Perjuangan Mahasiswa Asing
Mereka berasal dari sejumlah negara, mulai dari Malaysia, Kamboja, Thailand, Turki, sampai Gambia, Sudan, Libya, dan Palestina. Jurusan yang mereka ambil mulai ilmu komunikasi, agama Islam, seni, hubungan internasional, sampai kedokteran.
Nah, bagaimana suka duka para mahasiswa asing selama kuliah di Indonesia. Yuk kita dengar cerita Babucarr Jassey, mahasiswa semester 2 jurusan Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, asal Gambia. Kami bertemu dengan Jassey, Minggu (30/4), saat dia sedang mencari makan siang di sekitar Kampus 3 UIN. Cowok asing itu masuk ke sebuah warung padang dan langsung memesan rendang. ”Saya sih doyan apa aja. Saya makan nasi goreng, nasi padang, dan makanan warteg.”
Soal makanan no problemo. Yang masalah buat Jassey itu soal bahasa dan budaya. Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, Agustus 2016, Jassey sama sekali nggak ngerti bahasa Indonesia. Selama tiga bulan, ia berjuang keras belajar kosakata bahasa Indonesia. ”Waktu semester satu, saya targetin satu hari hafal 25 kosakata,” ujarnya.
Sebelum lancar, ia sangat kesulitan mengikuti perkuliahan yang digelar dengan bahasa Indonesia. Ia terpaksa merekam semua perkuliahan dan mendengarkannya kembali di kos-kosan. Kerja kerasnya nggak sia-sia. Dia bisa dapat IPK 3,79. Wow!
Untuk meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, Jassey bergaul dengan mahasiswa lokal. Tapi, Jassey sering gondok dengan perilaku kebanyakan orang Indonesia kalau bertemu orang asing. ”Kalau pas saya lagi jalan, ada aja orang Indonesia yang tertawa melihat saya. Mungkin saya aneh (di mata mereka),” kata cowok berkulit hitam berusia 21 tahun itu.
Berbeda dengan Fanna Conteh (22), rekan senegara Jassey, mahasiswa semester 2 jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah. Meski sudah satu tahun tinggal di Ciputat, dia belum lancar bahasa Indonesia. Supaya mengerti materi perkuliahan, dia minta teman-teman sekelasnya menjelaskan kembali materi tersebut dalam bahasa Inggris. Hasilnya, IPK dia 2,6.
Suka seblak
Süreyya Haksever, mahasiswa semester 6 asal Turki yang mengambil jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Syarif Hidayatullah, juga berjuang mati-matian untuk beradaptasi dengan lingkungan. Awalnya dia kesulitan menerima makanan lokal. ”Seminggu makan makanan Indonesia, aku jatuh sakit. Aku kena tifus mungkin karena masakan Indonesia pedas.”
Lama-kelamaan, Süreyya bisa menyantap makanan lokal, termasuk nasi uduk dan seblak. Supaya adaptasinya lebih cepat, dia tinggal di kos-kosan, berbaur dengan mahasiswa lokal. Kini, temannya banyak dan mereka menjadi ”pasar” buat Süreyya.
Pasar? Yap. Sureyya sekarang jualan selai buah. ”Aku beli buah-buahnya dari Pasar Ciputat dan membuat selai di kos-kosan,” ujarnya, promosi.
Di Yogyakarta, ada Sorlihah, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, asal Pattani, Thailand selatan. Di masa-masa awal, dia sulit beradaptasi dengan masakan lokal yang rasanya manis dan pedas. Dia juga heran, makan di mana saja, di Yogya, pasti ada nasi dan ayam, seolah- olah kedua menu itu saudara kembar siam yang nggak bisa dipisahkan.
Tapi soal bahasa, dia mengaku lebih mudah beradaptasi karena bahasa di Thailand selatan mirip bahasa Melayu Malaysia. ”Ada perbedaan dengan bahasa Indonesia, tapi setelah dua bulan saya mulai mengerti,” ujarnya.
Selama tinggal di Yogya, Sorlihah sering jalan-jalan ke daerah wisata, seperti Solo, Candi Borobudur, dan Gunung Bromo. ”Saya suka jalan-jalan. Tapi saya bingung di sini banyak orang berpasangan, cowok-cewek, apalagi di tempat wisata,” katanya.
Ketika jalan-jalan, Sorlihah pernah kecelakaan sepeda motor bersama saudaranya yang kuliah di jurusan Sastra Arab di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Sorlihah luka ringan, tapi saudaranya luka parah. ”Saya takut sekali karena kami tak punya SIM. Saya menangis, menelepon ibu saya di Pattani. Ternyata polisi hanya menahan STNK dan motor.”
Di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, ada Syahira (22) dan Nurain Saliha (22) yang berasal dari Selangor, Malaysia. Ketika ditemui, mereka baru saja mengikuti mata kuliah Forensik. Mereka tinggal di sebuah rusunawa tak jauh dari kampus. ”Sudah dua tahun tinggal di sini. Setahun pertama (tinggal) di rusun lain. Enak juga di sini,” ujar Syahira dengan logat khas Bugis-Makassar.
Nurain menceritakan, awalnya sempat takut tinggal di Makassar. Tapi, ada senior asal Malaysia yang membantu mengajarkan cara asyik tinggal di Makassar.
”Kami beli mesin cuci atau kompor juga dari senior yang sudah mau selesai kuliahnya. Turun-temurun, ha-ha-ha,” timpal Syahira.
Pengalaman
Bagaimana mahasiswa asing itu bisa sampai kuliah di Indonesia? Sebagian besar dari mereka kuliah di sini karena mendapat beasiswa dari negara asal atau dari Pemerintah Indonesia. Jassey awalnya membaca lowongan beasiswa untuk ilmu kesehatan di beberapa universitas di Asia. Dengan restu orangtua, ia melamar untuk mendapatkan beasiswa dan akhirnya kuliah di UIN Syarif Hidayatullah.
Sementara Fana merasa beruntung mendapat beasiswa di Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia, katanya, jauh lebih maju daripada di negaranya, Gambia. Di sana, ucapnya, hanya ada satu universitas. Setelah selesai kuliah di UIN, dia berniat kembali ke Gambia untuk menerapkan ilmu yang didapat.
Selain mendapat ilmu, mereka juga mendapat pengalaman hidup selama di Indonesia. Süreyya mengaku belajar banyak tentang toleransi di Indonesia. ”Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tempat ibadah agama lain juga tersedia,” katanya.
(TRI/TIA/*)