Suatu hari pada Maret 2009, seorang ibu dengan anak perempuannya, Sinta, berumur tujuh tahun datang ke posko pengobatan yang dibangun dokter Lie A Dharmawan di Pulau Kei Kecil, Maluku. Ibu itu bukan warga Pulau Kei, melainkan warga Pulau Saumalaki, sekitar dua hari jika berlayar dengan kapal.
Ibu itu hendak memeriksakan anaknya yang terus mengerang kesakitan di perut bagian bawah. Lie pun segera menanganinya. Belakangan diketahui, anak itu didiagnosis penyakit hernia femoralis.
”Jika tidak segera dioperasi, secara teoretis, 6-8 jam lagi ususnya akan pecah dan anak ini bisa meninggal,” ucap Lie. Singkat cerita, Lie berhasil menyelamatkan anak tersebut.
Demikian salah satu penggalan cerita dalam buku biografi Lie berjudul Dokter di Jalan Kemanusiaan. Buku tersebut ditulis oleh Sylvie Tanaga dan Basilius Triharyanto berdasarkan cerita orang-orang terdekat yang pernah bersama dalam kehidupan Lie.
Berawal dari kisah Sinta itu, Lie termotivasi untuk membangun rumah sakit apung, sebuah pinisi yang terdapat ruang perawatan medis. Kapal sepanjang 23,13 meter, lebar 6,8 meter, dan mampu memuat bobot hingga 173 ton itu dibeli Lie dengan harga Rp 550 juta.
”Saat itu tak ada yang pernah terpikirkan untuk menyatukan kepulauan Indonesia dalam sebuah misi besar kemanusiaan. Tetapi, dokter Lie tidak melihat laut sebagai pemisah. Ia tetap bersemangat untuk bisa menjangkau masyarakat di pulau-pulau terpencil agar mereka dapat fasilitas kesehatan,” tutur Sylvie saat ditemui seusai diskusi buku biografi Lie, di Twin Plaza Hotel, Slipi, Jakarta Barat, Sabtu (21/4/2018).
Dengan misi besar itu, Lie tidak pernah sekalipun menolak pasien. Ia tidak pernah menyembuhkan orang atas dasar status sosial atau perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.
”Sepanjang perjalanan hidupnya, dokter Lie membantu dan melayani masyarakat yang sakit dengan hati yang tulus. Saya sebagai penulis pun ikut mengalami langsung ketika ia menangani setiap pasien yang datang dengan hati yang terbuka,” ucap Triharyanto. Dia terkesan kepada sosok Lie saat pertama kali bertemu dengannya di Pegunungan Intan Jaya, Papua, pada 2015.
Berjiwa nasionalisme
Periode terpenting dalam sejarah kehidupan Lie adalah ketika ia berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (Ureca)—saat ini Universitas Trisakti—pada 1965. Pada masa itu, tepatnya 1 Oktober 1965, Ureca menjadi sasaran perusakan oleh sekelompok orang karena dianggap berafiliasi dengan presiden pertama RI, Soekarno.
Lie yang sedang menggapai mimpinya pun merasa linglung. Namun, Lie terus berjuang untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah sekitar dua tahun mencari bantuan dana dari sanak saudaranya, Lie melanjutkan kuliah di Freie Universitat, Berlin Barat, pada 1967. Sampai akhirnya, ia meraih gelar dokter spesialis bedah jantung, bedah pembuluh darah, dan bedah toraks. Tak berhenti di situ. Lie memilih untuk kembali ke Indonesia.
Semangat pantang menyerah Lie patut menjadi contoh bagi dokter-dokter muda saat ini. Lie bukan hanya sosok dokter yang memiliki jiwa sosial, melainkan juga berprinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Logikanya, kalau sudah mapan di Jerman, buat apa kembali ke Indonesia? Tetapi, dia memilih untuk balik ke Indonesia, mengabdikan diri karena dia teringat bahwa menjadi dokter nanti untuk menolong negara sendiri,” ujar penulis buku Margareta Astaman.
Pegiat kemanusiaan Ita F Nadia mengatakan, ada empat hal penting yang ada di dalam sosok Lie, yakni idealisme, integritas, komitmen, dan tanggung jawab. Keempat hal itulah yang menjadi dasar Lie bertahan menjaga ruang kemanusiaan dan nasionalismenya.
”Medis itu bukan hanya soal kesehatan, tetapi kemanusiaan,” ucap perempuan yang menjabat Direktur Kalynamitra pada 1992-2002 itu. Ita bertemu dengan Lie ketika membantu korban pemerkosaan pada tahun 1998.
Kini, Lie di umurnya yang sudah beranjak 72 tahun masih tetap bersemangat untuk terus mengarungi lautan Indonesia. Dengan dua kapal yang ada saat ini, ia bersama dokter-dokter muda yang tergabung dalam yayasan yang didirikannya, DoctorSHARE, akan terus menjangkau masyarakat yang masih memiliki harapan tinggi untuk sehat.
Ketika ditanya soal semangat juangnya. Dokter Lie bercerita singkat sambil mengingat pesan ibunya semasa ia berkuliah.
”Kalau kamu menjadi seorang dokter, jangan mengambil duit orang miskin. Mereka akan membayar, tetapi di rumah, mereka akan menangis karena tidak ada uang untuk membeli beras.” Semangat itulah yang ia pegang hingga saat ini.