Menjanjikan Pemulihan, Imunoterapi Masih Berbiaya Tinggi
Imunoterapi merupakan pilihan terapi kanker termutakhir. Dengan pilihan baru ini, pengobatan kanker tidak lagi hanya operasi, kemoterapi, dan radioterapi.
Tiga kotak bekal sudah siap dibawa Sri Ediati (68), Sabtu (14/12/2019) pagi lalu. Dua kotak berisi mangga dan pepaya potong dan satu kotak berisi roti lapis dengan telor mata sapi. Satu botol jus buah dan satu botol infused water juga tak lupa ia siapkan.
”Mau piknik,” kata perempuan yang biasa disapa Bu Ed ini.
Piknik menjadi istilah yang selalu ia gunakan ketika harus menjalani terapi kanker di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Jakarta Selatan. Dengan begitu, terapi yang harus ia lewati selama lima jam itu bisa terasa lebih menyenangkan.
Sejak didiagnosis memiliki kanker paru stadium 3A pada April 2019, Ediati harus menjalani imunoterapi kanker dalam kurun waktu dua tahun. Terapi, itu dijalani sekali dalam dua minggu. Saat ini, ia baru melewati terapi yang keenam.
Baca juga: Perluas Layanan Tes ALK bagi Pasien Kanker Paru
Pengobatan dengan operasi tidak bisa dilakukan karena sel kanker yang ada di dalam tubuhnya berimpitan dengan jantung. Dokter menyarankan untuk melakukan terapi lain dengan kemoterapi dan radiasi. Setelah sekitar lima bulan menjalani terapi tersebut, dokter menyatakan kanker di dalam tubuhnya sudah tidak terlihat.
Namun, Ediati dianjurkan melakukan imunoterapi untuk merangsang dan memperkuat sel-sel tubuh yang turut mati akibat kemoterapi. Harapannya, sel imun di dalam tubuhnya bisa kembali bekerja optimal. Buktinya kini, terapi itu mulai menunjukkan hasil pada diri Ediati.
”Setelah terapi yang keempat, perubahan yang paling signifikan ada pada rambut dan kuku saya. Sekarang tumbuhnya jadi cepat. Padahal, sejak kemoterapi rambut saya rontok sampai botak. Sekarang, kondisi saya juga jadi lebih baik,” tutur Ediati.
Imunoterapi merupakan pilihan terapi kanker termutakhir. Dengan pilihan baru ini, pengobatan kanker tidak lagi hanya operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Setidaknya, imunoterapi menjadi harapan bagi pasien setelah sekitar 20 tahun terakhir tidak ada penemuan baru untuk pengobatan kanker.
Sistem kerja imunoterapi ini berbeda dengan kemoterapi dan radiasi yang langsung menghancurkan sel yang ada di dalam tubuh pasien. Sebaliknya, imunoterapi bekerja dengan memanfaatkan daya tahan tubuh pasien untuk melawan sel-sel kanker.
Imunoterapi juga mampu meningkatkan kesintasan atau harapan hidup dalam jangka panjang serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Efek samping yang dihasilkan juga minimal, bahkan relatif aman. Namun, terapi ini tidak disarankan untuk pasien yang memiliki riwayat autoimun.
Imunoterapi
Dokter Spesialis Kanker Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Sita Laksmi Andarini, menyampaikan, penelitian terkait imunoterapi berkembang pesat di seluruh dunia. Di Indonesia ada tiga imunoterapi yang sudah bisa diterapkan untuk pasien kanker paru, yakni pembrolizumab, atezolizumab, dan durvalumab.
Untuk pemberian pembrolizumab, menurut Sita, bisa digunakan bagi pasien kanker paru yang ditemukan protein PD-L1 lebih dari 50 persen. PD-L1 merupakan salah satu protein yang ada di sel T. Sel ini adalah salah satu jenis sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh manusia.
