Kasus ”stunting” di Nusa Tenggara Timur bisa ditekan dengan pemberian asupan gizi yang tepat, salah satunya memanfaatkan daun kelor dalam berbagai menu masakan. Kaum ibu bisa diberi bimbingan tentang pola asuh anak secara tepat untuk mencegah ”stunting” dengan meningkatkan sumber daya manusia NTT ke depan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kasus stunting atau tengkes (anak balita tubuh pendek akibat kurang gizi kronis) di Nusa Tenggara Timur bisa ditekan dengan pemberian asupan gizi yang tepat, salah satunya memanfaatkan daun kelor dalam berbagai menu masakan. Kaum ibu bisa diberi bimbingan tentang pola asuh anak secara tepat untuk mencegah stunting dengan meningkatkan sumber daya manusia NTT ke depan.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek ketika berbicara pada Rapat Kerja Kesehatan Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang, Kamis (25/4/2019), mengatakan, NTT memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola untuk mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan. Salah satunya adalah daun kelor (Moringa oleifera). Daun kelor bisa diolah menjadi bubur, susu bubuk, dan berbagai jenis kue kesukaan anak-anak.
”Kita punya tenaga ahli gizi yang dapat mengolah daun kelor menjadi beragam kue, sup, dan susu. Dengan cara ini, anak-anak bisa mengkonsumsi daun kelor dalam beragam jenis menu. Itu kesukaan mereka,” kata Nila.
Akan tetapi, pengetahuan seperti ini tidak hanya dimiliki kalangan perguruan tinggi. Untuk itu, politeknik kesehatan bisa berkolaborasi dengan dinas kesehatan atau puskesmas dan rumah sakit dengan memberikan pelatihan terhadap ibu-ibu. Pengetahuan mengolah kelor menjadi berbagai jenis bahan makanan dan minuman kesukaan anak-anak dapat dimiliki kaum ibu tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di desa.
Pemerintah provinsi telah mencanangkan kelor menjadi salah satu program unggulan. Ini saatnya kaum ibu memiliki pola asuh yang tepat serta pengetahuan tentang nilai gizi dari semua jenis tanaman di sekitar. Kalau mereka paham, tentu sumber daya alam yang ada, seperti daun kelor, dapat dimanfaatkan untuk tumbuh kembang anak-anaknya.
Tidak ada seorang ibu di dunia menginginkan anak-anaknya gagal. Anak yang sukses itu ditopang oleh fisik yang sehat, moral, etika, dan nilai-nilai kerohanian yang baik.
Kolaborasi pusat dan daerah dalam membangun sumber daya manusia di daerah terus digenjot. Melalui sistem kolaborasi ini, persoalan apa pun yang dinilai berat dan sulit dapat diatasi.
”Ke depan tidak pakai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lagi untuk daerah itu sehat atau tidak. Tetapi menggunakan Human Capital Index, yakni daerah itu tidak ada stunting, anak-anak tidak terserang penyakit-penyakit musiman, seperti diare, DBD, bebas gizi buruk, kematian ibu melahirkan, kematian balita, kematian ibu hamil. Semua penduduk sehat,” ujarnya.
Ke depan tidak pakai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) lagi untuk daerah itu sehat atau tidak. Tetapi menggunakan Human Capital Index, yakni daerah itu tidak ada stunting, anak-anak tidak terserang penyakit-penyakit musiman, seperti diare, DBD, bebas gizi buruk, kematian ibu melahirkan, kematian balita, kematian ibu hamil. Semua penduduk sehat.
Ia mengatakan, dalam program Nusantara Sehat, pelamar dari NTT hampir 60 persen. Mereka siap ditempatkan di daerah perbatasan, pulau terluar, dan daerah terpencil. Kesulitan mereka hanya satu, yakni SDM masih rendah, kalah bersaing dengan rekan-rekan dari daerah lain. Untuk itu, seluruh jajaran kesehatan terus mendorong dan mengembalikan program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Pola hidup sehat ini memang tidak mudah, tetapi harus dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan.
Germas menyangkut tingkah laku. Bagaimana anak-anak di sekolah menjaga kebersihan, seperti cuci tangan, membersihkan toilet, dan menggunakan toilet secara tepat. Kesehatan berbasis masyarakat penting sekali. Kesehatan tidak hanya mengobati penyakit.
Sekadar formalitas
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengatakan, NTT dengan kasus stunting tertinggi perlu kerja ekstra keras semua pihak. Semangat melayani harus ditingkatkan. Kerelaan berkorban demi kesehatan dan keselamatan orang lain masih rendah. Ini masalah dasar di NTT. Orang bekerja sekadar formalitas.
”Jika bupati, kepala dinas, gubernur melayani sungguh-sungguh, mau berkorban, saya yakin bisa mengatasi masalah kesehatan dan masalah-masalah lain. Mengenai stunting, orang NTT malas makan kelor, bahkan dibuang-buang. Padahal, kelor memiliki nilai gizi sangat komplet,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan NTT drg Dominikus Minggu Mere mengatakan, mengatasi stunting merupakan program prioritas di NTT. Kondisi stunting di NTT pada tahun 2018 mencapai 42,6 persen atau mencapai 281.160 anak balita dari total 660.000 anak balita di NTT. Program yang dilakukan mengacu pada kebijakan sebelumnya, juga menggunakan kelor sebagai upaya mengurangi atau mengatasi stunting.