Inovasi Teknologi Bidang Farmasi Harus Ditingkatkan
Oleh
DD04
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, industri farmasi, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian didesak untuk lebih produktif menghasilkan inovasi teknologi di bidang farmasi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri farmasi di Indonesia serta mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan obat yang mencapai 96 persen dari ketersediaan bahan obat secara nasional.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mendorong percepatan industri farmasi dan alat kesehatan nasional.
”Perencanaan anggaran pemerintah untuk pemenuhan fasilitas kesehatan termasuk alat kesehatan pada 2018 ini sekitar Rp 20 triliun,” ujarnya di sela-sela acara pembukaan pameran Lab Indonesia 2018 di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Menurut dia, langkah yang inovatif dan progresif serta dukungan dari pemerintah, lembaga penelitian, serta pelaku usaha diharapkan dapat menghasilkan produk farmasi yang bermutu. Harapannya, kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan bisa tercapai untuk memuhi kebutuhan dalam negeri dan kepentingan ekspor.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati menilai, dengan terintegrasinya semua sektor, khususnya pemerintah, lembaga penelitian, dan industri dapat mendukung terjadinya hilirisasi penelitian. Riset-riset yang ada selama ini dinilai banyak yang tumpang tindih. Untuk itu, melalui rencana induk riset
Ia menilai, saat ini masih ada beberapa kendala yang menghambat perkembangan inovasi teknologi farmasi di Indonesia. Mulai dari minimnya insentif dari pemerintah, regulasi yang tidak terarah, dan jumlah sumber daya manusia yang terbatas menjadi kendala yang dihadapi. Untuk itu, butuh rencana berkelanjutan agar perkembangan riset bisa berkembang.
”Untuk pendanaan, misalnya, tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan pinjaman teknologi finansial. Adanya regulasi yang mengatur tekait multisource dan multiyears dalam penelitan juga dibutuhkan,” kata Dimyanti.
Selama ini, masih banyak penelitian yang berjalan secara sporadis sehingga hasil riset yang dihasilkan tidak maksimal. Untuk pendanaan juga masih belum terkoordinasi dengan baik. Hal itu membuat peneliti hanya bergantung pada pendanaan yang terbatas pada satu tahun.
Dimyanti menyatakan, melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Pasal 62, aturan untuk bisa bekerja dengan sistem pendanaan multiyears dan multisource bisa dilaksanakan. Sinergitas, menurut dia, menjadi salah satu persyaratan agar Indonesia bisa bersaing menjadi pelaku industri farmasi global dan bukan hanya menjadi obyek saja.
Terkait hal itu, Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nurma Hidayati menilai, saat ini peneliti di Indonesia masih banyak yang belum memperhatikan standar baku yang diberikan oleh industri.
”Untuk itu, BPOM berperan untuk menjadi jembatan antara peneliti dan industri farmasi. Kami berikan pandungan standar baku yang diberikan industri. Tujuannya agar terjadi hilirisasi penelitian,” ujarnya.
Produk inovasi
Dalam kesempatan yang sama, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merilis produk cangkang kapsul berbahan rumput laut dan prototipe produk diagnostik kit demam berdarah dengue. Kedua produk tersebut menjadi contoh produk hasil inovasi dalam negeri yang diharapkan bisa mimicu daya saing di bidang farmasi.
Kepala BPPT Unggul Priyatno mengatakan, penyediaan obat dan vaksin untuk penyakit infeksi di Indnesia masih harus ditingkatkan. Selain itu, upaya untuk mengurangi impor bahan baku obat juga belum berhasil.
”Perlu dilakukan upaya meningkatkan percepatan pengembangan vaksin, obat penyakit tropis, bahan baku obat, dan obat herbal melalui inovasi teknologi dengan menggunakan sumber daya lokal,” katanya.
Pembuatan cangkang kapsul rumput laut dilakukan melalui diversifikasi bahan rumput laut dalam negeri. Saat ini, kapsul yang dihasilkan terbuat dari gelatin dari hewan yang bahan bakunya masih diimpor. Penggunaan bahan baku rumput laut diharapkan bisa menjamin kehalalan produk.
Sementara untuk produk kit diagnostik deman berdarah dengue dikembangkan berbasis teknik imunokromatografi dengan menggunakan anti-NS1 antibodi monoclonal. Antigen NS1 merupakan glikoprotein yang dihasilkan oleh virus dengue pada hari pertama hingga hari kelima setelah terjadinya infeksi.
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Soni Solistia Wirawan menuturkan, keunggulan dari kit diagnostik DBD adalah anti-NS1 antibodi monoclonal dikembangkan dari virus dengue strain lokal.
”Pendeteksian dengan antigen ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan pendeteksian antibodi IgG/Igm yang digunakan pada alat pendeteksi impor,” ujarnya.