JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama antarnegara untuk menghadapi ancaman kesehatan global terus ditingkatkan. Dunia sedang dihadapkan pada wabah penyakit pandemi yang melampaui batas-batas negara. Hal itu menjadi agenda dari Global Health Security Agenda atau GHSA ke-5 yang akan digelar di Bali, pada 6-8 November 2018.
Berdasarkan catatan Kompas, penyakit pandemi terjadi di sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2016, virus zika menginfeksi banyak orang di Amerika Selatan. Di Indonesia, dalam rentang 2005-2014, ada 197 kasus flu burung (H5N1) dan angka kematian 165 orang.
“GHSA ini adalah forum dialog, komunikasi, dan kolaborasi untuk saling menguatkan kapasitas negara masing-masing dalam upaya pencegahan terhadap wabah penyakit yang ada di seluruh dunia,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihanto dalam acara temu media GHSA, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Anung mengatakan, kerja sama antarnegara dalam menghadapi penyakit pandemi ini penting karena tidak hanya menyangkut kepentingan negara itu sendiri. Negara lain pun ikut terkena dampak, baik langsung maupun tidak langsung. Dia mencontohkan kasus Sindrom Pernapasan Timur Tengah akibat Virus Corona (MERS-CoV) yang pernah terjadi di Korea Selatan pada 2015.
“Ketika kasus itu terjadi, negara lain yang mengirim tenaga kerja ke negara itu diperiksa dengan sangat ketat,” kata Anung.
Ia mengatakan, pada forum yang digelar selama tiga hari itu akan dibahas konsep One Health. Konsep ini adalah upaya kolaboratif dari berbagai sektor, utamanya kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan yang optimal.
Dalam penyelenggaraannya, GHSA melibatkan berbagai pihak dan didukung badan dunia di bawah PBB, antara lain Badan Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Organisasi Kesejahteraan Hewan Dunia (OIE).
“Harapannya, masing-masing negara punya kemampuan yang sama dalam menghadapai penyakit pandemi. Forum ini juga memungkinkan masing-masing negara untuk saling membagi apa saja praktik baik yang sudah dilakukan di negara tersebut,” lanjutnya.
Indonesia sudah bergabung dengan GHSA sejak awal forum ini terbentuk, yakni tahun 2014. Salah satu keuntungan dari hal tersebut adalah masuknya Indonesia ke dalam Joint External Evaluation (JEE), sebuah penilaian yang dilakukan tim independen terhadap kesiapsiagaan suatu negara dalam menghadapi penyakit pandemi.
“Dengan masuk JEE, kita bisa mengetahui penilaian di mana posisi kita saat ini dan apa yang harus diperbaiki apabila terjadi pandemi. Selain itu, kita juga dapat informasi dari negara lain yang tergabung di dalam GHSA,” kata Anung. Pada tahun 2017, kata Anung, Indonesia berada pada nilai 3,5 dari nilai maksimum 5. Ini termasuk standar moderat.
Kerangka kerja
Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Kesehatan Acep Somantri mengatakan, GHSA ke-5 ini merupakan akhir dari fase lima tahun pertama yang berlangsung dari 2014-2018. Pada pertemuan terakhir (2017) di Uganda, forum yang kini beranggotakan 65 negara ini sepakat melanjutkan kegiatan ini untuk merumuskan kerangka kerja GHSA 2024.
“Harapannya, dalam kerangka kerja ini dihasilkan komitmen dari masing-masing negara yang lebih konkret terkait ancaman kesehatan global,” kata dia.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini juga bertujuan untuk meninjau dan meningkatkan komitmen yang dibuat pada lima tahun pertama. Selama ini, kerja sama antarnegara anggota mengemuka dalam 11 paket aksi, yaitu penanggulangan Anti Microbial Resistance (AMR), pengendalian penyakit zoonosis, biosafety dan biosecurity, imunisasi, penguatan sistem laboratorium nasional, surveilans, pelaporan, dan penguatan sumber daya manusia. Ada juga penguatan pusat penanganan kegawatdaruratan, kerangka hukum dan respons cepat multisektoral, serta mobilisasi bantuan dan tenaga medis. (INSAN ALFAJRI)