Suka Duka Mahasiswa Hidup Bersama Omicron di London
”Aku enggak tahu, ya, terpapar di mana. Kemungkinan, sih, karena olahraga di gym,” kata Yudha yang menjalani isolasi selama lima hari sesuai aturan Pemerintah Inggris.
Perjalanan pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri penuh tantangan, terutama pada masa pandemi ini. Inilah suka duka pelajar Indonesia di Inggris yang hidup di tengah gempuran Omicron.
Setelah lima hari terkurung di kamar karena terpapar Covid-19 varian Omicron, Christophorus Yudha Danujatmika (30) akhirnya merayakan kebebasan. Pada Sabtu (5/2/2022), mahasiswa MA International Communication University of Leeds itu bisa berkumpul lagi dengan teman-teman.
Yudha merasakan gejala berupa batuk ringan sejak Minggu (31/1/2022). Pemuda asal Yogyakarta itu esok harinya dinyatakan positif Covid-19. Tiga hari kemudian, Yudha sudah negatif Covid-19, namun baru berani keluar kamar pada Sabtu. ”Aku enggak tahu, ya, terpapar di mana. Kemungkinan, sih, karena olahraga di gym,” kata Yudha yang menjalani isolasi selama lima hari.
Terpapar Covid-19 varian Omicron memaksa Yudha mengikuti kuliah daring. Sejak ada pandemi, sistem belajar di Inggris menawarkan program hibrida, yaitu kuliah tatap muka dan daring. Virus ini tidak hanya mengganggu kuliah, tetapi juga kegiatan. ”Rencana kencan jadi berantakan karena Covid-19. Padahal, sebenarnya ada rencana makan malam,” ujar Yudha.
Ini merupakan pengalaman kedua Yudha terpapar Covid-19. Tahun lalu, Yudha juga terinfeksi virus korona. Menurut Yudha, meskipun gejalanya tidak terlalu parah, ia merasakan efek jangka panjang, seperti sulit konsentrasi dan sesak napas. Berdasarkan pengalaman terpapar virus sebelumnya, efek itu ia rasakan selama enam bulan.
Mahasiswa MSc Biodiversity and Conservation University of Leeds, Munawaratul Makhya (30), juga terpaksa melewatkan masa liburan Natal dan Tahun Baru karena terpapar Covid-19. Muna beserta suami, Heri Tarmizi (41 tahun), dan anaknya, Ayleen Ceudah Almahera (3,5 tahun), harus menjalani masa isolasi karena Covid-19.
Muna mengatakan, pada 24 Desember 2021, ia makan malam bersama empat temannya. Keesokan harinya, empat dari lima orang yang makan malam bersama dinyatakan positif Covid-19. ”Ada beberapa asumsi yang membuat aku terpapar virus. Pertama, karena aku lalai memakai masker di luar ruangan. Kedua, virus bisa saja berasal dari kumpul dengan teman. Ketiga, kemungkinan virus berasal dari suami aku yang bekerja, atau keempat berasal dari anak aku yang sekolah di Inggris,” ujarnya.
Sudah mendapatkan vaksin pengua, tidak menjamin Muna bebas dari Covid-19. Selama menjalani isolasi, Muna mengalami gejala seperti batuk ringan dan perih di tenggorokan. Terpapar virus juga sempat membuat panik karena Muna tinggal bersama anaknya yang masih balita. Ia terpaksa mengurangi interaksi fisik dengan anaknya untuk mengurangi penyebaran virus. Selama di rumah, ia juga disiplin menggunakan masker.
”Kalau di Indonesia mungkin anak saya bisa dititipin ke saudara dulu. Mengingat sedang merantau, ya, anak enggak bisa dititipin. Sebisa mungkin di rumah kami menjaga kebersihan, mengurangi sentuhan fisik, dan memisahkan alat-alat makan,” ujarnya.
Selama masa isolasi, Muna menghadapi tantangan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Gejala batuk dan kondisi badan yang kurang bugar membuatnya sulit konsentrasi saat mengerjakan tugas kuliah. Selama masa isolasi, ia juga tidak bisa keluar rumah atau menghirup udara segar sehingga membuat kurang segar dalam berpikir.
Untungnya, selama di Inggris banyak teman dan komunitas Indonesia yang peduli. Muna mendapatkan bantuan dari Perkumpulan Masyarakat Islam Indonesia di Leeds. Perkumpulan itu memberikan kebutuhan bahan pokok untuk seminggu. Beberapa temannya juga siap sedia membantu belanja kebutuhan pokok atau memasok makanan. Muna juga mendapatkan bantuan berupa kebutuhan pokok, vitamin, dan obat-obatan dari KBRI.
Terpapar Covid-19 memberikan pelajaran berarti kepada Muna untuk tidak kendur dalam mematuhi protokol kesehatan. ”Aku memang sempat kendur karena tinggal di Inggris merasa sudah aman. Sekarang protokol kesehatan harus kembali lagi seperti masa awal pandemi, enggak boleh lengah,” katanya.
Menurut Muna, tanpa Omicron, kuliah di Inggris sudah cukup menantang karena ia mendapat banyak tugas. Dengan adanya Covid-19 varian Omicron, tantangan semakin nyata. Virus ini menghambat kegiatan mahasiswa. Rencana untuk studi banding ke Kenya dan Spanyol, misalnya, terpaksa ditunda atau bahkan dibatalkan karena menunggu kasus Covid-19 mereda.
