Kopi Papua, ”Hona”!
Kopi telah membentuk subkultur tersendiri di dunia, termasuk Indonesia. Kedai kopi terus bertumbuhan di perkotaan. Namun, kaum urban penikmat kopi mungkin tak semuanya sadar, kopi sedap sejatinya bukan berawal dari peran barista—profesi yang kini keren itu—melainkan petani. Dari tangan petani, spektrum karakter rasa kopi mulai dibentuk sehingga saat diseduh mampu menerbitkan gumaman: hmm….
Awan kelabu bergantung di langit Wamena sore itu ketika Maksimus Lani (64) mengajak tamunya, tim dari lembaga nonprofit Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) dan Kelompok Kerja (Pokja) Papua, turun ke kebun kopinya. Semilir angin sejuk berembus lembut. ”Boleh coba cicip buah kopi yang sudah merah, tapi jangan buang bijinya, kasih ke saya,” kata Maksimus.
Tanaman kopi ini keringat kami. Dua biji atau 3 biji tetap berharga. Tidak boleh dibuang, ucap Maksimus.
Setelah kulit ceri kopi digigit, bagian bijinya yang berlendir yang disebut mucilage terasa manis sekali. Maksimus lalu menengadahkan tangan kanannya, meminta balik biji-biji kopi bekas kulum dari para tamunya itu.
Telapak tangannya dihiasi guratan-guratan yang dalam dan tegas selaiknya tangan petani yang telah puluhan tahun menggarap kebun. Ia menggenggam biji-biji itu baik-baik agar tak ada sebutir pun yang terjatuh.
Maksimus lalu berujar pelan. ”Tanaman kopi ini keringat kami. Dua biji atau 3 biji, tetap berharga. Tidak boleh dibuang,” ucapnya.
Ia benar-benar mencintai tanaman kopinya. Kebun kopi arabika miliknya itu tak luas, hanya sekitar 2,5 hektar di Kampung Jagara, Distrik Walesi Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Sekitar 27 km dari Wamena merupakan kawasan Lembah Baliem Pegunungan Jayawijaya yang tersohor akan keindahannya.
Kawasan kebun kopi Maksimus berada di ketinggian 1.400-1.800 dpl, ideal untuk kopi arabika. Jika dilihat dari buahnya, pohon kopi di kebun Maksimus kemungkinan dari varietas linie S 795.
Namun, bentuk daunnya mirip varietas typica. Di antara pohon-pohon kopinya terlihat pepohonan abasia (sengon) dan kaliandra sebagai naungan. Kopi dari kawasan ini menyandang nama beken kopi wamena, yang rencananya akan mendapat sertifikasi indikasi geografis (IG).
Pasokan terancam
Maksimus hanya potret dari banyak petani-kopi kecil di Indonesia. Sebanyak 95 persen produksi kopi di Indonesia—rata-rata 600.000 ton per tahun—bersumber dari petani-petani kecil. Sementara sisanya dari perkebunan besar milik negara dan sebagian kecil milik swasta. Badan Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar di Kementerian Pertanian (Kementan) memperkirakan ada sekitar 1,88 juta keluarga petani kecil yang menggarap kopi di Indonesia.
Produktivitas kopi di Indonesia dianggap masih sangat rendah untuk standar internasional. Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementan memperkirakan produktivitas kopi hanya sekitar 700 kg per hektar. Padahal, yang ideal sedikitnya 1,5 ton per hektar. Maksimus, misalnya, dari lahan kebun 2,5 ha miliknya, ia hanya memperoleh 800 kg kopi beras (green beans).
Peneliti manajemen sumber daya alam Jeffrey Neilson dari University of Sydney di Australia dalam makalahnya ”The Value Chain for Indonesian Coffee in A Green Economy” bahkan meragukan data Ditjenbun itu. Sebab, dari penelitiannya sendiri di Sulawesi Selatan misalnya, banyak kebun kopi yang produktivitasnya lebih rendah, hingga kurang dari 200 kg per hektar.
