JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat diberi kesempatan menunggu fatwa Majelis Ulama Indonesia sebelum menerima vaksin campak/measles dan rubela. Hal ini terkait kepastian dan ketersediaan informasi tentang komposisi bahan vaksin tersebut.
”Kalau informasi itu tersedia, dalam beberapa hari (fatwa) bisa selesai,” kata Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni’am Sholeh di Jakarta, Jumat (3/8/2018). Hal itu dikatakan Ni’am setelah MUI bertemu dengan Kementerian Kesehatan terkait penggunaan vaksin measles-rubela (MR) di Jakarta. Hadir dalam pertemuan itu Menteri Kesehatan Nila Farid Moeleok dan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin.
Menurut Ni’am, kesehatan tidak bisa dipisahkan dari aspek keagamaan, begitu pula sebaliknya. Perspektif keagamaan memberikan pendukungan yang luar biasa terhadap pelaksanaan kegiatan imunisasi sebagai mekanisme pencegahan penyakit berbahaya.
”Oleh karena itu, awal tahun 2016, MUI secara khusus membahas dan menetapkan fatwa nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi. Salah satu isinya menyebutkan, imunisasi merupakan salah satu mekanisme pengobatan preventif untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat. Imunisasi dibolehkan dengan vaksin yang halal atau suci,” tutur Ni’am.
Menurut Ni’am, vaksinasi sebagai sebuah mekanisme pencegahan secara syar’i dibenarkan. Namun, vaksin sebagai produk yang akan digunakan perlu dinilai dan ditetapkan pula hukumnya.
Terkait vaksin MR, Ni’am mengatakan, ada kesepahaman dan komitmen dengan Kemenkes untuk mempercepat proses sertifikasi kehalalan vaksin MR. Langkah percepatannya, Kemenkes atas nama negara meminta PT Biofarma dan Serum Institute of India (SII) memberikan komposisi pembentuknya.
Setelah itu, Komisi Fatwa MUI akan mempertimbangkan untuk mempercepat proses penetapan fatwa setelah proses audit oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Selanjutnya, kata Niam, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, bisa dikeluarkan sertifikat halal apabila terbukti bersih dari sisi bahan, tidak ada anasir yang terbukti haram atau najis.
”Kemungkinan kedua, jika ditemukan ada unsur pembentuknya najis atau haram, dengan penjelasan bahwa bila tidak diimunisasi akan mengakibatkan mudarat kolektif di masyarakat, maka terhadap yang haram tadi bisa dibolehkan untuk digunakan, dengan catatan tidak ada alternatif lain yang halal atau bahayanya sudah sangat mendesak. Itu poin pentingnya,” ujar Ni’am.
Berdasarkan data WHO tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan kasus campak terbesar di dunia.
Menteri Nila Moeloek mengatakan akan segera meminta PT Biofarma agar segera melengkapi dokumen kepada LPPOM MUI. Dia juga akan menyurati SII untuk menanyakan kembali bahan vaksin MR.
”Kami tetap menjalankan kampanye imunisasi MR. Dari sisi kesehatan, tentu kami berkewajiban untuk melindungi anak-anak dan masyarakat dari bahayanya penyakit campak dan rubela sambil terus mempercepat proses sertifikat halal vaksin itu,” ucap Menkes.
Berdasarkan data WHO tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan kasus campak terbesar di dunia. Data Kemenkes mencatat jumlah kasus suspect campak dan rubela periode 2014 hingga Juli 2018 sebanyak 57.056 kasus, 8.964 positif campak dan 5.737 positif rubela.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menegaskan, pihaknya akan tetap melaksanakan kampanye imunisasi MR di daerah dalam kerangka pencegahan penyakit. Namun, Kemenkes akan memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memilih menunggu terbitnya fatwa MUI.
Menurut Anung, pemberian vaksinasi MR akan dilaksanakan pada kesempatan selanjutnya. Hal ini dimungkinkan mengingat periode pelaksanaan kampanye imunisasi MR di 28 provinsi di luar Pulau Jawa selama dua bulan, Agustus-September 2018.
”Waktu kita kan cukup panjang, dari Agustus sampai September. Kementerian Kesehatan akan tetap memberikan pelayanan sambil kita percepat prosesnya,” lanjut Anung.
Kebijakan nasional
Di sejumlah daerah, vaksin MR juga belum diberikan dengan alasan serupa. Sekretaris MUI Kalimantan Tengah Syamsuri Yusuf mengatakan hanya menjalankan surat edaran dari MUI pusat terkait pemberian vaksin MR secara massal.
Atas dasar itu, surat edaran dibagikan ke 14 kabupaten/kota di Kalteng. Sertifikat halal akan diberikan setelah lolos uji halal di pusat penelitian dan kajian milik MUI.
”Sesuai arahan MUI pusat, kami juga meminta itu (pemberian vaksin) ditunda sampai ada kejelasan status halalnya,” kata Syamsuri.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Yayu Indriaty mengungkapkan, pihaknya tetap melayani pemberian vaksin di seluruh wilayah Kalteng. Pemberian vaksin atau imunisasi MR merupakan kebijakan nasional.
”Kami menghormati sikap masyarakat dan MUI terkait ini, tetapi kami tidak bisa menghentikannya karena ini program nasional,” ujar Yayu.
Ia menjelaskan, pemberian vaksin MR sudah berjalan sejak awal Juli lalu. Sampai saat ini sudah 40.072 anak di Kalteng yang mendapatkan vaksin tersebut atau 5,8 persen dari target 691.362 anak.
Katingan menjadi kabupaten yang paling banyak memberikan vaksin tersebut dengan 11 persen, diikuti Kabupaten Kotawaringin Barat yang mencapai 9,69 persen. Adapun Barito Utara menjadi kabupaten yang paling kecil dalam jumlah pemberian vaksin, yakni 1,9 persen.
Saat ini, lanjut Yayu, pihaknya masih fokus untuk memberikan vaksin ke sekolah-sekolah dan semuanya masih berjalan lancar. Belum ada penolakan saat pemberian vaksin tersebut. (*)