Suplemen Herbal Menjadi Alternatif Pengobatan Kolesterol
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tidak semua orang dapat mengonsumsi obat penurun kolesterol karena efek samping yang ditimbulkan. Obat penurun kolesterol yang lazim digunakan bagi para penderita kolesterol selama ini menimbulkan sejumlah efek samping bagi sejumlah konsumen, yaitu nyeri otot dan gangguan fungsi hati.
Padahal, kolesterol dapat memicu penyakit jantung dan stroke apabila dibiarkan. Oleh sebab itu, suplemen herbal dapat dikonsumsi sebagai pengganti statin, obat penurun kolesterol yang lazim digunakan oleh para penderita kolesterol selama ini.
“Tidak banyak orang yang tidak cocok dengan statin. Misalnya, dari 100 orang, mungkin sekitar lima hingga sepuluh orang yang merasakan nyeri otot, baik nyeri otot ringan hingga yang mengganggu. Kalau seperti ini, konsumsi statin tidak bisa diteruskan,” kata dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis farmakologi klinik, Nafrialdi, Kamis (27/9/2018), di Jakarta.
Hal itu disampaikan pada acara pemaparan hasil uji klinis suplemen herbal. Hadir pula dalam acara ini Associate Director Consumer Health Care 2 PT Novell Pharmaceutical Laboratories Boedi Harjono dan anggota tim peneliti dari Clinical Research Supporting Unit (CRSU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia J Hudyono.
Mengonsumsi suplemen herbal dapat dilakukan sebagai pengganti statin. Namun menurut Nafrialdi, ada dua aspek yang patut diperhatikan sebelum mengonsumsi suplemen, yaitu keamanan dan efikasinya. Aspek keamanan suplemen diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, sedangkan aspek efikasi hanya dapat diketahui melalui penelitian.
Penelitian serupa telah dilakukan terhadap salah satu suplemen herbal, Nutrafor CHOL. Penelitian dilakukan terhadap 32 peserta perempuan dan 17 peserta laki-laki. Para peserta mengonsumsi suplemen itu dengan dosis dua kali dua kapsul selama 30 hari.
Penelitian itu menunjukkan hasil positif. Kadar kolesterol menurun sebanyak 24 miligram per desiliter. Selain itu, kadar low-density lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat menurun 22 miligram per desiliter dan trigliserida menurun sembilan miligram per desiliter. Sebagai perbandingan, ambang batas aman kolesterol adalah dalam kadar antara 150-200 miligram per desiliter.
Kandungan bahan alami pada herbal dinilai lebih aman bagi tubuh apabila dibandingkan dengan obat kimiawi. Nutrafor CHOL mengandung tiga bahan utama, yaitu ragi beras merah, guggulipid, dan chromium picolinat. Ketiga bahan tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Ragi beras merah berfungsi untuk menghambat produksi kolesterol dalam hati. Guggulipid, sejenis tumbuhan yang tumbuh di India, berfungsi untuk mencegah kolesterol untuk menempel di pembuluh darah. Sementara itu, chromium picolinat berfungsi untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan fungsi kerja hormon insulin.
“Suplemen itu sifatnya tidak mengikat seperti obat pada umumnya. Bila kolesterol sudah teratasi, pasien bisa memilih untuk terus mengonsumsi suplemen atau tidak,” kata Nafrialdi.
Pencegahan
Kadar kolesterol yang berlebih dapat memicu penyempitan pembuluh darah. Hal itu berpotensi menimbulkan penyakit jantung dan stroke. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, ada 17,5 juta kasus kematian karena penyakit jantung di dunia. Di Indonesia, stroke menjadi penyakit penyebab kematian nomor satu.
Gaya hidup dan pola makan yang tidak seimbang merupakan contoh pemicu timbulnya kolesterol. Menurut Associate Director Consumer Health Care 2 PT Novell Pharmaceutical Laboratories Boedi Harjono, kadar kolesterol dalam tubuh dapat dikontrol dengan perilaku hidup yang tepat.
“Ada lima gaya hidup yang dapat menjaga kadar lemak darah, yaitu memperbaiki pola makan, olahraga teratur, istirahat yang cukup, mengecek kadar lemak darah secara teratur, dan mengonsumsi obat atau suplemen bila kadar lemak darah tinggi,” kata Boedi.
Konsumsi lemak berlebih juga dapat memicu kolesterol. Batas konsumsi lemak yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan adalah 67 gram atau setara dengan lima sendok minyak makan. Namun, menurut data dari Survei Konsumsi Makanan Indonesia (SKMI) pada 2014, ada 26,5 persen penduduk Indonesia yang mengonsumsi lemak lebih dari batas yang dianjurkan. (SEKAR GANDHAWANGI)