JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dapat menjadi bom waktu bagi program pemerintah, khususnya di bidang kesehatan. Sedikitnya ada empat ketentuan dalam RUU HP yang jika dibiarkan akan berdampak pada program kesehatan pemerintah.
”RUU HP seharusnya menjamin warga hidup nyaman, aman, dan sejahtera, bukan membuat kecemasan dan ketakutan bagi warga,” kata Mitra Kadarsih, praktisi kesehatan, di Jakarta, Minggu (29/7/2018).
Dalam diskusi bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Mitra mengatakan, Pasal 443 dan 445 RUU HP harus dihapus. Pasal ini berbicara tentang kriminalisasi edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan, termasuk kontrasepsi.
”Jika pasal ini disahkan, setiap lapisan masyarakat, mulai dari guru, orangtua, kader kesehatan, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat yang memberikan informasi tentang alat pencegahan kehamilan kepada siapa pun dapat dipidana,” tutur Mitra.
Dampaknya, program keluarga berencana, edukasi kesehatan reproduksi, dan upaya penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS akan terhambat. Hal ini dikarenakan upaya edukasi dan promotif dari masyarakat dibatasi.
Apabila pengesahan RKUHP ini terjadi, maka program Nawacita dari Presiden Joko Widodo dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan gagal. Oleh karena itu, pembahasan secara bertahap dan melibatkan banyak pihak menjadi hal yang penting.
Kriminalisasi perempuan
Selain itu, Pasal 502-504 tentang kriminalisasi setiap perempuan yang melalukan pengguguran kandungan, termasuk dengan indikasi medis dan korban pemerkosaan, harus direvisi.
”Seharusnya RKUHP ini mengatur larangan aborsi yang tidak aman, bukan semata-mata aborsi secara umum. Apabila pasal ini disahkan, setiap perempuan yang melakukan aborsi, sekalipun dengan alasan kesehatan, akan dipidana,” kata Mitra.
Adapun Pasal 446 RKUHP berisi kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan. Menurut Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Abdul Muiz Ghazali, pasal ini harus dihapuskan. ”Jika pasal ini disahkan, angka perkawinan anak akan meningkat. Sebab, perkawinan nantinya akan menjadi solusi pada setiap persetubuhan di luar nikah agar tidak dipidana,” kata Abdul.
Perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orangtua. Baik karena faktor ekonomi maupun ketakutan orangtua bahwa anaknya telah melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. Sehingga, orangtua akan memilih untuk menikahkan anaknya dibandingkan melihat anaknya dipidana.
Pasal 700-715 tentang potensi kriminalisasi pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Menurut Perwakilan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Imanuel Sembiring, pasal ini berpotensi memidanakan pengguna narkoba, bukan merehabilitasinya.
“Jika disahkan, maka undang-undang tentang narkoba akan mengalami kemunduran karena tidak adanya jaminan rehabilitasi. Selain itu, definisi dari pengedar dan pengguna narkoba pun tidak dibahas dalam pasal ini sehingga aturannya menjadi tidak jelas,” kata Imanuel.
Target 100.000 pengguna narkoba direhabilitasi yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi pun tidak akan tercapai. Komitmen untuk menyelamatkan pecandu narkoba pun hanya akan menjadi janji semata.
Pengesahan makin dekat
Menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, pembahasan RUU HP dilakukan sejak 2015 oleh Komisi III DPR. Sampai 30 Mei 2018, pengesahan tinggal dua tahap lagi. ”Meski Presiden menghapus target pengesahan yang diusulkan DPR pada 17 Agustus 2018, tidak ada kepastian kapan akan diadakan pembahasan lanjutan,” katanya.