JAKARTA, KOMPAS -- Industri bidang farmasi memerlukan percepatan pengembangan agar tidak semakin tertinggal jauh dari negara lain. Hampir sepuluh tahun belakangan kondisinya stagnan, tumbuh namun tidak signifikan. Perlu terobosan kebijakan untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan kemandirian di bidang pemenuhan kebutuhan obat serta alat kesehatan.
“Industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional, 2017 lalu tumbuh 6,85 persen. Tahun ini harapannya bisa naik menjadi 10 persen,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Kendrariadi Suhanda saat konferensi pers Convention on Pharmaceutical Ingredients South East Asia 2018 di Jakarta, Selasa (20/3).
Kendra mengatakan, jumlah industri farmasi di Indonesia sebanyak 214-224 perusahaan, 186-196 di antaranya merupakan perusahaan swasta nasional. Pangsa pasar atau omset industri di tahun 2017 sekitar Rp 75 triliun dan 73 persennya merupakan pasar lokal. Rata-rata pertumbuhan industri farmasi hanya 10-14 persen per tahun.
Pemerintah menargetkan pangsa pasar industri farmasi mencapai Rp 700 triliun di 2025 dengan rincian, Rp 450 triliun pasar lokal dan Rp 250 triliun pasar ekspor. Untuk mencapai target itu dilakukan upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dengan harapan mampu peningkatan pendapatan perkapita penduduk.
“Kenaikan pendapatan diharapkan mendorong kenaikan kepedulian terhadap kesehatan. Pengeluaran kesehatan didorong mencapai 4-5 persen dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto),” kata Kendra.
Selain itu, bertambahnya jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Nasional, berpotensi meningkatkan pangsa pasar industri farmasi. Para peserta JKN ini merupakan captive market yang besar baik untuk produk obat maupun alat kesehatan.
Industri farmasi juga berpeluang dikembangkan lebih luas lagi untuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat contohnya bidang industri bioteknologi, produksi produk herbal untuk obat maupun makanan, dan industri maritim.
Di sisi lain, era globalisasi membuka peluang masuknya industri farmasi asing yang berdaya saing tinggi seperti China dan India. Mereka sudah mampu membangun industri farmasi dari hulu yakni industri pengolahan bahan baku hingga industri hilir yang memproduksi barang jadi beserta produk turunannya.
Bahan baku impor
Sementara industri farmasi Indonesia masih menggantungkan 90 persen bahan bakunya pada impor. Nilai bahan baku industri mencapai 30 persen dari omset atau sekitar Rp 22,5 triliun saat ini dan Rp 225 triliun di 2025. Nilai yang besar ini sebenarnya membuka peluang investasi di industri pengolahan bahan baku.
Direktur PT Sido Muncul, industri jamu dan farmasi, Irwan Hidayat mengatakan peluang investasi itu tidak akan diminati oleh investor tanpa peran dari pemerintah. Berdasarkan pengalamannya, investor memerlukan infrastruktur seperti lokasi industri yang strategis lengkap dengan fasilitas penunjang.
“Masalah yang kerap dihadapi industri pengolahan bahan baku farmasi adalah limbah dan hal itu berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar,” ucap Irwan.
Kendala lain, perizinan yang belum ramah. Pihaknya mendukung upaya pemerintah membangun kawasan industri di bidang farmasi dan hal itu perlu diperbanyak. Kehadiran kawasan industri yang terintegrasi memudahkan investor bekerja sehingga bisa fokus mengembangkan bahan baku, membina petani, serta meningkatkan kualitas produksi.
Cara lain memperkuat industri farmasi adalah membangun jejaring dengan sesama pelaku industri lokal maupun multinasional. Misalnya bekerja sama dengan industri pengolahan bahan baku dari China di bidang riset dan inovasi farmasi terkini. Mayoritas impor bahan baku industri farmasi berasal dari China.
Upaya membangun jejaring itu misalnya melalui pameran niaga bahan baku farmasi, Convention on Pharmaceutical Ingredients South East Asia yang digelar setiap tahun di Jakarta. Kegiatan itu bisa menjadi wadah komunikasi untuk membahas perkembangan isu-isu farmasi internasional, dan peluang membuka kerjasama bisnis maupun investasi baru.