MAGELANG, KOMPAS -- Setiap daerah diharapkan segera mengatur perilaku merokok, membatasi tempat-tempat merokok, dan membangun kawasan tanpa rokok. Selain untuk melindungi perokok pasif, upaya ini penting dilakukan untuk memutus perilaku merokok ditiru generasi muda, terutama anak-anak
“Dengan membatasi pemandangan orang merokok, secara otomatis, anak-anak tidak akan mudah meniru serta tidak tercetus keinginan untuk ikut merokok,” ujar Kepala Subdit Penyakit Paru Kronik dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Theresia Sandra Diah Ratih, di sela-sela acara sosialisasi peraturan daerah (perda) kawasan tanpa rokok yang diikui oleh 20 kota/kabupaten di Jawa Tengah, Selasa (17/4/2018).
Generasi muda termasuk anak-anak, wajib dilindungi karena jumlah perokok usia muda, usia 10-18 tahun, meningkat tajam selama tiga tahun terakhir.
Pada 2013, kata Sandra, jumlah perokok dari kelompok usia muda tersebut mencapai 7,9 persen dari jumlah perokok aktif di Indonesia yang terdata mencapai 60 juta orang. Ditargetkan, perokok usia muda turun menjadi 5,4 persen pada 2019, namun yang terjadi pada 2016, jumlah perokok dari kelompok usia muda justru meningkat menjadi 8,8 persen.
Menurut Sandra, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena dengan mulai merokok sejak usia dini, anak-anak akan menjadi cenderung adiktif, dan sulit disembuhkan dari ketergantungannya. Pada akhirnya, hal ini pun akan berdampak pada semakin meningkatnya risiko anak-anak untuk menderita beragam penyakit tidak menular seperti penyakit paru-paru dan stroke.
Sulit diterapkan
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Sandra mengatakan, pihaknya terus mendorong tiap daerah untuk membangun KTR.
Saat ini, dari 515 kota/kabupaten di Indonesia, baru ada 260 kota/kabupaten yang memiliki peraturan daerah (perda) soal KTR. Dari jumlah itu pun, baru sekitar 20-30 persen dari 260 daerah, yang sudah benar-benar menjalankan KTR.
“Perda KTR masih sulit untuk diterapkan karena banyak orang, baik masyarakat maupun jajaran pemerintah daerahnya, merasa bahwa perda ini membuat mereka sulit, (yaitu) dilarang untuk merokok,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Kesehatan Jateng Agus Tri Cahyono, mengatakan, dari 35 kota/kabupaten di Jateng, baru 14 kota/kabupaten yang memiliki KTR.
Banyak daerah masih sulit menerapkan KTR karena perusahaan rokok selama ini masih berkontribusi besar pada kesejahteraan daerah, termasuk memberikan pendapatan daerah dari pajak yang dibayarkan.
“Jika memang ingin membatasi perilaku merokok atau mengendalikan jumlah perokok, daerah harus terlebih dahulu mencari usaha lain yang bisa memberikan kontribusi sebesar yang diberikan perusahaan rokok,” ujarnya.
Kendati demikian, dia mengatakan, pihaknya terus berupaya mendorong setiap daerah untuk membuatr perda KTR. Tidak perlu di lingkup kota atau kabupaten, peraturan tersebut, menurut dia, semestinya dimulai di lingkup desa.