JAKARTA, KOMPAS — Hipertensi paru tergolong penyakit langka di Indonesia. Meski demikian, penyakit ini berakibat fatal apabila tidak diobati dengan baik. Data menunjukkan, perempuan rentan mengidap hipertensi paru.
Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Hipertensi Paru Indonesia beberapa tahun terakhir, prevalensi hipertensi paru di dunia adalah 1 pasien per 10.000 penduduk. Sebanyak 80 persen pasien hipertensi paru tinggal di negara-negara berkembang.
Di Indonesia, jumlahnya diperkirakan mencapai 25.000 jiwa. Sebagian besar pengidap hipertensi paru adalah anak-anak hingga usia dewasa pertengahan. Umumnya pengidap berjenis kelamin perempuan dengan perbandingan 9:1.
Data Rumah Sakit Harapan Kita pada 2015 menunjukkan, dari 579 pasien hipertensi paru, 375 pasien berjenis kelamin perempuan. Adapun pemicu hipertensi paru terbanyak adalah penyakit jantung bawaan dengan 53,6 persen dari total 1.070 pasien.
Sementara itu, berdasarkan data Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito, Yogyakarta, pada Juli 2012-Agustus 2018, sebanyak 79 persen dari 889 pasien hipertensi paru adalah perempuan.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito, Yogyakarta, Lucia Kris Dinarti, Senin (24/9/2018), di Jakarta, mengatakan, belum diketahui penyebab pasti perempuan lebih banyak mengidap hipertensi paru daripada laki-laki.
Menurut Kris, belum bisa dibuktikan apakah faktor hormonal berpengaruh terhadap hipertensi paru atau tidak. Namun, kalau dilihat ke belakang, berdasarkan faktor penyebab hipertensi paru, penyakit jantung bawaan banyak dialami perempuan.
”Hipertensi paru tentu juga tinggi pada perempuan, tetapi penyebab pastinya perlu penelitian yang lebih banyak. Ada penyakit yang kecenderungannya banyak pada laki-laki, ada pula yang banyak pada perempuan,” kata Kris dalam diskusi publik ”Ancaman Penyakit Hipertensi Paru bagi Perempuan dan Anak Indonesia” yang diadakan Yayasan Hipertensi Paru Indonesia di Jakarta, Senin.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Harapan Kita, Bambang Budi Siswanto, menjelaskan, hipertensi paru merupakan tekanan darah tinggi di arteri paru karena mengalami penyempitan atau penebalan. Akibatnya, jantung bagian kanan harus bekerja keras untuk memompakan darah ke paru-paru.
”Hipertensi paru dalam waktu lama akan membuat otot jantung melemah dan memicu gagal jantung,” kata Bambang.
Pada pasien hipertensi paru, tekanan darah di arteri paru-paru lebih dari 25 milimeter merkuri (mmHg). Padahal, normalnya tekanan darah di bawah angka tersebut.
Untuk mendiagnosis hipertensi paru secara akurat dibutuhkan langkah yang panjang karena gejala hipertensi paru tidak khas. Screening melalui elektrokardiogram dan ekokardiografi diperlukan untuk deteksi. Adapun untuk memastikannya mesti dilakukan kateterisasi jantung kanan.
”Umumnya gejala yang dialami pasien pengidap hipertensi paru adalah sesak napas yang tidak diketahui sebabnya. Jika mengalami ini, perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti,” ujarnya.
Kris menambahkan, deteksi dini penyakit jantung bawaan bisa mengurangi risiko hipertensi paru. Dengan menambal kebocoran pada jantung, hipertensi paru bisa dicegah. Namun, jika terlambat dan telah terjadi pembengkakan pada jantung bagian kanan, hipertensi tidak bisa lagi disembuhkan.
”Pasien harus mengonsumsi obat seumur hidup agar bisa bertahan,” ucapnya. (YOLA SASTRA)