JAKARTA, KOMPAS – Imunoterapi atau terapi imun menjadi harapan baru bagi pasien kanker. Terapi ini merupakan terobosan medis yang dinilai bisa menjadi pilihan pengobatan yang menjanjikan untuk berbagai jenis kanker.
Pada tahun 2017, diperkirakan hampir 9 juta orang di dunia meninggal akibat kanker. Angka itu diperkirakan terus meningkat hingga 22,2 juta orang pada 2030. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat, prevalensi kanker di Indonesia 1,4 per 100 penduduk atau sekitar 347.000 orang.
Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) dan Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Aru Wicaksono Sudoyo mengungkapkan hal itu, di sela-sela seminar dan lokakarya bertajuk “Aspek Imunologi dalam Kanker” di Jakarta, Sabtu (7/7/2018). Imunoterapi menjadi pilihan terapi menjanjikan bagi berbagai jenis kanker, khususnya kombinasi dengan kemoterapi, radioterapi, dan bedah.
“Imunoterapi dapat menjadi pintu menuju peningkatan kualitas terapi kanker. Terapi yang digunakan untuk melawan kanker ini akan menjadi metode terapi masa depan. Oleh sebab itu, kita perlu mengikuti perkembangan ilmu ini,” ujarnya.
Imunoterapi dapat menjadi pintu menuju peningkatan kualitas terapi kanker. Terapi yang digunakan untuk melawan kanker ini akan menjadi metode terapi masa depan.
Sistem kekebalan tubuh
Imunoterapi merupakan metode terapi kanker dengan memberdayakan sistem kekebalan tubuh untuk melawan sel kanker. Terapi itu bertujuan membangun sistem kekebalan tubuh demi melawan tumor dan mencegah metastasis atau penyebaran kanker dalam tubuh. Saat ini, ada beberapa jenis imunoterapi yang dikembangkan antara lain monoclonal antibodies, cancer vaccines, cytokines, dan adoptive cell transfer.
Ahli Hematologi-Onkologi Medik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Arry Harryanto Reksodiputro memaparkan, pada imunoterapi jenis adoptive cell transfer autolog, sel imun yang dikembangkan berasal dari diri pasien, lalu diproses dengan penambahan sitokin di laboratorium GTP (Good Tissue Practice).
Proses itu untuk mengaktifkan dan memperluas sel imun yang lalu dimasukkan kembali ke tubuh pasien melalui infus. “Sel imun yang telah diproses disebut sel CIK (Cytokine-induced killer),” ujarnya.
Sel imun yang telah diproses disebut sel CIK (Cytokine-induced killer).
Arry menambahkan, ada banyak riset dasar dan studi klinis yang menunjukkan keamanan, kelayakan, dan kemanjuran imunoterapi sel CIK. Bahkan, terapi ini efektif pada pasien kanker stadium lanjut ataupun pada pasien yang resisten terhadap pengobatan lini pertama.
Pada kesempatan sama, hadir pula Robert T. Y. Hsu. Ia merupakan Associate Professor China Medical College di Taichung, Taiwan. Saat ini, Hsu mengembangkan metode adoptive cell transfer yang bisa mencegah berkembangnya sel kanker.
Menurut Robert, imunoterapi adoptive cell transfer CIK telah menjadi pengobatan yang efektif bagi pasien dengan jenis kanker tertentu yang telah resisten terhadap kemoterapi dan pengobatan radiasi. Selain itu, terapi ini menawarkan kemungkinan remisi kanker jangka panjang karena bisa melatih sistem kekebalan untuk mengingat sel-sel kanker yang harus dilawan dan tidak mengarah ke efek samping seperti rambut rontok, mual, ataupun muntah yang umum dialami saat menjalani kemoterapi dan terapi radiasi.
“Hal penting yang harus diperhatikan dalam penerapan imunoterapi adalah terapi ini sifatnya khusus sehingga harus diberikan kepada orang yang tepat. Harus dilihat jenis kankernya, jumlah imun dalam tubuhnya, dan kesiapannya untuk menjalankan terapi,” katanya.
Penanda biologis
Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Patologi Klinik, Siti Boedina Kresno menilai, biomarker atau penanda biologis baru amat dibutuhkan untuk mengembangkan imunoterapi. Biomarker itu terutama yang dapat mendeteksi pembentukan dini metastasis dan memantau efektivitas terapi adjuvan (bahan untuk meningkatkan imunogenitas) sistemik secara tepat waktu.
Hasil uji klinis menunjukkan CTC (sirkulasi sel tumor) bisa digunakan untuk diagnostik, pemantauan, dan prognostik (prediksi). Deteksi CTC terbukti memiliki dampak prognostik dan prediktif dalam banyak tumor, termasuk tumor payudara, prostat, paru-paru, dan kanker usus besar. Studi menyimpulkan, CTC bisa digunakan untuk pengambilan keputusan terapi individu termasuk pendekatan imunoterapi baru.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jakarta Barat Dollar menegaskan, pengobatan kanker ini harus dilakukan sesuai kaidah dan etika kedokteran. Saat ini, terapi ini dalam batas riset, sehingga dokter perlu menjelaskan kepada pasien secara menyeluruh. “Kita perlu bersikap terbuka terhadap kemajuan ilmu kedokteran. Teknologi baru pengobatan kanker perlu kita pelajari bersama dengan memerhatikan kaidah yang benar,” ucapnya.
Aru menambahkan, terapi ini bukan menjadi cara efektif menurunkan prevalensi penderita kanker di Indonesia. “Angka kanker di Indonesia akan dapat diturunkan dengan langkah-langkah pencegahan dan deteksi dini. Bukan dengan obat canggih, termasuk imunoterapi ini,” ungkapnya.