JAKARTA, KOMPAS – Sistem kapitasi sebagai bagian dari model pembiayaan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional perlu dievaluasi segera. Banyak kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan sehingga merugikan peserta JKN.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Ansyori, mengatakan, banyak celah dalam sistem kapitasi yang justru berdampak buruk pada program JKN. Oleh karena itu, DJSN mengusulkan agar penggunaan formula kapitasi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dievaluasi. Bahkan, apabila penerapan kapitasi di puskesmas tidak dievaluasi akan bisa memperburuk status kesehatan masyarakat.
“Jika tidak diperbaiki akan berdampak sangat buruk pada program JKN, menjadikan program yang baik ini menjadi substandar,” kata Ansyori, Senin (7/5/2018) di Jakarta.
Evaluasi bisa dimulai dengan menerjemahkan Pasal 24 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang intinya adalah besarnya pembayaran bagi fasilitas kesehatan setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan asosiasi fasilitas kesehatan.
Selain itu, BPJS juga mengembangkan sistem pembiayaan sehingga sistem kapitasi bukan menjadi satu-satunya sistem yang diterapkan din FKTP.
Anggota DJSN, Andi Zainal Abidin Dulung, menambahkan, banyak aspirasi dari lapangan yang ingin kapitasi dievaluasi. Terlebih ada banyak kasus korupsi terkait dana kapitasi yang sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. (KPK).
Ansyori menyebutkan, selama ini peserta JKN banyak terdaftar di puskesmas dan sulit ketika ingin berpindah fasilitas kesehatan. Bahkan, peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tidak bisa tidak bisa pindah dari puskesmas. Ini jelas menghilangkan hak peserta untuk memilih FKTP-nya. “Seolah-olah peserta PBI harus berada di puskesmas,” ujarnya.
Mayoritas peserta JKN saat ini memang terdaftar di puskesmas. Harapannya, peserta mendapat pelayanan kesehatan yang berkualitas. Akan tetapi, kondisi puskesmas sangat beragam. Masih ada saja puskesmas yang belum memiliki dokter atau kekurangan tenaga kesehatan. Jumlah peserta terus tumbuh tapi jumlah dokter di FKTP tidak meningkat signifikan.
Akibatnya, kasus rujukan tetap banyak. Ketika pasien dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) maka biaya kesehatan yang harus dibayar BPJS Kesehatan semakin tinggi sehingga akan merugikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Selain kompetensi yang kurang, aspek ketersediaan dokter juga menjadi penyebab dominan tingginya rujukan. Selama ini tingkat rujukan puskesmas cukup tinggi, yakni 15,9 persen. Rujukan paling tinggi terjadi pada klinik milik TNI (28,6 persen) dan Polri (25.44 persen). Sedangkan di dokter praktik perorangan 14,3 persen.
Dana kapitasi yang diterima puskesmas besar. Bahkan, di saat yang sama puskesmas juga menerima alokasi anggaran kesehatan dari pemerintah sehingga terdapat dua sumber dana kesehatan untuk puskesmas.
Namun, di banyak puskesmas dana kapitasi juga masih banyak yang tidak dimanfaatkan. Padahal, jika puskesmas kekurangan tenaga dokter dan tenaga kesehatan lain puskesmas bisa memanfaatkan dana kapitasi untuk merekrut tenaga dokter dan tenaga kesehatan tambahan.
Lebih jauh lagi, menjadikan puskesmas sebagai salah satu FKTP ternyata hampir tidak memiliki dampak sama sekali pada perbaikan status kesehatan masyarakat. Kegiatan upaya kesehatan masyarakat menjadi cenderung terabaikan.
Anggota DJSN, Zaenal Abidin, menyatakan, ke depan mestinya diwacanakan untuk tidak ada kontrak kerja sama dengan fasilitas kesehatan yang tidak memiliki dokter karena bisa membahayakan nyawa dan merugikan BPJS Kesehatan.
Ketua BPJS Watch, Indra Munaswar, menyampaikan, sistem kapitasi perlu dievaluasi terutama dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dan karakter puskesmas yang sangat beragam di daerah. Sistem kapitasi bagi puskesmas di kota dan di daerah pelosok mestinya berbeda. “Perlu dipikirkan sistem pembiayaan lain selain kapitasi tapi juga bukan pembayaran per unit layanan (fee for sevice),” katanya.(ADH)