Catatan lembaga internasional yang berbasis di Belanda, The Sustainable Trade Initiative IDH (Initiatief Duurzame Handel atau Inisiatif Dagang Hijau)— menyebutkan, Vietnam yang jumlah petaninya hanya sepertiga dari Indonesia, produktivitasnya malah 3 kali lebih tinggi.
Salah satu penyebab krusial rendahnya produktivitas kopi adalah minimnya praktik pertanian yang baik (good agriculture). Dalam lingkup itu, SCOPI (http://www.scopi.or.id) mencoba meretas masalah dengan terjun ke sejumlah daerah penghasil kopi untuk melatih petani dan mengawal perkembangannya.
Untuk di Papua, SCOPI bekerja sama dengan Pokja Papua. Mereka melatih petani kopi di lima kabupaten. Selain Jayawijaya (Wamena), juga Dogiyai, Puncak Jaya (Mulia), Paniai, dan Deiyai. Dua daerah lain akan menyusul, yakni Pegunungan Bintang (Oksibil) dan Intan Jaya. Sasaran utamanya, menjadikan petani mampu meningkatkan produktivitas dan menghasilkan produk akhir green beans (kopi beras) berkualitas terbaik.
SCOPI atau KKBI (Kemitraan untuk Kopi Berkelanjutan Indonesia) merupakan lembaga yang berdiri Maret 2015 dengan misi mengembangkan kemitraan publik di sektor perkopian di Indonesia. Tujuan utama dari kemitraan itu adalah membuka kesempatan ekonomi yang lebih baik bagi petani, keamanan pangan, dan keberlanjutan lingkungan.
Organisasi ini dalam kepengurusannya juga melibatkan berbagai pihak, mulai dari peneliti dan akademisi, koperasi petani kopi, hingga berbagai pihak dalam industri atau bisnis kopi. SCOPI disokong oleh lembaga IDH.
Salah satu kontribusi penting SCOPI adalah menyusun buku panduan Kurikulum Nasional dan Modul Pelatihan Budi Daya Berkelanjutan dan Pasca Panen Kopi Robusta dan Arabika. Buku inilah yang menjadi perangkat pelatihan petani kopi di daerah-daerah di Indonesia, termasuk Papua. Buku panduan tersebut disumbangkan kepada pihak Kementan yang sekaligus memegang hak ciptanya.
...tahun 2023 kita bisa kekurangan kopi, lalu terpaksa impor yang harganya akan makin tinggi karena berebutan, kata Veronica.
Direktur Eksekutif SCOPI Veronica Herlina mengutip data dari IDH Sustainable Coffee Program mengatakan, Indonesia bisa mengalami kekurangan pasokan kopi pada 2023. Sementara, permintaan kopi, baik di dalam negeri maupun global kian meninggi. Seiring tren gaya hidup ngopi, konsumsi kopi orang Indonesia belakangan meningkat rata-rata 8 persen per tahun.
Sementara, menurut lembaga International Coffee Organization (ICO), tren minum kopi di tingkat dunia akan tumbuh 25 persen dalam lima tahun ke depan. Menurut ICO, dunia akan terancam kekurangan pasokan kopi selepas tahun 2020. Kawasan Indonesia, khususnya Indonesia timur seperti Papua, menjadi harapan tersendiri agar produksi kopi dunia yang berkualitas spesialti bisa terdongkrak.
”Di perkotaan seperti Jakarta, kafe tumbuh pesat. Ngopi makin ngetren. Profesi yang terkait juga ikut ngetren, seperti barista juga roaster. Tapi semua hebohnya di hilir. Kalau kita enggak benahi masalah di hulu, di level petani, tahun 2023 kita bisa kekurangan kopi, lalu terpaksa impor yang harganya akan makin tinggi karena berebutan,” kata Veronica.
Menurut Moenardji Soedargo, Ketua SCOPI yang juga dewan penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) mengatakan, saat ini saja pasokan kopi sudah sering sulit didapat pedagang besar. Padahal, permintaan pasar global akan kopi dari Indonesia, baik arabika maupun robusta, selalu tinggi.
