Memang banyak aral melintang saat menulis untuk jurnal. Revisi seabrek, bongkar tulisan, dan waktu penerbitan yang lama menjadi momok bagi mahasiswa S-1. Sebagian dari mereka tak patah semangat hingga karyanya dimuat.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
ARSIP PRIBADI
Maharani Bening Khatulistiwa menunjukkan tulisannya yang di muat di jurnal lewat laptopnya di Jakarta, Jumat (11/2/2022).
Sejumlah mahasiswa S-1 mencetak karya yang mampu menembus jurnal dalam hingga luar negeri. Meski belum tentu diwajibkan, mereka memilih bergulat untuk menghasilkan tulisan ilmiah. Memang tak mudah tetapi para penulis muda itu tak patah arang ketimbang hanya bermain gim, mengobrol, atau menonton video.
Maharani Bening Khatulistiwa (20) menunjukkan tulisannya lewat laptop di Jakarta, Jumat (11/2/2022). Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) angkatan tahun 2019 itu tampak semringah.
”Senang banget. Setelah persiapan lama, jerih payah terbayar. Tulisanku dimuat di jurnal,” kata Ara, panggilan akrabnya. Karya tersebut berjudul ”Aplikasi mHealth Covid-19 di Indonesia: Analisis Konten Menggunakan Mobile Application Rating Scale (MARS)”.
Ia menilai aplikasi kesehatan nasional saat pandemi. Paparan Ara dimuat Science and Information Technology Journal pada 28 Oktober 2021. ”Jujur, awalnya muncul risau, waswas, malah keder. Sudah digarap maksimal kalau enggak diterima, down (kecewa) juga,” ucapnya.
Garapan Ara dimulai saat belajar metode analisis isi. Dosen mata kuliah itu mendorong mahasiswa mengirimkan tugas akhirnya ke jurnal. ”Daftarkan dulu tapi enggak harus dimuat. Kalau tugas rutin yang susah enggak ada tapi kami nyicil bagian-bagiannya setiap bulan,” katanya.
Ara memantapkan niatnya. Ia menelaah jurnal-jurnal untuk menyesuaikan dengan ulasannya dan membaca banyak tulisan yang dimuat. ”Jadi, aku tahu kiriman yang diterima seperti apa. Kualitas karyaku diupayakan sama. Seenggaknya, tahu bikin analisis yang baik,” ucapnya.
Ara mengirimkan tulisannya pada Juni 2021. Keringat dingin kembali mengucur saat ia menerima surat dari pengelola jurnal dalam negeri itu bahwa karyanya sudah diperiksa. ”Kayak begini rasanya submit (mengajukan) tulisan,” katanya sambil tertawa.
Tulisan tak serta-merta dimuat. Ia harus memperbaiki kontennya sampai dua kali, mulai September hingga Oktober 2021. Ara harus terus mengecek lewat surat elektronik yang terhubung dengan sistem jurnal untuk memasukinya dan berkomunikasi.
”Isinya, komentar untuk revisi atau update (informasi terbaru). Akhirnya, aku pikir enggak apa-apa kalau belum dimuat. Ambil saja buat pembelajaran,” katanya. Tulisan bisa dikirim untuk peringkat berdasarkan Indeks Sains dan Teknologi atau Sinta, mulai yang tertinggi 1 hingga 6.
ARSIP PRIBADI
Nadia Novianti mengamati skripsinya di Jakarta, Sabtu (12/2/2022).
Pilihan yang diambil Ara pun bukan tergolong rendah atau Sinta 3. Saat tulisan dimuat, ia spontan menerima apresiasi dari kawan-kawannya. ”Dosen-dosen juga tahu. Manfaatnya, aku makin pede (percaya diri) dan berambisi menulis untuk jurnal lain. Jadi, ayo bikin lagi,” katanya dengan mantap.
Nadia Dwi Novianti (23) juga mengirimkan tulisannya. Saat masih menempuh S-1 Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), ia membuat karya berjudul ”The Efficiency of Education and Microcredit Programs on Young Adults’ Independence”.
Nadia mengirimkan buah pikirannya ke Journal of Small Business & Entrepreneurship yang terhitung tinggi atau termasuk Scopus Q2. ”Menjelang wisuda, Agustus 2019, aku punya waktu luang. Aku selesai sidang skripsi, Februari sebelumnya,” ujarnya.
