Pendekatan Psikologis Dapat Meningkatkan Harapan Hidup Pasien
Oleh
DD18
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengobatan kanker pada remaja kerap tertunda karena pasien takut terhadap efek samping dan perubahan fisik yang akan dialami penderita kanker. Karena itu, pasien remaja membutuhkan pendekatan psikologis yang khusus. Tanpa mengubah protokol pengobatan, angka harapan hidup remaja penderita kanker yang mendapatkan pendekatan psikologis bisa meningkat dari 40 menjadi 80 persen.
Direktur Utama Rumah Sakit Kanker Dharmais Abdul Kadir mengatakan, kanker termasuk jenis penyakit katastropik sehingga membutuhkan waktu pengobatan yang panjang antara enam bulan hingga tiga tahun kemoterapi. Karena itu, pendekatan kesehatan tidak cukup, tetapi juga pendekatan secara psikologis untuk memberikan rasa nyaman bagi pasien, terutama remaja.
“Untuk anak-anak masih dependen dengan orangtua, tetapi kalau remaja ini sudah independen sehingga perlu ada pendekatan khusus secara psikologis yang berbeda. Makanya diberi lingkungan suasana yang nyaman sesuai dengan umurnya,” ujar Abdul seusai acara penyerahan donasi Prusyariah di RS Kanker Dharmais, pada Senin (26/3).
Dalam acara tersebut, Prudential Indonesia mendonasikan uang sebesar Rp 4,5 miliar untuk renovasi ruang rawat anak dan remaja di RS Kanker Dharmais. Presiden Direktur Prudential Indonesia Jens Reisch mengatakan, setidaknya lebih dari 70 persen nasabah diasuransikan untuk kesehatan dan klaim kesehatan paling tinggi adalah kanker dan jantung.
“Semoga ini menjadi suatu inisiatif yang baik untuk bisa membantu pengobatan pasien kanker, terutama bagi anak dan remaja,” ujar Jens.
Kasus kanker pada remaja terus meningkat dari 3.000 kasus baru pada 2016 menjadi 5.000 kasus baru pada 2017. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, dua penyakit kanker pada remaja paling tinggi adalah leukimia mieloblastik akut (acute myeloid leukemia/AML) dan kanker tulang (osteosarcoma).
Kedua penyakit tersebut memiliki persentase harapan hidup yang kecil, yakni AML di bawah 30 persen, sedangkan kanker tulang dalam jangka waktu tiga bulan bisa menyebar ke paru-paru dan menyebabkan kematian.
Di RS Kanker Dharmais tercatat sekurang-kurangnya 41 kasus kanker tulang dalam lima tahun terakhir. Sebanyak 90,2 persen terjadi di usia lebih dari 10 tahun.
Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Dharmais, Mururul Aisyi, mengatakan, hanya 10 persen pasien datang ke RS Kanker Dharmais dalam keadaan kanker dengan stadium awal.
“Kanker tulang sudah datang pada usia remaja 13-18 tahun dengan stadium 2 dan 3 dan hampir 50 persen penderita leukimia sebetulnya bisa diupayakan sembuh. Tetapi, deteksi dini kurang, atau delay-delay yang lain karena pasien terdiagnosis takut soal efek pengobatan, akhirnya dia balik dengan stadium lanjut,” ujar Aisyi.
Pendekatan persuasi
Aisyi menjelaskan, pada penderita kanker tulang, opsi terbesar adalah amputasi. Karena itu, lanjut Aisyi, pada pasien remaja, pendekatan secara psikologis memang penting. Dengan tanpa mengubah protokol pengobatan, angka harapan hidup remaja yang mendapatkan pendekatan psikologis bisa meningkat dari 40 menjadi 80 persen.
“Jadi bukan melulu pengobatan medis, tetapi peran supportive care sangat penting untuk membuat mereka mau melawan rasa sakit dan mau berjuang. Kalau kita tidak melakukan pendekatan yang persuasi, dan lebih halus, akan banyak yang ditolak dan menyebabkan delay terapi, dan angka harapan hidup makin kecil,” ujar Aisyi.
Menurut Aisyi, pendekatan tersebut masuk dalam kategori adolescent medicine. Hal itu tidak hanya menjadi tanggung jawab dokter, tetapi juga orangtua, lingkungan, dan yayasan pemerhati kanker.
Ketua Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) Rahmi Adi Putra Tahir mengatakan, pendekatan pengobatan untuk pasien remaja tidak dapat disamakan dengan pasien anak. Pasien remaja butuh pendekatan psikologis yang kuat untuk bisa menerima perubahan yang dialami karena kanker yang dideritanya.
“Mereka sudah mulai tahu keadaan yang dialami dan memperhatikan kondisi fisiknya. Karena itu sangat diperlukan bantuan psikiater yang bisa memberikan semangat kembali,” tutur Rahmi.
Selain itu, menurut Rahmi, adanya perbedaan ruangan antara pasien anak dan remaja juga perlu karena setiap pasien tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.
Motivasi
Penyintas leukimia kategori AML, Sazkia Gabriellia Zakaria (24), mengaku sangat kalut saat di usia 13 tahun mendengar kabar bahwa dirinya mengidap leukimia. Apalagi, ia harus menahan rasa sakit dan efek samping dari pengobatan yang dijalaninya selama lima bulan saat awal dirawat di RS Dharmais.
“Saya sempat drop karena aku lihat banyak teman-teman lain tidak berhasil. Paling berat waktu kemoterapi, ada perasaan tidak terima di awal karena ada rambut rontok, badan linu-linu, dan mual. Perubahan fisik yang terjadi itu paling berat,” ujarnya.
Namun, berkat motivasi yang selalu diberikan oleh orangtua, para perawat, dan terutama teman sebayanya yang juga dirawat di rumah sakit saat itu, Sazkia berhasil melewati segala ketakutannya. Ia dinyatakan sembuh total setelah sekitar tujuh tahun menjalani pengobatan dan pemantauan berkala.
“Ada satu momen, kita ingin interaksi dengan teman seumuran yang merasakan hal yang sama dengan kita, saling menguatkan. Setelah itu, muncul semangat positif dari diri sendiri untuk pasti bisa sembuh, dari situ muncul semangat harus kemoterapi,” ujarnya.