailand (42), Filipina (45), Kamboja (47), Malaysia (58), Myanmar (59), Vietnam (61), Laos (72), Indonesia (79). Meski indeks Indonesia menjadi yang tertinggi, ada kecenderungan menurun.
Penurunan indeks Indonesia dipengaruhi dua hal. Pertama, penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan No 50/2016 tentang “Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan dengan Industri Tembakau di Lingkungan Kementerian Kesehatan” tahun 2017. Kedua, peraturan itu benar-benar dilaksanakan. Penolakan permintaan asosiasi industri rokok untuk bertemu dalam rangka rencana perubahan peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok tahun 2018 merupakan buktinya.
Lima negara di Asia lainnya yang baru mengukur TII tahun 2018 juga memperlihatkan angka yang sama, yaitu Korea Selatan (49), Srilanka (51), India (72), Bangladesh (78), dan Jepang (85).
Menutup semua celah
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) Ulysses Dorotheo, Kamis (17/10/2019), campur tangan industri tembakau dalam proses pengambilan kebijakan masuk dari berbagai arah. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menutup semua celah yang ada di jajaran birokrasi.
Campur tangan industri tembakau dalam proses pengambilan kebijakan masuk dari berbagai arah. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menutup semua celah yang ada di jajaran birokrasi.
Sayangnya, seringkali pemerintah suatu negara memiliki seribu wajah. Kementerian yang mengurusi perdagangan dan industri, misalnya, menjadi representasi rezim ekonomi sedangkan kementerian yang membidangi kesehatan masyarakat berada paling depan pada rezim kesehatan.
Ulysses mengatakan, jika pemerintah ingin membangun sumber daya manusia yang unggul maka mereka harus mengedepankan kepentingan kesehatan dari kepentingan ekonomi.
Sayangnya, TII 2018 justru memperlihatkan Indonesia menempati urutan pertama di Asia Tenggara yang berarti partisipasi industri tembakau pada proses pengambilan kebijakan masih tinggi. Itu memiliki makna bahwa keinginan pemerintah membangun mutu sumber daya manusia Indonesia yang unggul menyongsong satu abad Indonesia pada 2045 tak akan mudah dicapai, mengingat industri tembakau selalu menyasar remaja dan anak-anak muda.
Hal tersebut bisa dilihat dalam proses revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/ 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang masih berlangsung. Kementerian Kesehatan menghendaki PP 109/2012 menjadi lebih ketat dalam mengatur produk hasil tembakau. Tujuannya, mengurangi beban penyakit tidak menular yang sudah membuat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) “berdarah-darah”.
Akan tetapi, di satu sisi, revisi itu mendapat tentangan dari Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo). Dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti, menilai, proses revisi ini tidak terbuka dan tidak melibatkan wakil industri.
Penulis utama laporan TII Index, Mary Assunta, menilai, banyak pemerintah yang masih menilai industri hasil tembakau sebagai industri normal seperti industri lainnya. Ini menyebabkan industri tembakau dinggap sebagai salah satu pemangku kepentingan. Padahal, industri tembakau adalah industri yang tidak sejalan dengan pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, Mary merekomendasikan pentingnya pendekatan “whole of government” dalam menangkal pengaruh industri tembakau. Secara lebih nyata, pemerintah perlu memprioritaskan kepentingan kesehatan masyarakat dan memiliki kode etik tertulis yang mengatur hubungan interaksi dengan industri tembakau untuk mengeliminasi konflik kepentingan. Mampukah ini dilakukan?