Pemeriksaan Mikrobiologi untuk Diagnosis Penyakit Infeksi
Oleh
Aguido Adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Resistensi obat antimikroba meningkatkan risiko kematian pada pasien. Pemeriksaan diagnostik bisa membantu untuk mencegah resistensi obat antibiotik.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 angka kematian global akibat resistensi antimikroba atau antibiotik mencapai 700.000 jiwa per tahun. Jika tidak dikendalikan, pada 2050 akan ada sekitar 10 juta orang akan meninggal akibat resistensi antimikroba.
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) mencatat, pada 2013 prevalensi resistensi antibiotik ESBL sebesar 40 persen. Jumlah tersebut meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2016.
Rencana aksi
Untuk mengatasi masalah itu, Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Anti Mikroba. Terdapat lima rencana aksi, yaitu meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi antibiotik, meningkatkan surveilans dan penelitian yang terkait, mencegah infeksi, mengoptimalkan penggunaan antibiotik, dan memastikan investasi berkelanjutan dalam melawan antimikroba.
Sekretaris Nasional Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kemenkes Anis Karuniawati menjelaskan, salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengendalikan prevalensi resisten antibiotik adalah dengang tes diagnostik. Tes ini penting dalam mengidentifikasi bakteri untuk terapi pasien secara individu.
Tes diagnostik menyediakan informasi bagi dokter untuk mendiagnosis penyakit dan memilih antibiotik yang tepat. Selain itu, konsolidasi hasil uji kepekaan antibiotik dari semua pasien untuk memantau kecenderungan kepekaan dan resistensi. Dari tes diagnostik, dokter bisa memutuskan terapi antibiotik lini pertama sebelum hasil kepekaan antibiotik pasien individu tersedia.
Pemantauan identifikasi dan uji kepekaan antibiotik hasil dengan cara ini dikenal sebagai surveilans. Data surveilans ini juga berfungsi untuk mencegah infeksi dan menghindari infeksi menyebar ke pasien.
Anis menambahkan, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi penting dilakukan untuk memberikan informasi yang akurat tentang ada atau tidaknya mikroba di dalam spesimen atau sampel yang mungkin merupakan penyebab infeksi.
Selain itu, bila ada pertumbuhan mikroba patogen terutama bakteri dan jamur, maka itu dilanjutkan uji kepekaan mikroba pada antomikroba. Hasil pemeriksan laboratorium mikrobiologi ini jadi acuan menemukan mikroba patogen yang sesuai. “Itu bertujuan mendiagnosis penyakit infeksi yang tepat dan menentukan terapi sesuai untuk pasien,” ujar Anis, Jakarta, Senin (24/9/2018).
Itu bertujuan mendiagnosis penyakit infeksi yang tepat dan menentukan terapi sesuai untuk pasien.
Komite Pengendalian Resisten Anti mikroba Kementerian Kesehatan Hari Parathon menambahkan, dokter dan rumah sakit di Indonesia perlu memberikan informasi dan pendidikan terkait diagnostik kepada pasien.
Dokter tidak boleh sembarangan melakukan diagnostik. Diagnostik harus dilakukan berdasarkan uji coba atau tes laboratorium. Dampak kesalahan diagnostik berbahaya terutama ketika dokter langsung memberikan antibiotik.
Dalam menangani pasien, dokter harus tahu tata laksana infeksi pada pasien. Pemberian antibiotik tak boleh sembarangan dan harus melalui tes diagnostik untuk menentukan antibiotik yang sesuai kondisi pasien berdasarkan dosis, rute, dan durasi. "Harus tahu infeksinya karena bakteri, virus, parasit atau jamur? Jika infeksi dari bakteri, lalu apa jenis bakterinya dan antibiotik yang sesuai dengan pasien,” kata Hari.
Namun diakui, banyak kasus di Indonesia, dokter tidak melakukan tes diagnostik dan memberikan antibiotik pada pasiennya. Selain itu, pemahaman antibiotik yang salah menyebabkan masyarakat justru meminta antibiotik kepada dokter.
Hari mengatakan, tak semua antibiotik bisa digunakan ke semua infeksi. Penggunaan antibiotik sering dipakai untuk infeksi bakteri. Namun, mengkonsumsi antibiotik secara terus menurus akan membuat bakteri beradapasi sehingga bakteri akan kebal terhadap antibiotik. Selain itu, antibiotik tidak hanya membunuh bakteri yang menyebabkan peyakit, tetapi juga bakteri-bakteri lain yang bermanfaat bagi tubuh.
Tidak semua penyakit diobati dengan antibiotik. Contohnya, batuk dan pilek tak perlu diberi antibiotik pun bisa sembuh. Batuk dan pilek adalah cara tubuh untuk melindungi paru-paru dari menumpuknya lendir. “Contoh lain, muntah dan diare, itu juga tidak perlu antibiotik. Muntah dan diare cara tubuh untuk membuang zat-zat beracun dari perut,” ujarnya. (AGUIDO ADRI)