Surat Edaran Pengelolaan Dana Kapitasi Dibutuhkan
JAKARTA, KOMPAS – Kepala daerah bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakatnya, salah satunya melalui fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, adanya pengendapan dana kapitasi menunjukkan dana tersebut tidak digunakan secara optimal.
Karena dana tidak digunakan secara optimal, mutu pelayanan kesehatan pun diragukan. Karena itu, pemerintah didorong untuk mengeluarkan surat edaran agar pengelolaan dana kapitasi dapat digunakan secara optimal dan tidak menyimpang dari peruntukkannya.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah daerah seluruh Indonesia pada tahun 2016 ditemukan sisa dana kapitasi yang mengendap di puskesmas mencapai Rp 3,02 triliun. Bahkan, di banyak puskesmas, sisa dana kapitasi bisa menumpuk hingga Rp 2 miliar.
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Maya Amiarny Rusady mengatakan, penyerapan dana kapitasi yang tidak optimal berdampak langsung pada mutu pelayanan kesehatan di setiap daerah. Penyerapan dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli sarana prasarana kesehatan dan operasional kesehatan akan terganggu.
“Karena faktanya, banyak dana tidak bisa dipakai. Kalau mereka bisa gunakan dana optimal kan itu nanti otomatis pelayanannya bisa lebih komprehensif,” ujar Maya dalam acara pembukaan Pertemuan Nasional FKTP di Hotel Aryaduta, Jakarta, pada Rabu (18/4/2018).
Menurut Maya, hal ini penting karena FKTP merupakan tulang punggung dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam ranah preventif dan promotif. Apalagi, ironisnya, ia melihat angka kesakitan di Indonesia masih tinggi dan sebesar 68 persen kasus di rumah sakit seharusnya dapat diselesaikan di tingkat FKTP.
“Gimana solusinya. Harus ada surat edaran dr kemendagri. Kita akan sinergi dan koordinasi agar supaya ini lancar dan kapitasi yang diterima puskesmas bisa langsung dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan peserta,” ucapnya.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syarifuddin mengatakan, dalam rangka pengawasan dana kapitasi sudah ada wilayah masing-masing kelembagaan, yakni BPKP dan BPK.
“Lembaga-lembaga ini kami harap melakukan pengawasan dan audit secara efektif sehingga kemudian kita bisa mengharapkan dana-dana yang dikelola oleh daerah terkait dengan bidang kesehatan dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Menurut Syarifuddin kemungkinan dana menganggur karena kekhawatiran pemerintah daerah dalam membelanjakan anggaran yang ada. “Tetapi harusnya dievaluasi kenapa ada uang menganggur, boleh jadi ada kekhawatiran berlebihan untuk membelanjakan, yang kedua, jangan-jangan uang itu digunakan untuk kepentingan yang lain,” ucapnya.
Karena itu, ia juga mendorong perlu adanya surat edaran dari Menteri Dalam Negeri agar pengelolaan dana tidak menyimpang. “Mungkin dalam waktu dekat kami akan melakukan rapat koordinasi dengan bpjs bila perlu melibatkan kemeneks dan kemeku, ktia ignin megnevaluasi seperti apa permasalahan dalam pengelolaan dana kapitasi,” ujarnya.
Kerja sama
Sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan bekerja sama dengan empat bank BUMN, yakni BNI, BRI, Mandiri, dan BCA. BPJS merasa perlu memperbaiki kecepatan dalam penerimaan iuran demi keberlangsungan program BPJS itu sendiri.
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan, kendala penerimaan iuran BPJS Kesehatan selama ini disebabkan peserta kelupaan membayar. Padahal, hal itu berdampak pada mekanisme pembayaran klaim BPJS Kesehatan.
“Kecepatan kita menerima uang perlu diperbaiki agar kita mampu mengelola anggaran dengan baik,” ujar Kemal dalam penandatanganan surat edaran bersama dengan BNI, Bank Mandiri, BRI, dan BCA tentang implementasi layanan autodebet untuk pembayaran iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), di kantor pusat BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada Rabu (18/4/2018).
Kerja sama itu dilakukan untuk penarikan nasabah kelas I dan II. Dari 196 juta orang yang terdaftar BPJS, sekitar 27 juta orang tergolong kelas itu, Peserta Bukan Penerima Upah(PBPU). Hal ini untuk mengantisipasi warga yang beralasan sulit membayar atau tidak rutin membayar iuran, yang selama ini menjadi kendala penerimaan iuran BPJS.
“Kita masih harus masuk lebih jauh kepada segmen peserta bukan penerima upah. Kita pakai kanal-kanal yang sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. Tanpa didukung kekuatan elemen komponen dari bank, maka uang ini tidak akan berputar. Uang tidak masuk, yang lebih mengerikankalau uang tidak keluar. Di ujung sana nyawa orang jadi taruhan,” ujarnya.
Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Andayani Budi Lestari mengatakan, tingkat kepatuhan bagi peserta kelas 1 dan 2 belum optimal. Karena itu, mereka diwajibkan untuk mengurus ke bank masing-masing terkait penarikan dana iuran BPJS secara otomatis setiap bulannya.
“Kalau dia memilih kelas 1 dan 2 itu artinya dia mampu punya rekening bank, dia wajib autodebet, tetapi kalau kelas 3 dia bisa membayar tiap bulan,” ujarnya.