Pembedahan Bukan Pilihan Terakhir bagi Penderita Epilepsi
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS— Bedah epilepsi belum jadi pengobatan umum di Indonesia. Selain minimnya layanan bedah, sebagian masyarakat menganggap bedah jadi pilihan terakhir dalam terapi. Padahal, semakin dini pembedahan, hasilnya kian baik untuk menurunkan angka kejadian kejang pada penyandang epilepsi.
Guru Besar Bidang Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Zainal Muttaqin menyampaikan, tak semua kejang pada orang dengan epilepsi bisa diatasi dengan obat. Ada sekitar 30 persen penyandang epilepsi tetap kejang meski mengonsumsi obat secara teratur.
”Dari 30 persen yang kejangnya tetap kambuh meski sudah diberi obat, 50 persen di antaranya bisa sembuh kejangnya dengan operasi,” ujarnya seusai simposium Diagnosis dan Tata Laksana Epilepsi di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Senin (3/9/2018).
Dari 30 persen yang kejangnya tetap kambuh meski sudah diberi obat, 50 persen di antaranya bisa sembuh kejangnya dengan operasi.
Bagi penyandang epilepsi, yang mengonsumsi dua jenis obat atau lebih selama dua tahun tetapi kejang tak terkontrol, dianjurkan berkonsultasi ke dokter spesialis bedah saraf. Menurut riset yang dilakukan Zainal, pasien berusia kurang dari 25 tahun dan penyakitnya dialami kurang dari 10 tahun, keberhasilan bedah untuk menurunkan kejang makin baik.
Ia menekankan, bedah epilepsi bukan untuk melepaskan penderita dari konsumsi obat. Namun, bedah dilakukan agar kejang pada penyandang epilepsi bisa diminimalkan. Sebab, sekali mengalami kejang, fungsi sel otak pasien bisa menurun. Lebih jauh, dampaknya bisa menyebabkan gangguan kejiwaan. Untuk itu, pembedahan lebih baik dilakukan sejak dini.
International League Against Epilepsy (ILAE) mencatat, ada sekitar 50 juta penyandang epilepsi di dunia. Sementara di Indonesia, ada sekitar 2 juta orang. Diperkirakan, 90 persen dari jumlah total pasien yang mengalami kejang tak terdiagnosis dan tidak diobati dengan benar.
Zainal menyayangkan, pusat bedah epilepsi di Indonesia saat ini hanya berada di Semarang. Selama lebih kurang 17 tahun beroperasi, 650 pasien terlayani. Ia berharap agar ada pusat bedah epilepsi di sejumlah daerah lain untuk meningkatkan akses layanan bagi pasien.
Kerja tim
Bedah epilepsi perlu dilakukan secara mendalam dan teliti. Proses operasi membutuhkan kerja tim dari dokter spesialis bedah saraf. Sebelum menjalani operasi, pasien harus dipastikan membutuhkan pembedahan.
Untuk itu, pasien perlu menjalani sejumlah pemeriksaan, mulai dari pemeriksaan sebelum terjadi kejang, rekaman aktivitas listrik otak atau elektroensefalogram (EEG) secara berulang, serta pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI). Proses tersebut butuh waktu sekitar lima bulan perawatan di rumah sakit, termasuk masa pemulihan.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Hasan Machfoed mengatakan, epilepsi bisa ditandai dengan kejang atau bangkitan yang terjadi tanpa sebab dan berlangsung secara berulang. Biasanya setelah menjalani pengobatan, seseorang bisa dinyatakan bebas kejang setelah 10 tahun tidak mengalami kekambuhan.
Epilepsi bisa disebabkan infeksi otak, stroke, cedera otak karena trauma, tekanan darah sangat tinggi, serta kadar gula amat rendah. ”Epilepsi juga bisa dipengaruhi oleh faktor genetika meski jumlahnya sangat sedikit,” ujarnya.
Hasan menambahkan, tidak semua kejang bisa disebut sebagai epilepsi.
Diagnosis yang tepat dibutuhkan agar penanganannya tepat. Sejumlah pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan neurologis, EEG, CT scan, ataupun MRI scan.
Sejauh ini, pengobatan anti- epilepsi diberikan berbeda-beda kepada setiap pasien. Terapi yang diberikan tergantung dari usia, kondisi tubuh, berat badan, dan respons dari setiap pasien.