SURABAYA, KOMPAS - Komunitas anti rokok mendakwa bahwa iklan, promosi, dan sponsor yang menargetkan remaja muda atau anak-anak sebagai penyebab fenomena penurunan kwalitas sumber daya manusia berupa anak-anak kerdil, kurang asupan nutrisi hingga rendahnya kecerdasan. Mereka menilai, bentuk kampanye anti rokok kini berupa desakan agar pemerintah menaikkan harga rokok hingga tidak terjangkau, terutama oleh kelompok perokok berpendapatan rendah.
"Saat ini dengan harga rokok Rp 15.000 per pak dan seorang perokok bisa membelanjakan uang hingga dua pak sehari, maka jatah nutrisi yang bisa dibawa pulang untuk anaknya, terkurang hingga 30 - 40 persen, jika upahnya Rp 75.000 hingga Rp 100.000 sehari. Ini bisa disebut kekejaman pada generasi muda," kata Aisyah Ahmad, Wakil Kepala Pondok Putri Pesantren Tebuireng Aisyah Muhammad di depan Diskusi Publik hasil kerjasama Komisi Nasional (Kompas) Pengendalian Tembakau (KNPT) dan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, hari Sabtu (25/8/2018) berjudul "Perempuan, Agama dan Perlindungan Penerus Bangsa dari Konsumsi Rokok".
Diskusi berupa seri kegiatan yang berlangsung di Jakarta, Bogor dan Jombang, dengan tema terkait, isu perliondingan anak dan pendidikan, isu perempuan dan agama, serta pengendalian tembakau secara umum. Hadir juga sebagai nara sumber, peneliti Universitas Indonesia lembaga "Sekolah Kajian Stratejik dan Global" Renny Nurhasana, pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Kurnia Dwi Hartanti dan pengasuh KNPT.
Komunitas anti rokok berkampanye dengan tagar #Rokok harus mahal di media sosial dan situs web change.org. "Tidak ada batas kenaikan, naikkan saja harga rokok setinggi-tinggi dengan menaikkan cukai rokok. Harga rokok menjadi tak terjangkau," kata Tari.
Hal itu karena orang tua perokok sudah didakwa ikut menyebabkan gejala anak mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar teman sebaya), meski hubungannya karena faktor ekonomi. Yaitu, belanja rokok yang bisa menggerus jumlah belanja pemenuhan kebutuhan nutrisi saat ibu hamil hingga anak usia dua tahun. Salah satu jalan keluar yang didesak agar harga rokok diatur menjadi cukup mahal dengan menaikkan nilai cukai, sehingga tidak terjangkau terutama bagi perokok dari keluarga miskin.
Kurnia mengungkapkan angka perokok anak yang terus meningkat. Prevalensi perokok anak dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016, hasil survey kesehatan nasional 2016. "Sebanyak 75 persen perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun, dengan jumlah 16,4 juta orang, paling tinggi kelompok usia 15-19 tahun. Tampak kecenderungan awal merokok kian dini, kini menjadi perokok pada rentang usia 10-14 tahun dalam 10 tahun terakhir dengan tren meningkat menurut Susenas 1995, 2004, Riset Kesehatan Dasar 2007, 2010, 2013 dan BPS.
Risiko ekonomi yang dijalani perokok ini yang menjadikan anak menjadi stunting, karena kekurangan asupan nutrisi sejak dari kandungan hingga usia dua tahun. Stunting tidak bisa dikoreksi, karena permanen pada anak dalam bentuk tubuh yang pendek. Beda dengan gizi buruk yang masih bisa dikoreksi dan direhabilitas pada masa pra remaja.
Penanggulangan stunting hanya bisa dilakukan secara terpadu dengan memantau perkembangan kesehatan anak padsa ibu hamil hingga lahir, dengan menggerakkan manajemen di tingkat Posyandu. "Ini memerlukan kerjasama pemerintah dan masyarakat, sehingga tidak dengan mudah dilaksanakan," tambah Renny.