Penderita Penyakit Tidak Menular Berkurang Jika Prevalensi Perokok Turun
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Kebijakan pengendalian produk hasil tembakau yang ketat menjadi salah satu prasyarat untuk menurunkan kejadian penyakit tidak menular. Penyakit tak menular menyebabkan kesakitan, kematian, disabilitas, dan biaya tinggi. Sulit mengharapkan penurunan penyakit tidak menular tanpa adanya penurunan prevalensi rokok.
Hal itu ditekankan Judith Mackay, Direktur Asian Consultancy on Tobacco Control usai penutupan Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) ke-12 di Nusa Dua, Bali, Sabtu (15/9/2018).
Judith mengatakan, hanya pemerintah yang bisa menaikkan tarif cukai hasil tembakau, hanya pemerintah juga yang bisa melarang sepenuhnya iklan dan sponsor rokok untuk melindungi anak-anak, dan hanya pemerintah yang bisa menerbitkan regulasi yang melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok.
Kebijakan tersebut akan menekan prevalensi perokok di suatu negara. Prevalensi merokok yang terus menurun diharapkan bisa menurunkan kasus penyakit tidak menular.
Hasil studi beban penyakit di Indonesia 1990-2016 yang sudah dipublikasikan dalam jurnal the Lancet Juni 2018, menunjukkan, terdapat beberapa penyakit terkait rokok yang dalam satu dekade terakhir menempati 10 besar penyebab kematian di Indonesia, yakni stroke, penyakit jantung, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Penyakit tidak menular tersebut kemudian membebani pembiayaan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Beban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara makin besar karena besaran iuran JKN tak sesuai perhitungan aktuaria.
Di antara negara ASEAN, prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia adalah yang tertinggi (66 persen) dan yang terendah adalah Singapura (21 persen).
Prof Geoffrey T Fong, peneliti senior dari University of Waterloo, Kanada, menyampaikan, jika semua negara di dunia mengimplementasikan semua pilar FCTC pada tahun 2014 maka sepertiga lebih perokok di dunia akan berkurang.
Sayangnya, karena implementasi FCTC belum kuat maka penurunan jumlah perokok di dunia pun baru sekitar 5 persen.
APACT ke-12 telah menghasilkan sebuah resolusi yang intinya adalah mendorong negara-negara di Asia Pasifik untuk mempercepat implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Secara spesifik resolusi itu juga menyebut Indonesia agar mengaksesi FCTC dalam waktu setahun ke depan.
Resolusi tersebut juga mendorong negara di Asia Pasifik untuk menetapkan cukai produk tembakau 75 persen dari harga ritel, menerapkan peringatan kesehatan bergambar yang maksimal dalam dua tahun ke depan, mendorong implementasi maksimal Kawasan Tanpa Rokok (KTR), menghindarkan industri rokok dari aktivitas terkait SDGs.
Nafsiah Mboi, anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, mengatakan, pertimbangan politis dan ekonomis dalam menyusun kebijakan pengendalian tembakau lebih mendominasi dibandingkan aspek kesehatan masyarakat dan pembangunan manusia. Pemerintah perlu terus bekerja sama dengan organsasi masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan pengendalian tembakau yang kuat.