Mengapa Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja?
Penciptaan lapangan kerja di sektor formal terus menyusut selama 15 tahun terakhir. Akan banyak Gen Z jadi pengangguran?
Apa saja yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
- Lulusan jurusan apa yang paling cepat dapat kerja?
- Seberapa berpengaruh koneksi atau orang dalam (ordal) dalam mendapatkan pekerjaan?
- Apa itu job hopping? Benarkah bisa membuat seseorang cepat naik gaji dan jabatan?
- Bagaimana perjuangan para pencari kerja dalam mendapat pekerjaan?
- Bagaimana kondisi penciptaan lapangan kerja formal Indonesia selama 15 tahun terakhir? Bagaimana nasib generasi Z?
- Bagaimana daya saing Gen Z lulusan SD dan SMP di dunia kerja?
- Benarkah terjadi pergeseran dari sektor padat karya ke padat modal yang berarti mengurangi penciptaan lapangan kerja?
- Apakah kerja di luar negeri solusi untuk mengatasi sempitnya lapangan kerja di dalam negeri?
- Apa saja kiat, tips, dan trik agar lebih mudah dapat pekerjaan, termasuk pekerjaan lepas?
- Bagi pekerja, bagaimana menyiasati penghasilannya yang tergerus inflasi?
- Pertumbuhan wirausaha muda tinggi, tetapi mengapa rasio kewirausahaan Indonesia rendah?
Buka akses ke artikel selengkapnya dengan berlangganan Kompas.id premium
Lulusan jurusan apa yang paling cepat dapat kerja?
Hasil olah data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Agustus 2022 menunjukkan, persentase lulusan perguruan tinggi yang langsung bekerja di sektor formal turun menjadi 47,2 persen dari total lulusan dibandingkan dengan 55,5 persen pada tahun 2017.
Penurunan ini juga terjadi di semua jenjang pendidikan. Pada 2022, dari 7,1 juta lulusan,hanya 967.806 orang atau sekitar 13,6 persen di antaranya yang diterima bekerja di sektor formal, yang terdiri dari lulusan perguruan tinggi 525.481 (54,3 persen), SMA/sederajat 413.142 (42,7 persen), dan SD/SMP 29.183 (3 persen).
Pada 2017, dari 5,8 juta lulusan, dari 5,8 juta orang yang lulus selama September 2016 hingga Agustus 2017 dari semua jenjang pendidikan, sebanyak 1,2 juta orang atau 21,9 persen di antaranya diterima kerja sebagai pegawai/buruh di sektor formal, yang berasal dari kelompok lulusan perguruan tinggi (54,4 persen), SMA/sederajat (41,9 persen), dan SD/SMP (3,7 persen).
Di kelompok perguruan tinggi, jurusan kependidikan dan keguruan adalah jurusan yang paling banyak mengantarkan lulusannya menjadi pegawai, yakni 65 persen (tahun 2022) dan 72,5 persen (2017). Jurusan ini juga menghasilkan lulusan terbanyak, yakni 441.660 orang (2022).
Baca selengkapnya dalam artikel Lulusan Jurusan Apa yang Paling Cepat Dapat Kerja?
Seberapa berpengaruh koneksi atau orang dalam (ordal) dalam mendapatkan pekerjaan?
Segala macam jurus dilancarkan pencari kerja demi mendapatkan pekerjaan. Rupanya, menghubungi orang dalam alias ”ordal” menjadi cara paling populer yang dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan, baik oleh pencari kerja pertama kali maupun oleh pekerja yang mencari pekerjaan baru.
Data Sakernas bulan Agustus 2007 mengungkapkan, delapan dari 10 pencari kerja menghubungi orang-orang terdekat untuk mencari peluang kerja. Selang 15 tahun kemudian atau 2022, jumlahnya meningkat menjadi sembilan dari 10 pencari kerja.
Menghubungi keluarga atau kenalan, selain menjanjikan informasi tentang peluang lowongan kerja, juga bisa memberi tambahan gambaran tentang kondisi di tempat kerja.
Hal ini dianggap bisa meningkatkan peluang diterima di tempat kerja incaran, seperti diakui Hana Pradana (29). Seusai lulus dari jurusan teknik informatika sebuah politeknik negeri di Surabaya pada 2018, Hana dibantu dibukakan jalan oleh seorang kenalan.