Minim pengetahuan
Di masa lalu, maksimus sebenarnya kerap mengikuti berbagai penyuluhan pertanian. Namun, baru kali ini ia menerima ilmu yang lebih menyeluruh yang menyasar keberlanjutan produksi dan kualitas kopi. Mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan tanaman, cara panen, pengendalian hama, hingga penanganan setelah panen yang benar dengan berbagai tekniknya. Ironis, jika mengingat tanaman kopi telah tumbuh di negeri ini selama ratusan tahun, tetapi petaninya belum terbekali pengetahuan bertani yang paripurna.
Misalnya saja, Maksimus—yang sejak 1997 bertani kopi ini—baru lewat pelatihan SCOPI mengenal cara pengeringan biji kopi dengan para-para. Ini adalah penampang kawat besi berdesain sederhana, berbiaya murah, dan bisa dibuat sendiri. Di atas para-para, biji kopi dijemur hingga mencapai kadar kelembapan ideal, 9-13 persen. Sebelumnya, ia mengeringkan kopi dengan menghamparkannya saja di terpal.
Menurut Irvan Helmi, roaster dan pendiri kedai Anomali Coffee di Jakarta yang juga terjun bersama SCOPI, cara pengeringan di terpal berpotensi mengganggu karakter rasa kopi. Penangangan setelah panen yang tepat bisa membuat kopi arabika menyentuh skor nilai cupping (uji spektrum rasa) 80-100, lantas dapat digolongkan sebagai kopi spesialti (baca Kopi Spesialti, Mandailing, dan Perempuan Legendaris) . Dengan begitu, petani bisa melepas kopinya dengan harga lebih tinggi.
Bahkan kini, melalui pelatihan, Maksimus akhirnya tahu bahwa hampir tak ada yang terbuang dari kopi. Limbah kulit buah kopi pun ternyata punya nilai ekonomi. Limbah kulit yang terkumpul setelah proses pengupasan basah dengan mesin pulper atau pengupasan kering juga bisa dikeringkan menjadi cascara. Kulit ceri cascara kering ini menjadi produk teh kopi, teh yang diseduh dari tanaman kopi.
Maksimus berharap, jika kualitas kopinya semakin meningkat, harga jual kopinya juga bisa lebih baik. Saat ini, di kelompok tani yang dipimpinnya, harga jual kopi beras bervariasi dan relatif masih rendah. Hanya faktor logistik pengangkutan yang berkontribusi meninggikan harga, bukan karena kualitas kopi berasnya itu sendiri.
Pedagang kopi beras (green bean buyer) tak jarang mendatangi langsung petani-petani di pelosok Papua untuk membeli kopi beras dengan harga rendah. Sementara, kerap kali petani terkendala kemampuan logistik untuk menjual panenan kopinya ke pengumpul yang lokasinya jauh.
Pembentukan rasa
Keistimewaan seduhan kopi arabika adalah minuman ini memiliki spektrum karakter rasa yang kaya dimensi. Hal itulah yang membuat arabika—apalagi tergolong spesialti—begitu diapresiasi oleh penikmat kopi. Tak heran, harga jual kopi arabika pun lebih tinggi dibanding robusta. Tingginya bobot nilai itu, misalnya, yang membuat negara-negara penghasil kopi lebih fokus dan serius mengembangkan arabikanya. Di Costa Rica, misalnya, petani kopi hanya diizinkan menanam arabika.
Dalam pelatihan, petani diberi pemahaman sebaik-baiknya bahwa setiap perlakuannya terhadap kopi bisa memengaruhi pembentukan karakter rasa kopi. Nikmatnya kopi di kafe bisa tercipta bukan bertumpu di tangan barista, melainkan berawal dari peran si petani.
Irvan yang juga Q Grader (pencicip kopi bersertifikat) menjelaskan, pembentukan spektrum karakter rasa pada kopi ditentukan pertama kali sejak di pohon kopi. Misalnya jenis varietasnya, kondisi iklim mikronya (curah hujan, ketinggian, keadaan tanah), sampai kematangan buahnya saat dipanen.
