JAKARTA, KOMPAS – Angka cakupan air susu ibu atau ASI eksklusif di Indonesia tahun 2017 baru mencapai 35,7 persen. Hal itu berarti masih dibawah target yang ingin dicapai oleh Kementerian Kesehatan adalah 90 persen. Untuk itu, perlu dukungan dari berbagai pihak, baik swasta, pemerintah, maupun keluarga.
“Kita punya double burden, yaitu isu kekurangan dan kelebihan gizi. Tiga dari sepuluh anak masih dinyatakan stunting dan kurang cerdas. Maka dari itu, ASI sangat penting,” kata Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek dalam sebuah talkshow di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2017, ada 155 juta anak yang mengalami stunting. Di tahun yang sama, 52 juta anak dinyatakan kurus dan 41 juta anak dinyatakan gemuk. Di Indonesia, ada sekitar 500.000 balita yang masuk dalam kategori gemuk.
Dengan ASI, risiko kegemukan pada anak dapat diturunkan hingga 10 persen. Selain itu, ASI dapat menekan angka kematian pada bayi berusia kurang dari 3 bulan hingga 88 persen. Para ibu dianjurkan memberi ASI eksklusif sejak bayi berusia 0-6 bulan. Pemberian ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) saat bayi berusia 6 bulan hingga 2 tahun atau lebih.
Ada 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (LMKM) yang jadi panduan berbasis bukti ilmiah bagi fasilitas kesehatan untuk menjamin bayi mendapat ASI eksklusif saat dilahirkan, selama di rumah sakit, dan setelah pulang ke rumah (Kompas 6/8/2018).
Menurut Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari, LMKM sudah dilakukan di sejumlah rumah sakit. “Dari lebih dari 2.700 rumah sakit, yang sudah paripurna melakukan LMKM ada sekitar 40 persen. Saya juga mendorong para ibu menyusui untuk mendukung sesama karena menyusui itu butuh dukungan,” ujarnya.
Lingkungan kerja
Dorongan untuk menyusui juga dibutuhkan di lingkungan kerja. Belum semua tempat kerja maupun fasilitas umum memiliki ruang laktasi untuk ibu menyusui. Padahal, jumlah pekerja perempuan di Indonesia signifikan, yaitu 46 juta orang. Oleh sebab itu, dukungan untuk ibu menyusui perlu dilakukan, khususnya di lingkungan kerja.
Di Indonesia, ada 401 perusahaan yang melaksanakan Gerakan pekerja perempuan sehat produktif (GP2SP) atau setara dengan 61,8 persen. GP2SP adalah upaya untuk meningkatkan kepedulian kesehatan dan produktivitas pekerja atau buruh peremuan.
Tersedianya ruang laktasi merupakan salah satu sarana bagi perempuan untuk memperoleh haknya, yaitu untuk menyusui. Selain itu, pemerintah juga telah menjamin hak setiap bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, penegakkan hukum yang berlaku belum dapat mendorong kebebasan untuk menyusui.
Dari 34 provinsi, persentase provinsi yang memiliki peraturan daerah mengenai ASI adalah 44,1 persen atau setara dengan 15 provinsi, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang memiliki perda serupa adalah 41 dari 514 kabupaten/kota.
“Peraturan mengenai ruang laktasi sudah ada sebenarnya. Tinggal bagaimana penegakkan hukumnya saja. Tapi penindakan tidak bisa dilakukan oleh Kemenkes. Harus ada bantuan dari pihak lain, seperti Kementerian Ketenagakerjaan,” kata penggiat ASI, dr Utami Rusli.
Dukungan moral
Selain minimnya ruang laktasi, cuti kehamilan yang berlaku di Indonesia masih menjadi polemik. Menurut Pasal 82 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akumulasi waktu cuti melahirkan bagi pekerja atau buruh perempuan adalah tiga bulan. Waktu ini dianggap masih kurang bila memperhitungkan masa pemulihan ibu setelah melahirkan.
“Di Vietnam pekerja perempuannya juga banyak. Di sana bahkan memberi waktu cuti melahirkan selama enam bulan,” kata Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar. “Masa memberi ASI eksklusif adalah enam bulan, tapi cuti melahirkan hanya tiga bulan,” ujarnya.
Menurut Nia, para pekerja perempuan tidak hanya harus disediakan ruang laktasi di lingkungan kerja. Para pekerja perempuan juga harus diberi waktu khusus, baik untuk menyusui atau untuk memerah ASI.
“Produktivitas pekerja akan lebih baik jika mereka diberi kesempatan untuk menyusui. Anak akan jarang sakit bila gizinya terpenuhi. Para ibu pun akan lebih jarang izin untuk mengurus anak yang sakit,” ungkapnya.
Menurut kajian global bertajuk “The Lancet Breastfeeding Series”, tidak menyusui berkaitan dengan nilai ekonomi yang hilang sebanyak 302 miliar Dollar AS per tahun. Angka ini setara dengan 0-49 persen dari Pendapatan Nasional Bruto.
Selain dukungan untuk menyusui atau memerah ASI di lingkungan kerja, perempuan menyusui juga membutuhkan dukungan moral, baik dari keluarga, maupun pasangan. Hal ini dibutuhkan karena perempuan menyusui rentan terhadap stres. Akibatnya, produksi ASI dapat terhambat.
“Menyusui itu proses bertiga, bukan berdua. Menyusui melibatkan ibu, anak, dan ayahnya. Harus kerja sama,” kata dr Utami Rusli. (SEKAR GANDHAWANGI/E07)