Baca kisah selengkapnya dalam artikel ”Orang Dalam” yang Jadi Andalan Para Pencari Kerja
Apa itu job-hopping? Benarkah bisa membuat seseorang cepat naik gaji dan jabatan?
Selama enam tahun terakhir, Maya (31) telah berpindah tempat kerja lima kali untuk meningkatkan kariernya dengan cepat. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Agustus 2022 menunjukkan 16,86 persen pegawai lulusan perguruan tinggi melamar pekerjaan lain, dengan 38,88 persen dari mereka bergaji Rp 2 juta-Rp 5 juta.
Pegawai lulusan Administrasi/Manajemen Keuangan paling banyak ingin pindah (18,74 persen). Motivasi utama berpindah kerja adalah gaji yang lebih tinggi, seperti yang dialami Maya dan Bowo (31), yang gajinya kini masing-masing 4,5 dan 4 kali lipat dari gaji awal mereka.
Praktisi SDM, Vina Muliana, menyarankan pindah kerja sebaiknya dilakukan dengan interval 2-3 tahun untuk hasil maksimal. Selain gaji, generasi milenial dan Gen Z juga mempertimbangkan nilai-nilai perusahaan dan kenyamanan lingkungan kerja. Apakah strategi berpindah-pindah ini adalah cara terbaik untuk menuju puncak karier?
Baca kisah selengkapnya dalam artikel Meloncat-loncat, Cara Cepat Mencapai Puncak Karier
Bagaimana perjuangan para pencari kerja dalam mendapat pekerjaan?
Aulia (22), pencari kerja lulusan sarjana, hampir tiap hari mengirimkan lamaran. Total dalam setahun terakhir tidak kurang dari 250 lamaran sudah ia kirimkan. Ada pula Elisa Fransiska (26) yang sudah 300 kali mengirimkan lamaran sejak kelulusannya dari program S-1 tiga tahun lalu.
Meski mengantongi ijazah S-2 dari perguruan tinggi negeri ternama di Malang, Gabriella (26) juga masih harus terus berjuang setahun terakhir ini untuk mendapatkan kerja.
Para pencari kerja ini gigih terus mengirimkan lamarannya sembari terus mengembangkan diri dengan mengikuti berbagai pelatihan. Namun, hingga kini belum juga mendapat pekerjaan impian. Sesekali mereka bekerja serabutan untuk menambah penghasilan.
Dhean Juventius, Senior Recruitment Consultant di Bosshire, membagikan ”rahasia”-nya tentang profil calon pekerja seperti apa yang biasa dicari perusahaan.
Baca selengkapnya dalam artikel Mengejar Lowongan Kerja: 300 Kali Berharap, 300 Kali Kecewa
Bagaimana kondisi penciptaan lapangan kerja formal Indonesia selama 15 tahun terakhir?
Tim Jurnalisme Data Kompas membagi periode 15 tahun terakhir menjadi 3 bagian: periode 2009–2014, 2014–2019, dan 2019–2024.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah lapangan kerja formal yang tercipta selama 2009 hingga 2014 menyerap 15,6 juta orang. Lalu, selama 2014–2019, pekerjaan formal yang tercipta sebanyak 8,5 juta orang. Dan, terakhir, selama lima tahun terakhir atau 2019–2024, pekerjaan formal yang berhasil diciptakan hanya menyerap 2 juta orang.
Data ini menunjukkan adanya penurunan penciptaan lapangan kerja formal selama 15 tahun terakhir.
Apakah pengangguran bertambah ketika lapangan kerja formal kian sedikit?
Sebagian besar pekerja yang tidak terserap di sektor formal beralih ke sektor informal. Pada Februari 2024, proporsi pekerja di sektor informal mencapai 59,17 persen menurut data BPS.
Tren jumlah pekerja informal meningkat dalam 15 tahun terakhir. Pada periode 2009-2014, pekerja informal menurun 1,9 juta orang, tetapi selama 2014-2019 pekerja formal meningkat sebesar 4,9 juta orang, dan pada 2019-2024 jumlah pekerja informal bertambah menjadi 8,4 juta orang.
