TANGERANG, KOMPAS — Masyarakat terutama mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit di otak, misalnya stroke, perlu memeriksakan kesehatan otaknya. Tujuannya, untuk mengetahui kondisi otak sehingga jika ada gangguan bisa diketahui dan diberi tindakan sejak dini.
Demikian pesan yang disampaikan Prof Eka Wahjoepramono, Ketua Tim Bedah Saraf Rumah Sakit Siloam Lippo Village, saat memberikan edukasi publik terkait kesehatan otak dengan menggunakan media film di Tangerang, Sabtu (15/12/2018).
Eka mengatakan, masyarakat yang melakukan pemeriksaan kesehatan otaknya secara rutin masih sangat jarang. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan kesehatan organ lain, misalnya jantung yang sudah lebih sering dilakukan. Padahal, pemeriksaan otak (brain check up) bisa mendeteksi adanya penyakit yang mengancam otak seperti stroke.
Saat ini, selain menyebabkan kematian, stroke juga menjadi penyebab kecacatan yang besar di dunia. Ketika sudah cacat, hal itu tentu akan membebani pasien, keluarganya, juga biaya kesehatan negara pun akan terbebani.
Hanya sebesar 1-2 persen pasien stroke yang bisa kembali pada pekerjaannya. Mayoritas pasien stroke tidak bisa kembali produktif bekerja bahkan ada yang bergantung pada bantuan orang lain dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Semakin muda
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi stroke pada penduduk usia 15 tahun ke atas berdasarkan diagnosis dokter sebesar 10,9 per mil (1.000 penduduk). Angka ini naik dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 7 per mil.
Berdasarkan kelompok umur, prevalensi terbanyak ada pada kelompok umur 75 tahun ke atas (50,2 per mil). Meski demikian, di kelompok yang jauh lebih muda, yaitu 35-44 tahun dan 45-54 tahun, stroke sudah banyak muncul dengan prevalensi masing-masing 3,7 per mil dan 14,2 per mil. Bahkan, pada usia 25-34 tahun, prevalensi stroke sudah 1,4 per mil.
Anggota Tim Bedah Saraf RS Siloam Lippo Village, Petra OP Wahjoepramono, menambahkan, umur pasien yang terkena stroke semakin muda. Gaya hidup tidak sehat telah meningkatkan faktor risiko stroke.
”Pasien stroke saya ada yang umur 20 tahunan. Kita rugi karena ruang perawatan intensif dipenuhi orang-orang yang harusnya produktif, tapi terpaksa dirawat karena stroke,” ujarnya.
Umur pasien yang terkena stroke semakin muda. Gaya hidup tidak sehat telah meningkatkan faktor risiko stroke.
Minimnya kesadaran masyarakat memeriksakan kesehatan otak dan pentingnya menjalani pola hidup yang sehat, menurut Petra, masih menjadi penyebab tingginya kasus stroke di Indonesia.
Pemeriksaan kesehatan otak menjadi lebih prioritas dilakukan terutama oleh mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit otak. ”Meski memang ada faktor gaya hidup, mereka yang memiliki anggota keluarga terkena stroke, misalnya, penting untuk melakukan pemeriksaan otak,” lanjut Eka.
Di samping itu, mereka dengan tekanan darah tinggi, kadar gula darah tinggi, kolesterol tinggi, konsumsi alkohol berlebih, obesitas, dan pola hidup yang tidak teratur perlu waspada juga terhadap gangguan kesehatan otak. ”Perokok juga sudah jelas berisiko. Perokok 30 kali lebih berisiko terkena stroke dibandingkan bukan perokok,” ucap Eka.
Pemeriksaan kesehatan otak tersebut dilakukan dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetis (magnetic resonance imaging/MRI) atau pencitraan pembuluh darah (magnetic resonance angiography/MRA) yang minim efek samping.
”Efek sampingnya, mungkin, hanya biaya. Saya berharap, fasilitas kesehatan tidak menetapkan tarif terlalu tinggi untuk pemeriksaan untuk deteksi dini,” kata Eka.