JAKARTA, KOMPAS—Kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah secara global diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa tiap tahun. Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia meluncurkan panduan untuk menghapus lemak trans produksi industri dari makanan dalam strategi aksi demi menurunkan risiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah.
Strategi aksi diberi nama REPLACE itu jadi target prioritas rencana strategis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2019 – 2023 yang akan dibahas dalam World Health Assembly (WHA) ke-71 di Swiss, 21 – 26 Mei 2018. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menargetkan pengurangan sepertiga kematian dini oleh penyakit tak menular pada 2030. Penghapusan lemak trans industri membantu mencapai target itu.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam pernyataan tertulis, mengatakan, WHO memanfaatkan momentum ini untuk bekerja sama dengan negara-negara, industri makanan, akademisi, dan masyarakat sipil, menciptakan sistem pangan lebih sehat bagi generasi mendatang. Salah satu caranya adalah, menghapus lemak trans produksi industri.
“Penerapan enam strategi aksi dalam REPLACE membantu kita memenangkan pertarungan melawan penyakit kardiovaskular,” ujarnya di laman www.who.int, Senin (14/5/2018).
Sejumlah negara maju menghapus lemak trans industri lewat pembatasan penggunaan lemak trans di makanan kemasan. Contohnya Denmark membatasi kandungan lemak trans dalam makanan secara drastis. Kota New York, Amerika Serikat, menghapus lemak trans satu dekade lalu setelah Denmark.
Risiko kesehatan
Pihak WHO merekomendasikan asupan lemak trans dibatasi maksimal 1 persen dari total asupan energi atau kurang dari 2,2 gram per hari. Lemak trans meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
Konsumsi makanan tinggi lemak trans meningkatkan risiko penyakit jantung 21 persen dan kematian 28 persen. Penggantian lemak trans dengan asam lemak tak jenuh menurunkan risiko penyakit jantung. Ada indikasi lemak trans meningkatkan peradangan dan disfungsi endotel.
Menurut ahli gizi komunitas dari Dr Tan & Remanlay Institute, Tan Shot Yen, Kamis (17/5/2018), di Jakarta, lemak trans muncul saat industri makanan cepat saji di AS menyiasati mahalnya margarin. Industri memakai lemak nabati diberi ion hidrogen (hidrogenasi) sehingga lemak nabati cair jadi padat, rasanya lebih konsisten, memberi rasa gurih dan renyah pada makan, dan lebih tahan lama.
Lemak trans biasanya digunakan dalam produk makanan ringan kemasan, makanan yang dipanggang, dan makanan yang digoreng. Di kemasan makanan, lemak trans kadang disebut sebagai lemak terhidrogenasi parsial (partially hydrogenated oils).
Tubuh butuh lemak bukan minyak. Indonesia kaya sumber lemak nabati yang bisa diolah bervariasi dalam makanan. "Ini seharusnya lebih dipromosikan dan disosialisasikan dalam kebijakan piring makanku,” katanya.
Ini seharusnya dipromosikan dan disosialisasikan dalam kebijakan piring makanku.
Tan mencontohkan, asam lemak tak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acids) terdapat dalam kacang-kacangan, asam lemak tak jenuh rantai ganda (polyunsaturated fatty acids) terdapat pada ikan dalam bentuk Omega 3, dan ada juga lemak rantai sedang (medium-chain fat) dalam kelapa. Sayangnya, potensi pangan itu tidak mendapat tempat sama dalam ruang publik.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie, mengimbau industri mengikuti panduan pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak dalam kemasan. Menurut Peraturan Menkes Nomor 63 Tahun 2015, batas maksimal konsumsi gula 50 gram (4 sendok makan) sehari, garam 5 gram (1 sendok teh), dan lemak 67 gram (5 sendok makan) sehari.