JAKARTA, KOMPAS – Uji klinis sel punca untuk pasien autisme memberikan hasil positif. Anak dengan autisme yang diberikan sel punca menunjukkan peningkatan pada skor gejala klinis persarafan. Meski begitu, saat ini terapi sel punca tidak bisa diberikan secara tunggal. Terapi lain, seperti terapi perilaku, sensori integritas, terapi bicara, dan terapi nutrisi tetap harus dilakukan.
Guru Besar Departemen Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jeanne Adiwinata Pawitan menyampaikan, sel punca adalah terapi baru dalam dunia medis. Sejauh ini, hasil dari penelitian terapi sel punca cukup meyakinkan tetapi belum ada layanan standar yang ditentukan.
“Pada autisme dan cerebral palsy memang sudah ada uji klinis untuk melihat keamanannya. Pada cerebral palsy juga sudah sampai pada uji klinis fase 2 sehingga efektivitasnya sudah terlihat. Namun, kasiatnya belum bisa dibuktikan karena belum ada RCT (uji acak terkontrol),” ujar Jeanne dalam acara “Kajian Kepedulian Terapi Sel Punca untuk Komunitas Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia” di Jakarta, Senin (17/9/2018).
Dosen Departemen Histologi FKUI yang juga pengurus stem cells and tissue engineering research cluster (SCTE-RC) IMERI FKUI, Radiana Dhewayani Antarianto mengatakan, metode terapi sel punca yang diberikan saat ini yaitu menggunakan sel punca dari tali pusar bayi dan sel punca hematopoetik (darah CD34+). Dari sejumlah uji klinis untuk anak dengan autisme, hasilnya positif.
“Skor gejala klinis (persarafan) saat ditindaklanjuti meningkat. Ini memang masih uji klinis fase satu untuk mengetahui aman atau tidak dan pasien autisme yang diteliti adalah pasien dengan klasifikasi autisme ringan,” katanya.
Ia menambahkan, pada uji klinis, pemberian sel punca untuk anak dengan autisme bisa diberikan dari beragam sumber, yakni dari sumsum tulang belakang, sel darah tepi yang dimobilisasi dengan obat granulocyte-colony stimulating factor (gcsf), dan darah tali pusat.
Secara teknis, sel punca tersebut diberikan pada pasien untuk memperbaiki ketidakseimbangan sel imun pada anak dengan autisme. Uji klinis memperlihatkan, sel punca dapat melepaskan sel yang berfungsi mengurangi penurunan fungi sel tubuh.
Peraturan
Sejumlah ahli melihat terapi sel punca akan menjadi tren terapi di masa depan, terutama untuk penyakit degeneratif. Pemerintah pun saat ini telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur panduan terkait terapi sel punca. Tujuannya agar pengembangan yang dilakukan tetap sesuai standar profesi dan menjamin keamanan bagi pasien.
Ketua Komite Nasional Sel Punca dan Sel Indonesia Kementerian Kesehatan Ismail H Dilogo mengatakan, aturan terkait terapi sel punca tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel. Peraturan ini digunakan sebaga pedoman bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan sel punca serta melindungi pasien, pendonor, dan fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggaran layanan sel punca.
“Sejauh ini, penelitian sel punca masih berbasis pelayanan. Penggunaan sel punca pun harus dilaksanakan di pelayanan terapi terstandar sesuai komite sel punca dan rekayasa jaringan serta di rumah sakit yang telah ditetapkan oleh menteri kesehatan,” ujarnya.
Adapun rumah sakit penelitian berbasis pelayanan terapi sel punca yang telah ditetapkan menteri kesehatan yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jakarta) dan Rumah Sakit Umum Daerah Soetomo (Surabaya) sebagai rumah sakit pusat, serta sembilan rumah sakit lain sebagai rumah sakit binaan. Rumah sakit ini antara lain, Rumah Sakit Umum Pusat Dr M Djamil (Padang), Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (Jakarta), Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito (Yogyakarta), dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi (Semarang).