Situasi ini buruk bagi pekerja informal karena rata-rata upah mereka pada tahun 2023 adalah Rp 1,9 juta per bulan, lebih rendah dari upah pekerja formal yang sebesar Rp 3,1 juta per bulan.
Tim juga menemukan penurunan angka pengangguran yang melambat dalam 15 tahun terakhir. Pada periode 2009-2014, tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun sebesar 2,44 persen, pada 2014-2019 turun menjadi 0,72 persen, dan pada 2019-2024 hanya turun 0,16 persen.
Baca selengkapnya dalam artikel Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja
Bagaimana daya saing Gen Z lulusan SD dan SMP di dunia kerja?
Masih ada pencari kerja dari kelompok Generasi Z yang pendidikan tertingginya SMP, termasuk yang tidak tamat SD dan lulus SD. Jumlahnya pada 2022 sebesar 15,2 persen dari seluruh pencari kerja yang lahir pada periode 1997-2012.
Proporsi pencari kerja Generasi Z dengan latar belakang pendidikan tertinggi SMP tersebut bahkan lebih besar ketimbang Gen Z pencari kerja dari lulusan perguruan tinggi (12,1 persen). Hanya Gen Z lulusan SMA dan SMK yang jumlahnya lebih besar, yakni 72,5 persen dari total pengangguran pencari kerja berusia Gen Z.
Gen Z pencari kerja ini menyumbang angkatan kerja Indonesia yang memang masih didominasi oleh lulusan sekolah menengah pertama ke bawah, yakni 55,4 persen pada tahun 2022. Artinya, ada 79,6 juta orang berpendidikan paling tinggi SMP dari total angkatan kerja 143,7 juta orang.
Dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang rendah, tingkat kompetisi lulusan SMP/SD untuk langsung mendapat kerja di sektor kerja formal dalam setahun setelah lulus hanya 2,9 persen, berdasarkan analisis data mikro Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2022.
Baca selengkapnya dalam artikel Generasi Z Lulusan SD dan SMP Terpinggirkan di Dunia Kerja
Benarkah terjadi pergeseran dari sektor padat karya ke padat modal yang berarti mengurangi penciptaan lapangan kerja?
Terjadinya pergeseran dari industri padat karya ke padat modal yang tidak butuh banyak tenaga kerja sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir. Total kenaikan kontribusi sektor padat modal pada 2022 mencapai Rp 3.389 triliun dibandingkan kontribusi tahun 2017, sedangkan di sektor padat karya untuk periode yang sama, kontribusi hanya Rp 2.092 triliun.
Selain itu, selama periode 2007 hingga 2022, penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya mencapai 21,6 juta pekerja. Bandingkan dengan penyerapan di sektor padat modal yang hanya 13,7 juta pekerja. Pengelompokan sektor padat karya dan padat modal dilakukan dengan mengolah data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan jumlah pekerja formal.
Baca selengkapnya dalam artikel Selamat Tinggal Era Padat Karya?
Apakah kerja di luar negeri solusi untuk mengatasi sempitnya lapangan kerja di dalam negeri?
Kian menyusutnya serapan lapangan kerja sektor formal di dalam negeri menyebabkan tidak semua orang bisa menjadi buruh atau pegawai.
Mereka yang tidak masuk sektor formal akan mencari peluang di sektor informal dengan bekerja serabutan atau berwirausaha kecil-kecilan. Tidak sedikit pula yang mengadu nasib di luar negeri demi mengejar gaji yang lebih tinggi.
Menghadapi krisis lapangan kerja, pemerintah mendorong masyarakat untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Namun, biaya makelar membebani langkah pekerja migran.
Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2022 yang diolah Tim Jurnalisme Data Kompas, sebanyak 44,7 persen pekerja migran harus membayar biaya rekrutmen, dokumen, perizinan, tiket, asuransi, dan lain-lain yang mencapai Rp 5 juta. Namun, tidak sedikit yang membayar Rp 5 juta-Rp 10 juta (25,98 persen), Rp 10 juta-Rp 20 juta (13,95 persen), Rp 20 juta-Rp 40 juta (9,88 persen), bahkan di atas Rp 40 juta (5,49 persen).
