Optimalkan Stimulasi Anak pada Periode Emas
JAKARTA, KOMPAS – Seribu hari pertama kehidupan anak adalah masa krusial yang harus dioptimalkan oleh orangtua, baik dari pemenuhan nutrisi maupun berbagai stimulasi yang dibutuhkan. Masa ini dinilai sangat berpengaruh pada kualitas anak di masa depan. Untuk itu, pemantauan status kesehatan anak penting untuk diperhatikan.
Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode “emas” bagi tumbuh kembang anak. Periode ini mencakup 270 hari dalam kandungan dan 730 hari setelah kelahiran atau sampai usia dua tahun. Dalam jangka waktu ini, perkembangan otak manusia bisa mencapai 80 persen. Periode ini penting karena kebutuhan gizi yang seharusnya dipenuhi di usia ini tidak dapat diperbaiki di usia selanjutnya.
Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Soedjatmiko mengatakan, orangtua harus memastikan status kesehatan anak di periode emas ini dipantau dengan baik.
“Salah satu cara agar status kesehatan anak dapat terpantau dengan baik adalah melalui Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),” ujarnya di sela-sela temu media dalam rangka memeringati Hari Anak Nasional di Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (24/7/2018). Tema yang diusung pada Hari Anak Nasional tahun 2018 adalah “Anak Indonesia, Anak Genius (Gesit, Empati, Berani, Unggul, dan Sehat)”.
Soedjatmiko menuturkan, dalam buku KIA berisi catatan lengkap mengenai kesehatan ibu dan anak, mulai dari masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, hingga anak usia enam tahun. Selain itu, berbagai informasi cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak tersedia di buku tersebut.
Menurutnya, ada empat faktor penting untuk mendukung tumbuh kembang anak. Faktor tersebut adalah pengecekan kehamilan teratur, pemberian makanan bergizi seimbang dan cukup, pencegahan terhadap penyakit, serta stimulasi dan kasih sayang kepada anak. Secara lengkap informasi dari empat faktor tersebut bisa didapatkan dalam buku KIA.
Salah satu informasi yang disampaikan yaitu mengenai perkembangan bayi umur 0-6 bulan. Pada usia satu bulan misalnya, anak sebaiknya sudah bisa menatap mata ibu, mengeluarkan suara “o..o..”, tersenyum, dan menggerakkan kaki. Stimulasi yang diberikan juga dituliskan secara lengkap dalam buku KIA, seperti perlunya memberikan pelukan, mendengarkan musik, dan membawa bayi ke lingkungan sekitar.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan (Kemkes) Eni Gustina menambahkan, buku KIA ini bisa menjadi pedoman bagi ibu dan petugas kesehatan untuk memantau status kesehatan anak. Buku KIA bisa didapatkan di Posyandu, Polindes ataupun Poskesdes, Puskesmas, bidan praktik, dokter praktik, dan rumah sakit.
“Pemeriksaan tumbuh kembang anak secara teratur merupakan bentuk komitmen dalam peningkatan status kesehatan anak. Memastikan status kesehatan anak dengan baik adalah salah satu hak bagi anak dan kewajiban yang harus dipenuhi orangtua,” katanya.
Meski begitu, Soedjatmiko berpendapat, buku KIA belum dimanfaatkan secara maksimal oleh orangtua dan petugas kesehatan. Instruksi di buku tersebut masih sebatas penyuluhan dan belum merubah perilaku orangtua dalam memberikan nutrisi dan stimulasi ke anak. Untuk itu, petugas kesehatan harus berkomitmen untuk membantu menjelaskan, mencontohkan, serta memantau secara rutin kondisi ibu dan anak sesuai buku KIA.
Ia menyarakan, ibu-ibu dengan usia anak yang sama bisa membentuk kelompok sharing. Petugas puskesmas atau pun bidan juga bisa membacakan isi dari buku KIA dan memberikan contoh nyata bagaimana praktik yang dituliskan dalam buku tersebut. Setelah itu, ibu diberi kesempatan untuk mempraktikkan langsung ajaran tersebut agar dipastikan bisa dilaksanakan dengan tepat.
“Petugas kesehatan atau bidan juga harus memantau setiap bulan di posyandu serta puskesmas. Jika tidak ada pemantauan dan hanya sekadar penyuluhan, tujuan memastikan tumbuh kembang anak optimal tidak bisa terpenuhi,” ujar Soedjatmiko.