Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja
Selama 15 tahun terakhir, penciptaan lapangan kerja di sektor formal terus menyusut.
[Tulisan 1 dari 12]
JAKARTA, KOMPAS — Penciptaan lapangan kerja formal selama 15 tahun terakhir semakin menurun. Jumlah pencari kerja yang terserap di sektor formal semakin sedikit. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak.
Hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Pekerja sektor formal yang dimaksud adalah mereka memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum.
Selama periode 2009-2014, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal menyerap sebanyak 15,6 juta orang. Jumlah ini menurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014-2019, dan kembali merosot pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang saja. Hal ini menunjukkan bahwa peluang masuk pasar kerja formal di Indonesia kian sulit, termasuk oleh lulusan baru (fresh graduate).
Di samping itu, ada pula hasil olah data yang menunjukkan bahwa generasi Z (lahir 1997-2012) lebih sulit mencari kerja. Data Sakernas Agustus 2017 dan Agustus 2022 memperlihatkan adanya penurunan jumlah serapan kerja dan penambahan durasi mendapatkan kerja yang dialami lulusan baru (fresh graduate) di semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam Sakernas, waktu kelulusan dan masa tunggu mendapatkan pekerjaan, dihitung sejak pelaksanaan survei pada bulan Agustus hingga setahun ke belakang.
Sebagai contoh, pada periode September 2016 hingga Agustus 2017, ada 5,8 juta orang yang lulus di semua jenjang pendidikan. Sebanyak 1,2 juta orang atau 21,9 persen di antaranya diterima kerja sebagai pegawai/buruh di sektor formal.
Sementara jumlah lulusan selama periode September 2021 hingga Agustus 2022 naik menjadi 7,1 juta. Akan tetapi dari jumlah itu, hanya 967.806 orang atau 13,6 persen di antaranya yang diterima bekerja di sektor formal.
Dengan demikian, mereka yang lulus pada 2022 atau masuk dalam kategori Generasi Z, tidak semudah generasi sebelumnya, yakni Generasi Y atau milenial (1981-1996), dalam mendapatkan kerja di sektor formal.
Pengangguran turun, pekerja informal naik
Meskipun terjadi penurunan serapan pekerja formal, angka pengangguran tidak tampak meningkat. Diperkirakan, ini karena mereka yang tidak terserap di sektor formal 'lari' ke sektor informal. Proporsi pekerja di sektor informal selama ini memang lebih dominan, misalnya, pada Februari 2024 mencapai 59,17 persen, seperti termuat dalam publikasi Berita Resmi Statistik BPS 6 Mei 2024.
Jumlah serapan pekerja informal juga cenderung meningkat. Pada 2009-2014, jumlah pekerja informal sempat turun 1,9 juta orang. Namun, pada 2014-2019, jumlah pekerja informal justru naik 4,9 juta orang, dan semakin melambung pada 2019-2024, naik 8,4 juta orang.
Dalam konteks pendapatan dan perlindungan ketenagakerjaan, pekerjaan formal dipandang lebih baik ketimbang pekerjaan informal. Publikasi Statistik Indonesia 2024 oleh BPS menyebutkan, rata-rata gaji pekerja formal pada tahun 2023 sebesar Rp 3,1 juta per bulan, sedangkan rata-rata upah pekerja informal Rp 1,9 juta.
Baca juga: Mengejar Lowongan Kerja: 300 Kali Berharap, 300 Kali Kecewa
Adapun tingkat pengangguran terbuka, sejak 15 tahun terakhir memang mengalami penurunan. Namun, bersamaan dengan penurunan serapan formal, kecepatan penurunan pengangguran juga melambat. Contoh, pada periode 2009-2014, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun 2,44 persen. Pada 2014-2019, penurunan TPT melambat menjadi 0,72 persen, dan pada 2019-2024 penurunan hanya 0,16 persen.
Publikasi BPS mencatat adanya pertambahan ”penduduk bekerja” sebesar 3,55 juta per Februari 2024, yang mencakup pekerja penuh (1,11 juta), setengah pengangguran (2,52 juta), dan pekerja paruh waktu (-0,08 juta). Terlihat bahwa pertambahan jumlah ”setengah pengangguran” lebih besar ketimbang ”pekerja penuh”.
Hasil olahan berbagai data ini, menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, menunjukkan lapangan kerja yang berkualitas masih kurang tersedia. Menurutnya, orang yang setengah menganggur sebetulnya tidak menemukan kesempatan pekerjaan yang baik.
Baca juga Lulusan Jurusan Apa yang Paling Cepat Dapat Kerja?
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto saat Diskusi Ekonomi Berdikari Antisipasi Indonesia terhadap Potensi Krisis Global yang digelar di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Ditambahkannya, meskipun angka pengangguran berkurang, hal itu bukan karena penciptaan pekerjaan yang ideal. ”Kita selalu dibuai dengan angka kuantitatif, tetapi kita tidak melihat detailnya seperti apa,” kata Teguh.
Sulitnya mencari pekerjaan dirasakan Taufik Adi (26), lulusan jurusan pendidikan agama Islam sebuah sekolah tinggi di Bekasi, Jawa Barat. Sejak lulus lima tahun lalu, hingga kini ia belum mendapatkan pekerjaan tetap yang diidamkan.
Taufik pernah mengajar di sebuah sekolah, tetapi karena penghasilannya terlalu sedikit, Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per bulan, ia berusaha mencari pekerjaan lain. Saat ini, sambil menunggu mendapat pekerjaan, ia membantu usaha ibunya berjualan buah-buahan, air mineral, dan pakaian, selain menekuni hobi berteater.