Nadia yang kuliah mulai tahun 2015 itu pun diajak dosennya menulis. Ia mengiyakan dengan pijakan skripsi yang baru dituntaskannya. ”Cari-cari dan baca tulisan di jurnal yang jadi referensi. Sebenarnya, kirim tulisan ke jurnal enggak wajib,” ucapnya.
Nadia pun tak bisa menampik kecemasannya saat mulai menulis. Apalagi, ia menggunakan bahasa Inggris dengan susunan kata yang terkadang dikhawatirkan tidak tepat. ”Jadi, muncul perasaan takut enggak bagus, salah, atau kurang nendang kalimatnya” katanya.
Jadi bekal
Karya itu diawali penelitian dosen Nadia, Arief Wibisono Lubis yang memandunya. Setelah disempurnakan, tulisan dikirim pada pertengahan tahun 2019. ”Kalau kesulitan, saya berkomunikasi. Semua bisa dilalui, kok, kalau punya sistem support (pendukung) yang baik seperti itu,” ucapnya.
Ia menerima kabar mengenai tulisannya yang diterima pada Januari 2022 dan diperkirakan terbit pada kuartal kedua tahun ini. ”Alhamdulillah. Pastinya senang. Manfaatnya, aku tahu bagaimana menulis untuk jurnal, studi-studinya, dan menambah wawasan,” ujarnya.
Nadia berpikir lebih jauh. Ia bisa saja leyeh-leyeh seusai mengerjakan skripsi, tetapi menorehkan karya kelak menjadi bekal menuju jenjang selanjutnya. ”Kalau aku kuliah S-2, punya artikel akan mudah diterima atau dapat beasiswa,” katanya.
ARSIP PRIBADI
Dosen Metode Kuantitatif Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran S Kunto Wibowo membaca tulisan yang dimuat di jurnal lewat gawainya di Bandung, Jawa Barat, Jumat (11/2/2022).
Nadia memang bertekad meraih gelar yang lebih tinggi. Kesempatan untuk pengembangan diri dan karier ke depan pun ia ambil. ”Penginnya kuliah S-2 keuangan atau perbankan. Memang, sesuai minat, termasuk penelitian untuk tulisan jurnal yang kubuat,” katanya.
Dosen Metode Kuantitatif Fikom Unpad Kunto Adi Wibowo menilai masih banyak mahasiswa yang belum percaya diri mengirimkan karyanya ke jurnal. ”Penyebabnya tak dibiasakan mulai pendidikan menengah. Seringnya, esai dan mengarang,” katanya.
Kunto berupaya memotivasi mahasiswanya dengan menyampaikan masukan setiap mereka membuat tugas. Saat semester berakhir, mereka diharapkan membuat artikel. ”Meski agak berat. Reviunya harus bongkar tulisan karena sama sekali tak mengikuti kaidah ilmiah,” ucapnya.
Kunto yang bersama koleganya, Ikhsan Fuady, masuk tim pembuat karya kiriman Ara dengan membantu menulis itu, mengimbau mahasiswa tak menyerah. ”Usaha pertama bisa ditolak, atau diminta banyak sekali revisi. Banyaklah baca artikel supaya tahu strukturnya membuat argumen,” katanya.
Melampaui dosen
Guru Besar FEB UI Rofikoh Rokhim mengamati minat mahasiswa S-1 yang sebenarnya besar untuk mengirim tulisan ke jurnal. ”Mahasiswa saya, Adrean Ade Surya, tembus jurnal Asia Pacific Management Review yang masuk Scopus Q1. Kalah mahasiswa S-3. Nadia juga awalnya ikut proyek saya,” ujarnya.
Ia lantas menyebut deretan mahasiswanya dengan tulisan yang sangat berbobot dan dimuat di berbagai jurnal. Rofikoh menekankan pentingnya daya tahan dan persisten. ”Kuncinya begitu. Tulisan bisa dimuat setelah lima bulan, setahun, bahkan tiga tahun,” katanya.
Walakin, Rofikoh memandang mahasiswa saat ini sepatutnya jauh lebih mudah mengirimkan tulisan dengan berbagai fasilitas. ”Sekarang enak. Seharusnya, guru dan murid sama pintarnya. Kalau bisa, mahasiswa melampaui dosen. Makanya, bikin tulisan buat jurnal? Siapa takut!” serunya.
Kebanyakan mahasiswa dengan karya yang dimuat di jurnal punya pengetahuan dan karier cemerlang, hingga menjadikannya modal mendapatkan beasiswa S-2. ”Saya berpesan, mahasiswa jangan pakai gawai untuk foto-foto enggak jelas. Bermutulah sedikit,” katanya seraya tersenyum.