Penentu rasa berikutnya adalah penanganan setelah panen, dimulai dari pemilihan cara fermentasi biji kopi. Secara garis besar ada empat cara, yaitu fully wash, semi wash, pulped natural, dan natural. Tiap cara bisa memberi karakter dan intensitas rasa yang berbeda-beda dari satu macam kopi yang sama.
Tahapan setelah panen, yang menjadi penentu rasa selanjutnya adalah pengeringan biji kopi. Baru setelah itu, tahap penyangraian atau roasting yang mengambil peran sehingga karakter rasa karamel dan kacang-kacangan (nuttiness) pada kopi bisa muncul.
”Saat cupping, pada rujukan flavour wheel (cakram rasa), kan, ada kategori dry distillation yang salah satunya menghimpun karakter aneka rasa rempah. Rasa itu bisa muncul karena peran pengeringan. Durasinya bisa dipercepat atau diperlambat, misalnya dengan menebalkan atau menipiskan tumpukan hamparan biji kopi yang dijemur di para-para. Beda durasi waktu, akan beda juga intensitas karakter rasanya. Seru, kan?” jelas Irvan.
Masih minimnya pengetahuan petani juga terlihat di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Di sini, perkebunan kopi rakyat berada di ketinggian 2.000-2.200 dpl. Selama ini, petani masih terbiasa memanen dengan cara ”petik asal”, yakni menggaruk seluruh buah/ceri kopi dalam satu tangkai sehingga buah yang belum masak terikut. Padahal, kualitas utama kopi yang baik dimulai dari tindakan memetik buah/ceri kopi hanya yang masak saja, yaitu berwarna merah.
”Petik yang merah saja, ya. Pegang cerinya, putar-putar sedikit baru ditarik sehingga tangkai tidak terikut. Kalau tangkainya ikut, tahun depan tanaman kopinya bisa menurun jumlah buahnya. Kita coba, bisa ya?” seru Jansen, salah satu pelatih (master trainer) dari SCOPI, yang melatih 30 petani kopi di Kampung Muliambut, Distrik Mulia.
Pelatihan yang digelar SCOPI itu sekaligus juga bertujuan menciptakan petani-petani kopi yang bisa menjadi master trainer (MT) bagi kelompok tani di daerahnya masing-masing. Untuk menjajaki tujuan itu, SCOPI mendapuk petani kopi dari daerah lain yang rekam jejaknya terbilang sukses untuk lalu melatih sesama petani di daerah yang berbeda.
Untuk pelatihan di Papua ini, misalnya, SCOPI mengutus petani kopi dari Gunung Puntang, Jawa Barat, Ayi Sutedja, sebagai MT. Kopi hasil kebun garapan Ayi tahun 2016 sukses menjuarai lelang kopi dunia yang digelar Specialty Coffee Association of America (SCAA) di Atlanta, Amerika Serikat. Kopi gunung puntang terjual dengan harga paling tinggi, yaitu 55 dollar AS per kilogram green bean dengan skor nilai cupping 86,25. Prestasi ini tercapai berkat praktik pertanian yang baik yang dilakoni Ayi.
Dalam pelatihan, petani juga belajar menyortir buah kopi yang telah dipanen dengan teknik rambangan. Caranya sederhana. Cukup dengan merendam seluruh panenan buah kopi di dalam air. Buah kopi yang tenggelam berarti sudah cukup masak dan layak dipilih untuk fermentasi selanjutnya.
Dengan cara rambangan, biji kopi yang cacat (defect) seperti quaker (biji belum masak) dan black bean (biji hitam/busuk) bisa dideteksi karena mengambang di air. Saat green bean grading (pemilahan kopi beras), jika dalam sampel 350 gram kopi beras ditemukan 1 butir saja biji hitam penuh, seluruh kopi beras itu bisa gagal berkategori kopi spesialti. Biji hitam/busuk dianggap jenis cacat primer (primary defect) yang bikin rasa kopi jadi kecut dan pahit.
