Rendahnya frekuensi seksual dan keinginan punya anak jadi persoalan rumit di negara-negara maju. Meski mereka menawarkan berbagai iming-iming agar warganya mau memiliki anak, nyatanya tak semudah itu membalik keinginan orang untuk punya anak.
Hasrat untuk berhubungan suami-istri dan keinginan memiliki anak memang dua hal berbeda, namun saling berkait. Di negara maju dengan tingkat fertilitas konsisten rendah, hasrat berhubungan seksnya terus turun.
Turunnya frekuensi hubungan seks yang ujungnya menurunkan tingkat fertilitas merupakan masalah kompleks. Menanggulanginya pun butuh solusi dari berbagai aspek, mulai dari keamanan, ekonomi yang stabil, hingga mengembalikan ruang-ruang komunal dan sosial yang memungkinkan masyarakat berinteraksi.
Karena itu, berbagai negara dan pemerintah kota pun membuat kebijakan afirmatif demi mendorong warganya mau menikah, berhubungan suami-istri dan mempunyai anak. Tidak mudah dan tidak selalu berhasil, tapi harus dilakukan.
"Meningkatkan fertilitas selalu lebih sulit, mahal dan lama dibanding menurunkan fertilitas," kata Guru Besar Emeritus Kependudukan Universitas Nasional Australia Gavin W Jones di Bali, September 2018.
Salah satu usulan unik untuk meningkatkan fertilitas itu disampaikan anggota dewan kota Övertorneå, Swedia, Per-Erik Muskos, Februari 2017. Dia mengusulkan subsidi seks bagi 550 pegawai kota itu. Dikutip dari The New York Times, 23 Februari 2017, subsidi diberikan dengan memberikan 1 jam waktu kerja setiap minggunya agar pegawai kota pulang dan berhubungan seks dengan pasangannya.
Selain mendorong pertumbuhan penduduk kota yang menua, subsidi seks itu diharapkan meningkatkan romantisme pernikahan, memperbaiki moral pekerja hingga mendapat manfaat kesehatan dan kesejahteraan.
Namun BBC pada 16 Mei 2017 menyebut dewan kota menolak usulan itu. Hubungan seks adalah urusan privat yang tidak perlu dicampuri pemerintah karena bisa mempermalukan orang-orang yang tidak punya pasangan, tidak ingin berhubungan seksual, atau memiliki kendala medis.
Diluar proposal subsidi seks itu, Swedia adalah negara dengan banyak ‘kemewahan’ bagi orangtua yang punya anak. Cuti 480 hari untuk melahirkan dan merawat bayi bagi ibu dan ayah, jaminan kesehatan yang baik, hingga pendidikan gratis.
Jepang pun sama. Demikian pula negara maju lain, seperti Australia, Korea Selatan dan Singapura. Berbagai kebijakan afirmasi ditawarkan, mulai bantuan pembiayaan tunai bagi keluarga yang punya anak hingga mendorong perusahaan memberi waktu lebih banyak bagi karyawan untuk rekreasi dan kumpul bersama keluarga.
Namun, itu tak cukup mendorong warganya berlomba punya anak. Kebijakan itu hanya memberi solusi pendek yang sejatinya tak sesuai dengan masalah struktural dibalik turunnya hasrat seksual masyarakat, yaitu terus berkurangnya kebahagiaan masyarakat.
Karena itu, jika Indonesia ingin menjaga penduduk tumbuh seimbang mulai 2020, dugaan turunnya frekuensi hubungan seks itu tidak bisa disepelekan. Perhatian itu khususnya di sejumlah daerah dengan tingkat fertilitas kurang dari 2,1 anak per perempuan, seperti Jawa Timur, Bali dan DI Yogyakarta.