Baca juga: Selamat Tinggal Era Padat Karya?
Warga Bekasi ini sadar tak bisa terus-menerus melamar pekerjaan karena banyak perusahaan memberi batas usia pelamar maksimal 27 tahun. Setelah melewati batas usia itu, Taufik akan beralih merintis usaha dan kembali mengajar meski gajinya mungkin tidak akan terlalu besar. ”Sambil membantu usaha ibu,” ucap Taufik, saat diwawancarai pada Kamis (25/4/2024).
Kisah serupa dialami Winna (22), warga Tangerang Selatan, Banten. Setelah lulus SMA, ia berniat kuliah. Karena gagal menembus ujian masuk perguruan tinggi, ia beralih cari kerja. Namun, ia tak tahu harus berbuat apa. ”Bingung bagaimana cara melamar, tuh,” kata lulusan jurusan IPS sebuah madrasah aliyah di Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat.
Awalnya ia sama sekali tidak tahu cara membuat CV (curriculum vitae). Setelah mencari tahu di internet, ia memberanikan diri melamar secara daring. Selama setahun pertama ia melamar ke 4-5 perusahaan. Info lowongan diperoleh dari Jobstreet, Instagram, dan Whatsapp. Namun, tidak ada satu pun yang merespons.
Setahun lebih Winna menganggur sampai akhirnya tantenya mengajak kerja menjaga stan pameran. Sang tante punya usaha produksi tas daur ulang. Sebulan bisa 4-5 kali pameran dengan durasi sehari hingga beberapa hari. ”Tugasnya menawarkan barang, melayani calon pembeli,” kata Winna.
Ia memperoleh Rp 125.000 per hari untuk kerja dari pukul 09.00-15.00 plus satu kali makan dan tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi ke lokasi pameran. Di sela-sela itu, ia tetap mengirimkan lamaran. Ia belajar memperbaiki CV dan sempat mendapat panggilan wawancara. Winna sebenarnya sempat dua kali mendapat pekerjaan, tetapi hanya bertahan beberapa bulan karena kerjanya dirasa terlalu berat sementara gajinya jauh lebih kecil.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengakui, proporsi pekerja di sektor informal saat ini lebih tinggi ketimbang sektor formal. Menyusutnya lapangan kerja di sektor formal pada 2019-2024, menurutnya, akibat pandemi. Dampaknya, ada pekerja yang harus dikurangi jam kerjanya, ada yang dirumahkan sementara, bahkan ada yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kami tetap berusaha memperbesar lapangan pekerjaan di sektor formal karena pekerja lebih terlindungi dari aspek sosial ketenagakerjaan. (Anwar Sanusi)
Salah satu upayanya adalah dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mau memberikan pelatihan atau pendidikan vokasi berupa praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran. Proses magang berguna untuk kesiapan pelajar atau mahasiswa terjun ke dunia kerja.
Posisi pekerja di sektor formal dinilai lebih terjamin karena aspek pengupahan, pengaturan kerja, dan perlindungan sosial ketenagakerjaan dilindungi oleh undang-undang, termasuk soal jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
Pekerja di sektor ini mendapatkan uang tunai, informasi pasar kerja, dan pelatihan jika mengalami PHK. Sementara pekerja sektor informal lebih lemah karena mereka tidak masuk kelompok penerima upah sehingga tidak mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan yang cukup.
Perizinan rumit
Perizinan rumit hingga pungutan liar yang membuat perusahaan enggan berinvestasi, dinilai sebagai salah satu faktor yang memengaruhi turunnya serapan tenaga kerja formal, seperti disampaikan pengajar Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noor Effendi. Akibatnya, sejumlah potensi investasi asing gagal terealisasi di Indonesia.
Mengutip berbagai pemberitaan, Tadjuddin mengungkapkan adanya 33 perusahaan dari China yang memindahkan usahanya ke negara-negara Asia Tenggara, 23 di antaranya ke Vietnam, sisanya tersebar di Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Malaysia. Tidak ada satu pun yang ke Indonesia.
Pengurusan izin yang sulit, kondisi politik yang tidak stabil, dan kompetensi tenaga kerja yang relatif lebih rendah membuat iklim investasi Indonesia dipandang kurang menarik.
”Ada kebijakan yang menyebabkan investasi asing enggan masuk Indonesia, antara lain pengurusan izin yang cukup sulit dan butuh waktu 1-2 tahun. Padahal, masuk Vietnam, hanya satu minggu selesai,” kata Tadjuddin.
Sementara pekerjaan sektor informal, ungkap Tadjuddin, meskipun banyak menyediakan lapangan kerja, kecil kontribusinya terhadap ekonomi makro. Ini karena kebanyakan tidak membayar pajak, hanya retribusi, mengingat penghasilannya belum kena pajak.
Selain itu, pekerjaan di sektor informal, meskipun sangat membantu orang bertahan hidup, dalam jangka panjang belum tentu bisa menekan kemiskinan. Ini karena hasil dari sektor informal biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.
Kalau untuk mencegah terjadinya kriminalitas bisa, tapi kalau kemiskinan belum tentu.
Untuk itu, menurut Tadjuddin, pemerintah perlu mendorong pelaku sektor informal yang sebagian besar UMKM agar naik kelas sehingga pendapatannya membesar dan masuk wajib pajak. ”Iklim usaha diperbaiki, peraturan yang tidak efisien dikurangi. Pada akhirnya ini akan mendorong penciptaan lapangan kerja,” kata Tadjuddin.