Peresepan antibiotik di rumah sakit berjalan tanpa pengawasan. Terjadi pelanggaran aturan yang membahayakan pasien.
Oleh
INSAN ALFAJRI, ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Tim Investigasi Harian Kompas mengungkap terjadinya pelanggaran aturan pengendalian antibiotik di sejumlah rumah sakit. Penggunaan antibiotik di rumah sakit mestinya diawasi melalui Program Pengendalian Resistensi Antimikroba atau PPRA. Namun, Komite PPRA di sejumlah rumah sakit tidak berjalan. Mereka ada secara formal, tetapi kegiatannya tak berjalan sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah.
Tim pengendali antibiotik ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di Rumah Sakit. Hingga kini masih ada saja rumah sakit yang tak patuh pada aturan itu. Prinsip keselamatan pasien (patient safety) dalam sistem layanan rumah sakit jadi terabaikan.
Hasil penelusuran pada sepuluh rumah sakit di lima provinsi, Tim Investigasi Harian Kompas mengungkap terjadinya pelanggaran aturan pengendalian antibiotik. Penelusuran dilakukan dengan mendatangi semua rumah sakit itu, menemui dokter, dan mengonfirmasi kepada pihak manajemen rumah sakit. Tim juga mengecek dokumen-dokumen PPRA di setiap rumah sakit.
Penelusuran tim pada sejumlah dokumen mengungkap, sejumlah rumah sakit tak mempunyai Tim Penatagunaan Antimikroba (Tim PGA) dalam struktur Komite PPRA yang diterbitkan manajemen rumah sakit. Rumah sakit yang dimaksud, di antaranya, ialah RS Umi Barokah di Boyolali, Jawa Tengah; Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bung Karno di Solo, Jawa Tengah; dan RSUD Depati Hamzah di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung.
Nihilnya Tim PGA dalam struktur PPRA merupakan pengingkaran rumah sakit terhadap panduan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan bakteri-kebal. Tahun 2021, Kementerian Kesehatan menerbitkan Panduan Penatagunaan Antimikroba di Rumah Sakit. Dalam panduan itu, rumah sakit diminta membentuk Tim PGA untuk memperkuat fungsi Komite PPRA yang sudah ada sejak 2015.
Tim PGA yang berisi gabungan dokter spesialis dan apoteker bisa mencegah pemberian antibiotik yang serampangan. Sebab, dokter yang ingin meresepkan antibiotik golongan tinggi harus mendapat izin dari mereka.
Komite PPRA yang tak memiliki Tim PGA ibarat harimau ompong. Sebab, tugasnya sebatas menyosialisasikan kepada dokter tentang penggunaan antibiotik, mencatat penggunaan antibiotik, memetakan bakteri yang masih sensitif dan sudah kebal terhadap antibiotik (peta kuman), lalu melaporkannya kepada manajemen rumah sakit.
Tanpa dukungan
Ironisnya, Komite PPRA tanpa Tim PGA tidak mendapat dukungan penuh dari manajemen. Ini tergambar dalam dokumen laporan PPRA Rumah Sakit Umi Barokah 2023. Halaman 10 laporan ini memuat kendala kegiatan PPRA, antara lain belum ada dukungan anggaran yang nyata dari manajemen rumah sakit serta tak adanya ruangan (kantor) untuk Komite PPRA.
Tempat (kantor) sudah diminta, tetapi belum (dikasih). Sama pelatihan juga. Yang ikut pelatihan PPRA baru satu nakes, dan beliau lagi cuti. Nadia Rahmawati
Direktur RS Umi Barokah Dwi Rakhmawati saat dikonfirmasi menyebut temuan tersebut jadi bahan perbaikan ke depan. Dia juga akan memantau dan mengevaluasi kinerja Komite PPRA di rumah sakit. ”Dengan pendekatan holistik dan terintegrasi, diharapkan RS dapat mengatasi kendala teknis mengingat pentingnya kinerja Komite PPRA dalam mengendalikan resistensi antimikroba,” katanya, Selasa (12/3/2024).