Baca kisah selengkapnya dalam artikel Didorong Pemerintah, tetapi Tersandung Biaya Makelar
Apa saja kiat, tips, dan trik agar lebih mudah dapat pekerjaan, termasuk pekerjaan lepas?
Mendapatkan pekerjaan tidak hanya butuh ijazah sarjana. Meskipun saat ini sudah banyak yang tidak mementingkan ijazah, semua perusahaan pasti mencari kandidat yang menguasai keterampilan teknis dan sosial yang memadai sebagai pegawai mereka kelak.
Oleh karena itu, penting bagi pencari kerja meningkatkan kapasitas diri agar mampu bersaing di tengah persaingan ketat pasar kerja demi pekerjaan impian. Kualitas pencari kerja seperti apa yang dicari oleh perusahaan? Para pakar dan praktisi ini berbagi pandangan dan pengalamannya, mulai dari persiapan masuk pasar kerja hingga metode mendapatkan pekerjaan dari luar negeri.
Baca selengkapnya dalam artikel Modal untuk Cepat Dapat Kerja
Bagi pekerja, bagaimana menyiasati penghasilannya yang tergerus inflasi?
Punya pekerjaan tetapi pendapatan pas-pasan, membuat para karyawan ini berakrobat untuk menyiasati pemenuhan kebutuhan hidup. Besaran gaji yang setiap tahun tergerus inflasi juga semakin mendorong mereka mencari cara untuk menambal lubang pengeluaran. Salah satunya dengan mengambil pekerjaan sampingan.
Mengaku sebagai generasi sandwich, gaji Dewi Suryani sepertiganya untuk membantu orang tua. Untuk menambah penghasilan, ia mengambil sambilan dengan menyadur naskah dari website dunia hiburan Korea. Sambilan ini ia lakukan sebelum atau sepulang kerja. Kadang-kadang ia membantu temannya yang punya event organizer.
Ada pula Prasti yang tidak jarang begadang untuk menyelesaikan pekerjaan sambilannya berupa desain atau pengembangan web. Hasilnya untuk menambah pemenuhan kebutuhan anak.
Baca kisah lengkap mereka dalam artikel Pekerjaan Sambilanku Harapanku
Tidak kurang-kurang dorongan kepada masyarakat untuk berwirausaha. Namun, jalan terjal harus dilalui mereka yang berani terjun ke dunia usaha. Olahan data mikro Sakernas BPS 2022 menghasilkan, sebanyak 90,9 persen wirausaha Indonesia hanya memiliki rata-rata penghasilan per bulan sebesar Rp 1,6 juta.
Munculnya minat wirausaha belakangan banyak tumbuh dari kelompok pekerja berpenghasilan rendah, di bawah Rp 500.000. Proporsi mereka yang bersiap memulai usaha mencapai 0,9 persen, naik dibandingkan tahun 2012 yang hanya 0,3 persen. Persentase pada tahun 2022 ini juga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kelompok penghasilan lainnya.
Sebaliknya, terjadi penurunan pada kelompok pendapatan di atas Rp 10 juta yang sedang menyiapkan usaha, yakni hanya sebesar 0,2 persen pada 2022. Angka ini turun dari semula 1 persen pada tahun 2012.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto menilai, angka-angka tadi mengindikasikan bahwa upaya kewirausahaan di Indonesia banyak mengandung faktor keterpaksaan.
Baca kisah selengkapnya dalam artikel Kerja Tambahan Jadi Sekoci Pekerja
Pertumbuhan wirausaha muda tinggi, tetapi mengapa rasio kewirausahaan Indonesia rendah?
Wirausaha muda lulusan perguruan tinggi paling cepat pertumbuhannya di negeri ini. Data menunjukkan, pertumbuhan pengusaha dari kelompok lulusan perguruan tinggi rata-rata 10,4 persen per tahun selama 2007-2022. Akan tetapi, dari sisi jumlah, wirausaha lulusan perguruan tinggi masih kecil.
Peneliti Center of Reform on Economics, Eliza Mardian, mengatakan, meskipun ada pertumbuhan, rasio kewirausahaan Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Rasio kewirausahaan adalah perbandingan antara jumlah wirausaha dan jumlah penduduk. Ada salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya angka rasio itu.
Baca selengkapnya dalam artikel Anak Muda, Mana Keberanianmu?