Sementara atezolizumab diberikan dengan kombinasi kemoterapi. Terapi dengan atezolizumab bisa digunakan tanpa pemeriksaan PD-L1 jika kanker yang dimiliki pasien justru membesar setelah kemoterapi dilakukan.
Untuk pemberian durvalumab, indikasinya pada pasien dengan jenis kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil atau pada pasien kanker paru stadium tiga yang tidak bisa dioperasi. Durvalumab bisa diberikan setelah pasien mendapatkan kemoterapi dan radioterapi konkuren (terapi dilakukan bersamaan).
”Imunoterapi menjadi harapan baru bagi pasien karena hasilnya cukup bagus dibandingkan dengan terapi sebelumnya. Response rate dan respons kesintasan pasien dari kombinasi imunoterapi dan kemoterapi mencapai 51 persen. Sedangkan pasien yang hanya diberikan kemoterapi, respons rate-nya sekitar 39 persen,” tutur Sita.
Baca juga: Imunoterapi, Masa Depan Pengobatan Kanker
Biaya tinggi
Meski hasil dari imunoterapi cukup baik, Sita mengungkapkan, tidak semua pasien dengan kanker paru mampu mengakses terapi ini. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien cukup tinggi. Untuk sekali terapi, biayanya sekitar Rp 40 juta. Padahal, terapi ini rata-rata dilakukan setiap dua-tiga minggu sekali selama dua tahun. Sekalipun ada pasien kanker paru yang bisa mengakses terapi ini, mereka lebih banyak memilih untuk berobat ke luar negeri.
”Pertimbangannya karena harga obat di luar negeri relatif lebih murah sekitar 30 persen daripada biaya di Indonesia. Padahal, teknologi dan sumber daya dokter di dalam negeri tidak kalah kompeten. Pemerintah seharusnya hadir, setidaknya melalui bea masuk obat yang murah. Harapan Indonesia mampu mengembangkan wisata kesehatan pun bisa terwujud,” katanya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh menyatakan, DPR terus mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan, untuk mengembangkan pembiayaan inovatif bagi penyakit katastropik seperti kanker. Tujuannya agar akses masyarakat terhadap obat-obat ini bisa lebih mudah.
Untuk mendukung hal tersebut, ada sejumlah skema pendanaan yang telah diusulkan DPR dengan melibatkan sektor swasta. Skema itu antara lain dengan co-payment untuk obat kanker ataupun dengan sistem capping.
”DPR juga mendorong pemerintah menghapuskan bea masuk serta pengurangan pajak obat dan alat kesehatan yang selama ini masuk di pajak barang mewah. Kami juga mendorong agar coordination of benefit (CoB) antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta dapat secara efektif dijalankan sehingga cakupan obat-obatan dapat lebih ditingkatkan,” ungkap Nihayatul.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan, pengendalian harga obat dan alat kesehatan menjadi prioritas Presiden dalam program kerja pemerintah saat ini. Sejumlah strategi yang sementara direncanakan yakni dengan mempercepat pemberian izin edar obat dan alat kesehatan sehingga kemandirian dan daya saing produk obat dalam negeri semakin terpacu.
Pencegahan
Sita berpendapat, meski berbagai pengembangan terapi kanker paru terus dilakukan, upaya pencegahan faktor risiko jauh lebih penting. Salah satu kebiasaan masyarakat yang mengkhawatirkan kini adalah merokok.
Menurut dia, jumlah perokok semakin tinggi, bahkan usia pertama kali seseorang merokok kian muda. Merokok menjadi faktor risiko utama dari kanker paru. Tidak hanya berisiko bagi perokok, kanker paru juga bisa terjadi pada perokok pasif.
”Untuk itu, pemeriksaan rutin dari fungsi paru sebaiknya dilakukan pada orang yang berisiko mengalami kanker paru, yakni orang dengan usia lebih dari 40 tahun, laki-laki, dan perokok. Selain itu, seseorang yang memiliki riwayat kanker pada keluarganya juga perlu melakukan pemeriksaan sebagai deteksi dini,” jelas Sita.