Faktor ekonomi juga menjadi penentu tersendiri, yang membuat petani semangat meningkatkan mutu panennya. Oleh karena itu, kata Veronica, SCOPI juga berusaha menjembatani akses pasar bagi para petani kopi yang telah dilatih. Dengan begitu, petani tidak sia-sia telah berusaha meningkatkan produksi dan mutu kopinya. Artinya, petani bertambah yakin jika kopinya kian berkualitas, akan semakin banyak pula pelaku bisnis kopi yang sudi menebusnya dengan harga tinggi.
Keluarga kami pecah. Suami dan istri juga ada yang ribut gara-gara beda pilihan paslon, keluh Yatimus, petani.
Peretas konflik
Selain menjadi sumber ekonomi yang menjanjikan, di Papua kopi bisa punya peran sosial tersendiri. Di Mulia, di balik suasana yang tenteram saat ini, distrik ini sebenarnya belum lama dilanda koflik pasca-pilkada pada Juli 2017 lalu.
Ratusan rumah terbakar. Petani kopi di Mulia, Yatimus bercerita, pilkada membuat mereka jadi perang saudara meskipun berasal dari satu suku. Bukan lagi seperti dulu yang lazim terjadi, yakni ”sekadar” perang antar-suku. ”Keluarga kami pecah. Suami dan istri juga ada yang ribut gara-gara beda pilihan paslon (pasangan calon bupati),” keluh Yatimus.
Ketegangan pasca-kerusuhan itu masih terasa. Aparat setempat hingga November 2017 masih melarang warga keluar rumah setelah pukul 18.00. Menjelang petang, jalanan di Mulia terasa sangat sepi.
Itu (pilkada) sudah tidak masalah lagi. Sekarang belajar kopi saja, ujar Ismail, petani kopi.
Selama pelatihan kopi di kebun, semua petani tak lagi mempersoalkan pilihan politik mereka yang saling berbeda dalam pilkada yang lalu. Mereka saling berinteraksi dengan rileks dan sama-sama antusias belajar. Canda tawa pun bermekaran.
”Itu (pilkada) sudah tidak masalah lagi. Sekarang belajar kopi saja,” ujar Ismail, salah satu petani peserta pelatihan.
Masyarakat di Mulia sejatinya hangat dan ramah. Ada satu kebiasaan unik di antara warga laki-laki di sini. Mereka akan bergandengan tangan untuk menunjukkan rasa akrab yang kental. Jika ada orang pendatang digandeng demikian, itu menunjukkan bentuk penerimaan warga setempat dengan tulus sepenuh hati.
Tiorenis, salah seorang petani misalnya, seusai sesi pelatihan menggandeng tangan Irvan sambil mengobrol dan berjalan meninggalkan kebun kopi. Senyumnya terus-menerus mengembang. Tiorenis tampaknya merasa senang selama pelatihan turut dibimbing Irvan.
Menjelang sore, pada hari pertama pelatihan petani itu, sebuah upacara besar digelar di lapangan di Kampung Wani Gobak, Distrik Pagaleme. Ratusan warga berkumpul menyaksikan negosiasi damai upacara ”bayar kepala” yang pembayarannya diwujudkan berupa ternak babi dan uang hingga ratusan juta rupiah untuk pihak yang dianggap jadi korban. Upacara damai itu kemudian di hari lain dilanjutkan dengan upacara bakar batu sebagai tanda sahnya perdamaian.
Maksimus, si petani Wamena, juga mengaku, sejak menekuni kopi, ia meninggalkan tradisi lamanya yang bermusuhan dengan suku lain. Maksimus yang dari suku Dani ini bahkan kini sudi membeli dan menampung kopi beras dari petani suku berbeda asal Yahukimo, yang dahulu bermusuhan. ”Kalau mereka pulang kemalaman, boleh tidur menginap di sini. Kami tidak lagi baku musuh,” katanya.
Maksimus, Yatimus, dan petani-petani kopi di Papua lainnya sama-sama berharap, kopi di Papua bisa menjadi jembatan kokoh menuju segala harapan; kesejahteraan hingga perdamaian. Ketika politik memecah, kopi mempersatukan.
”Bapak Presiden, bantu kopi papua maju. Kopi papua, hona (oke). Hona!” seru Maksimus sembari mengacungkan jempolnya.