JAKARTA, KOMPAS – Warga Dusun Winong, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah mengadukan dugaan penimbunan dan pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cilacap kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat setempat.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dimaksud adalah abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottomash) yang dihasilkan dari pembakaran batu bara. Laporan tersebut diajukan melalui Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Kamis (13/9/2018). Sebelumnya, laporan serupa disampaikan ke Bupati dan Dinas Lingkungan Hidup setempat. Namun, hingga kini laporan itu belum ditindaklanjuti.
Perwakilan Walhi Jawa Tengah Fahmi Bastian mengatakan, ada dugaan pelanggaran izin yang dilakukan oleh pengelola PLTU Cilacap. Pasalnya, setiap orang yang membuang limbah B3 diwajibkan memiliki izin. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Menurutnya, luas area yang digunakan untuk menimbun dan membuang limbah tersebut mencapai delapan hektar.
Menurut perwakilan FMPWL, Riyanto, limbah abu yang dihasilkan oleh PLTU Cilacap telah berdampak pada kehidupan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan dan kebersihan. “Pembuangan abu terbang dan abu dasar hanya berjarak 20 meter dari permukiman. Dampaknya sangat mengganggu. Kami kehilangan hak atas lingkungan dan air yang bersih,” katanya.
Dusun Winong dihuni oleh 877 penduduk. Para penduduk mengeluhkan sejumlah masalah terkait limbah yang dihasilkan oleh PLTU Cilacap, seperti kesehatan, kekeringan, dan pencemaran lingkungan. Berdasarkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), PLTU Cilacap Unit 1 dan 2 menghasilkan limbah abu terbang dan abu dasar sebesar 4.500 ton per bulan.
Pembakaran batu bara tidak hanya menghasilkan abu terbang dan abu dasar. Hal itu juga menghasilkan emisi yang mengandung logam berat, seperti merkuri dan kromium. Bila lingkungan tercemar oleh logam berat, hal itu akan berdampak pada kesehatan masyarakat.
“Abu hasil pembakaran batu bara mengandung logam berat. Kalau itu masuk ke dalam air tanah dan ke siklus makanan manusia, masayarakat bisa keracunan logam berat,” kata kata Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, Dwi Sawung.
Para pelapor membawa sejumlah barang bukti untuk diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bukti yang dibawa berupa foto, video, dan surat-surat izin yang diduga menyalahi peraturan.
Laporan tersebut telah diterima oleh KLHK. Laporan akan melewati tahap registrasi, pengkajian, verifikasi administrasi, dan verifikasi lapangan. Tahap verifikasi administrasi dapat memakan waktu 30 hari kerja, sedangkan verifikasi lapangan menghabiskan waktu empat hari hingga dua minggu, tergantung pada proses pencarian fakta lapangan.
“Kami harus menelaah laporan yang masuk. Bila sudah diregistrasi, para pelapor dapat melacak kemajuan penindakan laporannya melalui website. Tahun ini kita sudah menerima 475 laporan, jadi butuh waktu,” kata Kepala Seksi Pengaduan Kehutanan pada Sub Direktorat Penanganan Pengaduan, Direktorat Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administratif KLHK Chusnul Faridh.
Upaya penelitian
Walhi sedang meneliti dampak yang dihasilkan dari penimbunan abu terbang dan dasar yang terjadi di Dusun Winong. Penelitian dilakukan dengan membandingkan sampel air di area itu dengan air dari daerah yang tidak tercemar oleh limah B3. Perbandingan dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan tahun ini.
“Itu dilakukan untuk memperoleh hasil penelitian yang menyeluruh. Semoga hasilnya bisa kami dapatkan akhir tahun ini,” kata Dwi.