”Sayang banget, kan, kalau mata kuliah untuk studi banding itu dibatalkan, pengetahuan dan pengalaman jadi berkurang,” ujarnya.
Kondisi pandemi Covid-19 di Inggris memang tergolong cukup mengkhawatirkan. Pada Rabu (9/2/2022) tercatat lebih dari 18 juta kasus positif atau lebih dari empat kali lipat kasus di Indonesia (4,58 juta). Padahal, populasi di Inggris hanya 4 persen dari populasi di Indonesia.
Solidaritas
Kasus Covid-19 di Inggris melonjak, terutama setelah ada varian Omicron. Pada Desember 2021 terdapat total 114 kasus Covid-19 yang dilaporkan oleh WNI. Pada Januari 2022 atau setelah libur Natal dan Tahun Baru yang bersamaan dengan penyebaran virus varian Omicron, terdapat tambahan laporan 96 kasus positif. ”Padahal, biasanya kami hanya menerima 8-15 kasus per bulan. Setelah ada varian Omicron, jumlahnya meningkat hingga 14 kali lipat,” kata Koordinator Tim Konsultasi Covid-19 KBRI-PPI UK Muhammad Akil Yerilwan P.
Akil menyebutkan, pada 1-10 Februari terdapat 26 kasus positif, sebanyak 18 di antaranya kasus aktif mahasiswa. ”Pelapor dari mahasiswa kebanyakan kasus ringan, seperti demam, batuk, flu, dan nyeri tenggorokan. Anosmia dan hilang pengecapan sangat jarang pada era Omicron, tetapi tetap ada beberapa dengan perhatian khusus karena komorbiditas,” ujar Akil.
Berdasarkan aturan dari Pemerintah Inggris, seseorang yang terpapar Covid-19 harus menjalani isolasi mandiri selama 10 hari. Namun, seseorang dengan Covid-19 bisa menyelesaikan isolasi apabila dalam waktu lima hari sudah dinyatakan negatif.
Menurut Akil, ke depan ada beberapa hal yang ia khawatirkan, seperti kondisi kesehatan mahasiswa dengan penyakit khusus (kanker, autoimun, dan lain-lain), rencana Pemerintah Inggris untuk menghapus ketentuan isolasi mandiri, dan konsekuensinya terhadap kasus Covid-19.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Inggris merangkap Irlandia dan Organisasi Maritim Internasional Desra Percaya mengatakan, tahun lalu sempat ada kluster mahasiswa, termasuk mahasiswa pertukaran, karena aktivitas padat dan mobilitas tinggi mengikuti jadwal kuliah tatap muka. ”Infeksi di kalangan mahasiswa saat ini merupakan individual andisolated cases,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sejak Januari hingga akhir Maret, Inggris mulai memasuki kembali relaksasi dari plan B yang lebih ketat menjadi plan A. Artinya, tidak lagi wajib masker di sekolah, tempat umum dan transportasi publik; tidak wajib menunjukkan sertifikat vaksinasi di fasilitas hiburan tertutup, seperti kelab atau konser; serta sudah boleh bekerja dari kantor. Aturan kedatangan internasional juga diperlonggar.
Meskipun sudah memasuki era kenormalan baru, menurut dia, masyarakat tidak boleh lengah. ”Mengingat perkembangan Covid-19 masih sangat cair, tentu kita harus tetap waspada dan melakukan langkah konkret pencegahan untuk menghindari terpapar virus,” ujarnya.
Saat ini, program vaksinasi di Inggris cukup berhasil dalam menekan laju pertumbuhan virus meski masih ada sebagian kelompok antivaksin, termasuk tenaga kesehatan sendiri. ”Tujuan booster adalah untuk mengurangi dampak/efek parah apabila positif Covid, dengan harapan herd immunity. Tapi, kita perlu cermati dua hal. Pertama, virus terus bermutasi sehingga efektivitas vaksin semakin kurang optimal. Banyak kasus orang yang telah divaksinasi booster tetap terinfeksi dan gejalanya cukup berat. Kedua, buat saya, kuncinya sederhana. Jaga diri dengan patuhi protokol kesehatan,” katanya.
KBRI London telah membentuk satgas Covid-19 sejak awal pandemi. Anggotanya tidak hanya teman-teman diplomat dan staf KBRI, tetapi juga dibantu para WNI yang berprofesi sebagai dokter, pelajar, dan masyarakat.
Meski di tengah keterbatasan, solidaritas dan gotong royongnya sangat tinggi. KBRI selalu berkoordinasi untuk menyiapkan bantuan logistik, termasuk obat-obatan dan kebutuhan pokok, yang diantar langsung ke kediaman para WNI yang positif Covid-19. Para dokter juga secara sukarela memberikan konsultasi bagi WNI yang memerlukan serta webinar edukasi tentang perkembangan Covid-19 di Inggris.
”KBRI punya hotline Covid-19 yang dapat dihubungi 24/7 (nonstop 24 jam, tujuh hari dalam seminggu) serta selalu update data dan perkembangan kebijakan Inggris di website dan medsos kami. Please, pantau secara berkala supaya tidak ketinggalan informasi,” ujarnya.