Demi Keselamatan Pasien, Obat Psikotropika Harus Sesuai Resep Dokter
Oleh
DD17
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran resep dokter dalam perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan obat-obatan psikotropika dinilai penting. Pemakaian sesuai dengan resep akan melindungi para pasien dari risiko ketergantungan yang dapat merusak fisik maupun mental pengguna.
Pesan ini terungkap pada konferensi pers yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia di Jakarta, Selasa, (15/8). Dalam acara ini, beberapa pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) memberikan pandangan mereka mengenai penyalahgunaan obat-obat psikotropika.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Eka Viora mengatakan bahwa banyak anggota masyarakat yang memilih membeli obat psikotropika tanpa menggunakan resep untuk mengobati sendiri gejala emosi yang dialaminya. Konsumsi obat-obatan yang jumlahnya tidak terkontrol oleh dokter ini dapat memicu terjadinya ketergantungan terhadap obat-obatan itu. “Biasanya mereka mencoba menyembuhkan kecemasan atau depresi yang mereka alami. Seharusnya obat yang mereka dapatkan ini sesuai dengan petunjuk dokter,” jelas dr Eka.
Dr Al Bachri Husin, Ketua Seksi Psikiatri Adiksi PDSKJI menambahkan bahwa pengobatan jiwa tidak dapat dilakukan hanya dengan obat psikotropik saja. “Dokter juga akan memberikan psikoterapi dalam proses perawatan ini,” kata Al Bachri.
Eka melanjutkan bahwa obat-obatan psikotropika yang dimiliki, dibawa, dan disimpan oleh seseorang harus berdasarkan resep dokter. Selain itu, obat-obatan psikotropika ini harus didapatkan secara sah.
“Dalam Undang-undang Nomor Lima Tahun 1997 sudah diatur. Pada Pasal 62 dinyatakan bahwa seseorang dapat dihukum penjara maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta apabila dinyatakan tidak memiliki hak untuk menyimpan atau membawa obat-obatan psikotropika ini,” jelas Eka.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Adib Khumaidi mengatakan bahwa pasien yang mendapatkan obat-obatan psikotropika diharapkan untuk selalu menyimpan obat dalam kantong obat dari apotek.
Dr Adib menjelaskan, label pada kantong apotek berisi nama apotek, nama pasien, dan dosis pemberian per hari. Hal ini bisa membuktikan bahwa obat yang dibawa tersebut didapatkan secara resmi. “Apabila diperlukan, asal-usul obat tersebut dapat ditelusuri ke apotek yang mengeluarkannya dan dicocokkan dengan resep dokternya,” jelas dr Adib.
Ketua Majelis Etika dan Profesi PDSKJI dr Danardi, mengimbau para dokter yang berada di bawah IDI untuk selalu kritis dalam menghadapi pasien. Dokter harus sudah curiga akan peluang pasien tersebut untuk melakukan penyalahgunaan obat-obatan psikotropika ketika orang tersebut secara spesifik meminta diresepkan obat tertentu. “Kalau sudah terlihat peluang untuk penyalahgunaan, dokter jangan sampai memberikan resep untuk obat ini,” jelas Danardi.
Adib menjelaskan bahwa IDI mendukung pandangan pemerintah bahwa Indonesia sedang darurat narkoba. Sebagai perwakilan IDI, ia menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan edukasi kepada anggotanya tentang penanganan para pengguna narkoba.
“Kami juga akan membuat selebaran tentang penyalahgunaan psikotropika ini dan akan dipasang di ruangan UGD rumah sakit. Kalau perlu kami juga akan melakukan kegiatan sosialisasi di sekolah-sekolah. Sebab, sekolah dan rumah adalah benteng utama perlindungan masyarakat,” kata dr Adib.
Dr Adib juga menambahkan bahwa IDI siap bekerja sama dengan Ikatan Apoteker Indonesia untuk meningkatkan pengawasan pengeluaran obat-obat resep melalui sistem interaksi antara dokter dan apoteker.
Mengenai interaksi antara dokter dan apoteker ini, dr Danardi juga mengatakan bahwa dokter harus siap 24 jam untuk menjawab pertanyaan dari apoteker mengenai permintaan obat psikotropika yang diresepkan atas nama pasien dari dokter tersebut, untuk menghindari risiko penggunaan resep palsu. “Para dokter harus siap apabila jika pukul 12 malam ada apotek yang menghubungi bahwa ada pasiennya meminta obat psikotropika jumlah besar,” jelas Danardi.
Belum diatur
Menurut dr Diah Setia Utami, Wakil Ketua Umum PDSKJI yang juga Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), selain penyalahgunaan obat-obatan psikotropika, Indonesia juga dirundung narkoba jenis baru. Tembakau gorila yang merupakan hasil sintetis dari zat canabinoid adalah salah satu contoh narkoba jenis baru ini.
Diah menjelaskan bahwa dari ratusan narkoba jenis baru yang sudah diidentifikasi oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkotika dan Kejahatan (UNODC), baru 66 jenis yang dapat diidentifikasi oleh BNN di Indonesia.
“Diantara 66 jenis itu, baru 43 yang sudah diregulasi oleh Kementerian Kesehatan dalam undang-undang. Ini harus menjadi perhatian kita semua, karena ini menunjukkan bahwa psikotropika bisa didapatkan dari sumber di luar apotek,” kata Diah. (DD17)