Siapa Peduli Kesehatan Masyarakat
Tahun 2018 memberikan pelajaran berharga bagi bangsa ini. Dari sisi kesehatan masyarakat tahun 2018 seperti mempertegas bahwa kesehatan sungguh mahal harganya bahkan tak ternilai harganya. Walaupun mahal harganya rasanya banyak elemen bangsa ini masih enggan “berkontribusi" untuk mendapatkan kesehatan.
Tahun 2018 diawali oleh berita-berita krisis kesehatan di Kabupaten Asmat, Papua yang mencapai klimaksnya. Sekitar 70 orang balita meninggal karena gizi buruk dan campak. Lebih kurang 650 kasus campak dan 230 kasus gizi buruk telah ditangani tim kesehatan selama periode September 2017-17 Maret 2018.
Rasanya tak percaya ketika melihat Barnabas Berpit (3 tahun), salah satu balita gizi buruk dan terinfeksi campak, dirawat di ruang perawatan intensif RSUD Agats, Kabupaten Asmat. Tubuhnya kurus hingga tulang rusuknya terlihat jelas menonjol. Sementara di gudang provinsi bantuan makanan tambahan tahun-tahun sebelumnya belum terdistribusi ke distrik-distrik. Bahkan, nyaris tidak ada tenaga kesehatan yang menjangkau masyarakat di tingkat distrik. Tata kelola pemerintah daerah menjadi sorotan tajam dan penggunaan dana otonomi khusus pun dipertanyakan.
Kepemimpinan daerah yang peduli dan komitmen terhadap kesehatan warganya sangat penting di era desentralisasi sekarang. Tidak semua beban pembangunan berada di pundak pemimpin nasional. Tapi rasanya belum banyak pemimpin daerah yang menaruh perhatian pada upaya kesehatan masyarakat. Sekalipun isu kesehatan masuk dalam janji kampanye biasanya itu tidak jauh dari janji pengobatan gratis dan perbaikan atau pembangunan fasilitas kesehatan baru.
Di samping itu, keberadaan tenaga kesehatan yang menjangkau hingga ke pemukiman yang paling jauh pun tak kalah pentingnya. Sudah bukan eranya lagi tenaga kesehatan di 9.000 lebih puskesmas menunggu masyarakat datang berobat. Pelayanan kesehatan tak usah lagi terkungkung oleh tembok puskesmas. Upaya promotif dan preventif yang jauh lebih penting akan lebih efektif dilakukan ketika terjun langsung ke masyarakat.
Agak mengejutkan ketika mendengarkan pidato Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ridwan Thaha
pada pembukaan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) di Bandar Lampung pertengahan Oktober 2018. Ketika itu Ridwan menyampaikan ada empat persoalan terkait kesehatan masyarakat yang dihadapi bangsa ini: konsumsi rokok, penyakit terkait perilaku, struktur dan komposisi tenaga kesehatan, serta penyakit terkait lingkungan.
Pidato itu tidak menyebut sama sekali secara eksplisit kata “imunisasi” apalagi mendorong ahli kesehatan masyarakat untuk berperan meningkatkan cakupan imunisasi dasar lengkap yang merupakan aspek penting dalam kesehatan masyarakat. Fakta bahwa di bulan yang sama ada 10 provinsi yang cakupan imunisasi campak-rubela (Measles-Rubella/ MR) di bawah rata-rata nasional luput jadi perhatian.
Akibat isu kehalalan vaksin MR yang dipakai pemerintah program kampanye nasional imunisasi MR di luar Jawa pun tak mencapai target. Cakupannya tak lebih dari 75 persen dari target minimal 95 persen. Polemik status halal vaksin seperti menemui akhir yang tak jelas. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan penggunaan vaksin MR produksi Serum Institute of India (SII) yang hukumnya haram dalam kampanye imunisasi MR kurang memberikan dorongan dan keyakinan bagi banyak orang tua untuk mengizinkan anaknya diimunisasi.
Polemik kehalalan vaksin MR seperti menunjukkan bahwa lembaga yang bertanggung jawab terhadap kesehatan bangsa ini hanyalah Kementerian Kesehatan. Peran kementerian lain seperti misalnya Kementerian Pendidikan Nasional belum terlihat maksimal. Padahal, proses pendidikan untuk membekali anak-anak dengan berbagai ilmu dan keahlian akan sulit dilakukan jika anak-anak di sekolah sakit-sakitan dan tumbuh kembangnya terganggu.
Selain itu, kepemimpinan nasional juga tidak terlihat turun tangan. Andai saja Presiden Joko Widodo yang juga seorang kakek dengan dua orang cucu tampil di depan publik untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksinasi termasuk vaksiasi MR itu penting mungkin akan memberikan hasil yang berbeda.
