Atasi "Stunting", Intervensi Kesehatan Saja Tak Cukup
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS -- Masalah stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis disebabkan oleh faktor multidimensi sehingga penanganan masalah itu tidak cukup hanya dilakukan melalui intervensi bidang kesehatan. Langkah intervensi di luar bidang kesehatan juga perlu dilakukan, misalnya melalui penyuluhan pada orangtua.
"Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita," kata Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Evi Ratnawati dalam pembukaan acara Temu Regional Program Pembangunan Keluarga, Kamis (23/8/2018) malam, di Yogyakarta.
Stunting merupakan kondisi di mana seorang anak memiliki tinggi badan lebih pendek daripada standar anak seusianya. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama yang terjadi sejak bayi dalam kandungan sampai anak umur 2 tahun.
Evi menyatakan, di Indonesia, ada sekitar 8,8 juta anak yang menderita stunting. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan, angka kejadian stunting nasional mencapai 37,2 persen atau naik dari kondisi tahun 2010 yang sebesar 35,6 persen. Kondisi ini menunjukkan, persoalan stunting di Indonesia perlu mendapat perhatian serius.
Menurut Evi, pada tahun 2012, pemerintah Indonesia merancang dua kerangka besar untuk intervensi masalah stunting, yakni Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Intervensi Gizi Spesifik umumnya dilakukan di bidang kesehatan, misalnya dengan pemberian imunisasi, vitamin, dan makanan tambahan bagi balita, pemeriksaan balita secara rutin di posyandu, serta pemberian makanan tambahan untuk memenuhi gizi ibu hamil.
Sementara itu, Intervensi Gizi Sensitif merupakan penanganan di luar bidang kesehatan, misalnya dengan promosi dan penyuluhan pada orangtua mengenai pola pengasuhan pada masa 1.000 hari pertama kehidupan atau sejak masa mengandung hingga anak berusia 2 tahun. "Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini telah disepakati oleh para ahli di seluruh dunia," kata Evi.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, M Yani, menuturkan, BKKBN masuk ke dalam tim intervensi percepatan penurunan prevalensi stunting melalui gerakan Intervensi Gizi Sensitif. Sebagai bagian dari upaya menurunkan stunting, dia menambahkan, pada tahun 2018, BKKBN melaksanakan program prioritas nasional berupa kegiatan promosi serta komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) mengenai pentingnya masa 1.000 hari pertama kehidupan.
Kegiatan yang digelar di 100 kabupaten/kota wilayah stunting itu khususnya menyasar keluarga yang memiliki bayi di bawah usia dua tahun. "Kegiatan tersebut dilaksanakan secara berjenjang mulai dari pusat sampai ke desa atau kelurahan," ungkap Yani.
Sementara itu, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Paku Alam X mengatakan, intervensi untuk mengurangi stunting harus dilakukan secara komprehensif, baik melalui Intervensi Gizi Spesifik maupun Intervensi Gizi Sensitif. “Untuk itulah saya berharap, BKKBN yang juga masuk dalam tim intervensi percepatan penurunan prevalensi stunting, yang bergerak melalui Intervensi Gizi Sensitif, benar-benar mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam pencegahan stunting di Indonesia,” ujarnya.
Paku Alam X menambahkan, Kabupaten Kulon Progo, DIY, menjadi salah satu tempat percontohan untuk pelaksanaan kegiatan penanganan stunting dari pemerintah pusat. Kegiatan penanganan stunting itu dilakukan di 10 desa di Kulon Progo. "Ada 10 desa dari 88 desa di Kabupaten Kulon Progo yang akan diamati perkembangannya," katanya.