JAKARTA, KOMPAS - Di tengah prevalensi merokok yang terus naik pemerintah memilih untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau. Padahal, pemerintah sendiri paham bahwa penyakit terkait perilaku merokok selama ini turut membebani program Jaminan Kesehatan Nasional yang merupakan program strategis nasional.
Hal itu disampaikan peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Minggu (4/11/2018). Keduanya berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada akhirnya hanya menjadi kepentingan politik menjelang pemilihan presiden meski dengan mengorbankan kepentingan perlindungan konsumen dan kesehatan publik.
Abdillah mengatakan, keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif cukai rokok tidak sesuai dengan logika kebijakan malah justru menjadi sebuah ironi. Idealnya, kebijakan dikeluarkan untuk mencegah masalah terjadi atau setidaknya menyelesaikan suatu masalah. Namun, dalam konteks cukai rokok kebijakan justru kian memperparah masalah kesehatan masyarakat.
“Hal yang jadi masalah sekarang adalah prevalensi merokok yang terus naik. Undang-undang pun mengamanatkan konsumsi rokok untuk dikendalikan dengan menetapkan tarif cukai yang setinggi-tingginya. Harapannya, cukai yang tinggi akan membuat harga rokok naik sehingga konsumsi rokok bisa dikurangi,” tutur Abdillah.
Pada Jumat (2/11/2018), usai rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa tarif cukai hasil tembakau tahun 2019 tidak dinaikkan. Besarannya akan sama dengan tarif cukai tahun ini. Selain itu, rencana penyederhanaan kelompok tarif cukai sesuai peta jalan yang dibuat Kementerian Keuangan pun ditunda.
”Kita tetap mengikuti struktur dari kebijakan cukai 2018 dari sisi harga jual eceran ataupun pengelompokannya,” kata Sri Mulyani. Rapat terbatas tersebut dihadiri antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly.
Di hari yang sama, Menteri Kesehatan Nila Moeloek meluncurkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang salah satu isinya yang krusial adalah prevalensi merokok yang terus naik. Ini sejalan dengan hasilnya yang lain yakni meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular di masyarakat.
Prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun ke atas, misalnya, sebesar 29,3 persen atau naik dari tahun 2013 yang sebesar 28,8 persen. Prevalensi penyakit kanker juga naik dari 1,4 persen (2013) jadi 1,8 persen (2018). Begitu juga dengan prevalensi stroke yang naik dari 7 persen (2013) menjadi 10,9 persen (2018). “Masyarakat harus mulai mengubah perilakunya agar tidak jadi sakit dengan menghidari faktor risiko,” ujar Nila.
Masyarakat harus mulai mengubah perilakunya agar tidak jadi sakit dengan menghidari faktor risiko.
Menurut Abdillah, fakta terbaru dalam riskesdas 2018 menunjukkan bahwa masyarakat kini kian sakit. Kenyataan ini seharusnya menjadi perhatian Presiden Joko Widodo jika ingin fokus pada pembangunan sumber daya manusia sesuai janjinya beberapa waktu lalu.
Fokus pada pembangunan manusia menitikberatkan pada dua aspek, kesehatan dan pendidikan agar sumber daya manusia Indonesia sehat dan pintar. Cukai rokok yang tidak naik tidak sejalan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.
Dengan tarif cukai saat ini maka harga penjualan rokok maksimal per batang adalah Rp 1.200. Ini sudah termasuk komponen cukai di dalamnya yang lebih kurang sebesar Rp 600 per batang.
Sementara Tulus Abadi mengatakan, cukai rokok yang tidak naik pun menjadi bukti bahwa pemerintah abai terhadap perlindungan konsumen. Sebab, cukai adalah instrumen kuat untuk melindungi konsumen agar tidak semakin terjerumus oleh bahaya rokok, baik bagi kesehatan tubuhnya bahkan kesehatan finansialnya.
"Kebijakan cukai ini membuktikan pemerintah tidak punya visi terhadap kesehatan publik. Pembatalan kenaikan cukai mengakibatkan produksi rokok meningkat dan makin terjangkau oleh anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin. Itu artinya pemerintah menjerumuskan mereka dalam ketergantungan konsumsi rokok sekaligus menjerumuskan mereka ke dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam,” kata Tulus.
Tarif cukai rokok yang tidak naik juga akan mengakibatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan semakin terbebani oleh biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok. Selama ini, penyakit terkait rokok seperti misalnya stroke, penyakit jantung, juga kanker telah menyedot biaya kesehatan yang sangat besar dalam program JKN.
Pola hidup sehat
Sementara itu, penerapan pola hidup sehat diyakini dapat menekan defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Karena itu Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat selalu menerapkan pola hidup sehat.
Ajakan untuk selalu menjaga pola hidup sehat disampaikan Presiden Jokowi saat membuka Pertemuan Kabupaten/ Kota Sehat ke-4 di Aula Kantor Pemerintahan Kota Tangerang, Banten, Minggu (4/11/2018). "Gerakan hidup sehat harus terus betul-betul didorong agar pengeluaran BPJS Kesehatan ini turun," kata Presiden. Hadir dalam acara itu Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Gubernur Banten Wahidin Halim, dan Wali Kota Tangetang Arief Wismansyah.
Presiden memaparkan, dana BPJS Kesehatan untuk menanggung pengobatan masyarakat yang terkena penyakit berat relatif tinggi. Berdasarkan data yang diterima, pengeluaran BPJS Kesehatan paling banyak untuk masyarakat yang terkena penyakit jantung, yakni sebanyak Rp 9,5 triliun. Selain itu penyakit kanker Rp 3 triliun, gangguan ginjal Rp 2,2 triliun, dan lainnya.
Besarnya pengeluaran membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 10,9 triliun pada tahun 2018. Akibatnya pemerintah harus mengalokasikan anggaran negara untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. Saat ini pemerintah pusat telah mengucurkan anggaran Rp 4,93 triliun untuk menalangi defisit BPJS Kesehatan.
Joko Widodo menyampaikan, pengeluaran BPJS Kesehatan bisa ditekan. Salah satunya dengan melakukan gaya hidup sehat. Tidak hanya mengonsumsi makanan sehat, masyarakat juga didorong untuk menjaga pola istirahat serta berolahraga secara rutin.
"Dimana-mana harus kita ingatkan, lebih baik memiliki pola hidup sehat daripada sakit harus mengobati," kata Presiden.
Nila menambahkan, pemerintah kabupaten/kota perlu menggalakkan program untuk mendorong kesehatan masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Pemkot Tangerang yang melaksanakan program "Cageur Jasa" yang berarti sangat sehat atau sehat sekali. Program itulah yang mengantarkan Kota Tangerang berkali-kali mendapatkan penghargaan sebagai kota sehat.
Untuk menyokong pola hidup sehat, lanjut Joko Widodo, pemerintah terus membangun dan memperbaiki infrastruktur seperti sanitasi, selokan, dan lainnya. Sebab sanitasi yang tidak sehat juga merupakan sumber penyakit.
Menkes juga menjelaskan pertemuan kabupaten/kota sehat merupakam forum yang digelar dua tahun sekali. Forum itu digelar untuk membahas berbagai masalah kesehatan terkini. (ANITA YOSSIHARA)