Indonesia telah memberikan pembelajaran yang lengkap bagi negara-negara Islam di dunia. Indonesia merupakan center of excellent di bidang vaksin di antara negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Tapi di Indonesia juga isu kehalalan vaksin telah berpengaruh besar terhadap gagalnya target kampanye imunisasi MR. Padahal, di mayoritas negara anggota OKI lain isu kehalalan tidak menjadi persoalan yang begitu rumit diselesaikan.
Cakupan imunisasi dasar lengkap termasuk imunisasi MR yang baru diintroduksi tidak bisa dipandang remeh. Tanpa cakupan yang tinggi maka Indonesia akan jadi negara sumber penularan penyakit bagi dunia. Tahun 2017 misalnya, dua orang warga Jepang terinfeksi rubela strain 1E-L2 yang bersirkulasi di Indonesia setelah pulang dari Indonesia. Dari 11 kasus rubela di Jepang tahun 2017, empat di antaranya berasal dari Indonesia.
Tanpa cakupan imunisasi dasar yang tinggi Indonesia jangan pernah bermimpi menjadi tuan rumah perhelatan kelas dunia apapun termasuk piala dunia. Delegasi atlet juga wisawatan asing akan khawatir terinfeksi penyakit kalau datang ke Indonesia. Bahkan, karena Indonesia masih endemis bagi banyak penyakit menular investor pun bisa-bisa berpikir ulang untuk menanamkan investasinya. Setiap upaya mereka untuk menjaga pekerjanya sehat tentu akan menjadi biaya yang membebani.
Jangan lupa juga, dengan skema beasiswa Lembaga Pengelola dana Pendidikan (LPDP) Indonesia telah mengirim ribuan mahasiswa ke luar negeri. Sekalipun diterima di perguruan tinggi di luar negeri mereka akan kesulitan untuk mendapat izin tinggal hanya karena Indonesia masih menjadi negara endemik penyakit tertentu seperti misalnya tuberkulosis (TB).
Pengendalian Tembakau
Terlepas dari soal imunisasi, apa yang disampaikan Ridwan sebagai persoalan kesehatan masyarakat pertama, yakni konsumsi rokok, adalah benar adanya. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi merokok penduduk kelompok umur 10-18 tahun dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 9,1 persen tahun 2018. Padahal, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan tahun 2019 prevalensinya sebesar 5,4 persen.
Rokok adalah produk berbahaya. Produk penuh dengan ribuan racun ini dijual bebas dengan harga murah dan dipromosikan di negara ini. Mengonsumsi rokok jelas membahayakan tubuh. Untuk itulah rokok dikenai cukai, seperti minuman beralkohol. Bedanya, minuman keras tidak dijual bebas atau leluasa diiklankan. Tarif cukainya pun berbeda.
Idealnya, dengan tarif cukai yang tinggi maka konsumsi rokok bisa dikendalikan, masyarakat kian sehat karena tercegah dari penyakit terkait rokok, beban biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun menurun, kematian karena penyakit terkait rokok berkurang, pendapatan negara dari cukai produk tembakau naik, kemampuan finansial pemerintah untuk membiayai pembangunan pun meningkat. Dengan begitu, ketika tarif cukai rokok tahun 2019 tidak dinaikkan maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Itulah pilihan pemerintah.
Persoalan kesehatan lain yang ada di Indonesia adalah stunting. Ramai-ramai bicara stunting tapi tidak semua paham konsep dasarnya. Setiap pihak menerjemahkannya dari sudut pandangnya masing-masing. Bahkan, setiap program pemerintah yang tersebar di kementerian dan lembaga juga cenderung berjalan masing-masing, tidak terintegrasi. Intervensi sensitif, edukasi mengapa stunting perlu dicegah, juga pemberdayaan masyarakat belum optimal dilakukan.
Sepanjang tahun 2018 juga diwarnai oleh riak-riak dampak dari defisitnya program JKN. Pembayaran klaim dari fasilitas kesehatan terlambat dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta JKN pun berjalan lambat, untuk tidak mengatakannya buruk.
Sebenarnya, bukti-bukti ilmiah juga opsi solusi untuk menjamin keberlanjutan program JKN sudah dipaparkan oleh para pakar ekonomi kesehatan yang dimulai dari menyesuaikan iuran dengan perhitungan aktuaria. Namun, pemerintah seperti bergeming. Pertimbangan politik masih mendominasi dalam pengambilan keputusan terkait JKN ketimbang perhitungan teknis.
Dalam hitungan hari tahun 2018 akan berganti 2019. Ada istilah “hari esok harus lebih baik dari hari sekarang”. Dalam kacamata kesehatan masyarakat, itu berarti mencegah penyakit dan kematian, mencegah BPJS Kesehatan defisit, dan hidup sehat adalah bagian penting dari membuat hari esok Indonesia lebih baik lagi.