Situasi serupa terjadi di RSUD Depati Hamzah sebagaimana diakui Ketua Komite PPRA setempat Ratna Setia Asih. Ditemui Senin (26/2/2024), Ratna menyatakan pernah berencana menyusun peta kuman tahun 2021. Peta kuman adalah informasi tentang bakteri kebal serta bakteri yang masih sensitif terhadap antibiotik di sebuah rumah sakit.
Ketika itu, manajemen rumah sakit menganggarkan Rp 50 juta untuk penyusunan peta kuman. Namun, rencana ini batal dan rumah sakit tak punya peta kuman hingga sekarang. ”Ketika itu terkendala karena anggarannya digunakan untuk kepentingan lain,” ujarnya.
Peta kuman
Tanpa peta kuman, dokter seperti bertempur dalam gelap saat mengobati penyakit infeksi karena mereka tak tahu persis pola bakteri pemicu pasien sakit. Peta kuman pun menjadi syarat pembuatan panduan penggunaan antibiotik (PPAB), seperti diatur dalam Permenkes No 8/2015.
Hasil penelusuran Kompas, ada rumah sakit yang mempunyai PPAB, tetapi terindikasi tak disusun sesuai ketentuan. Tim menemukan kasus ini di RSUD Bung Karno, Solo. Dalam dokumen peta kuman RSUD Bung Karno tahun 2022 dan 2023 yang didapat Kompas, terlampir keterangan ”Jumlah sampel (tes kultur) yang diambil masih belum layak diimplementasikan sebagai dasar pemberian terapi empiris”. Terapi empiris menjadi pijakan penggunaan antibiotik (golongan access) pada penyakit infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya, seperti diatur dalam PPAB.
Seharusnya rumah sakit ini belum bisa menyusun PPAB karena belum memenuhi syarat penyusunan peta kuman. Namun, kepada Kompas, pihak manajemen rumah sakit tetap mengirimkan dokumen yang diklaim sebagai PPAB.
Dokumen setebal 20 halaman itu berjudul Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi di RSUD Bung Karno Tahun 2022. Dari penjudulan sudah sesuai dengan yang disyaratkan Permenkes No 8/2015. Namun, dari segi isinya, PPAB Bung Karno tidak memuat diagnosis penyakit serta antibiotik yang bisa dipakai untuk mengobatinya. Padahal, ini adalah substansi utama PPAB yang diatur dalam Permenkes No 8/2015 itu.
Kompas mengirimkan dokumen PPAB RSUD Bung Karno kepada seorang dokter spesialis mikrobiologi klinik yang aktif mengadvokasi pengendalian antibiotik di Indonesia. Setelah membaca dokumen itu, dia merespons, ”Kalau sebuah PPAB tidak ada nama-nama antibiotiknya, kemudian tidak ada diagnosanya, maka tidak mungkin disebut sebagai PPAB,” ujar dokter itu.
Berikutnya, Kompas juga mendapati ketidakkonsistenan RSUD Bung Karno dalam menjalankan kegiatan PPRA. Pada Laporan PPRA Agustus-Oktober 2022 disebutkan rumah sakit belum melaksanakan audit kualitas penggunaan antibiotik. Namun, kegiatan ini dilakukan dan terlampir dalam Laporan PPRA April-Juni 2020.
Audit kualitas penggunaan antibiotik menjadi krusial dari kegiatan PPRA. Sebab, audit tersebut akan menentukan apakah dokter di rumah sakit tersebut sudah meresepkan antibiotik secara rasional atau belum. Kompas mengklarifikasi berbagai temuan di atas kepada Direktur RSUD Bung Karno Sri Rahayu Susilowati, Senin (11/3/2024).
Tiga hari kemudian, Sri membalas, ’Kok seperti audit ya.’
Sri Rahayu lalu meminta Kompas mengonfirmasi ke Kepala Seksi Pelayanan Medis RSUD Bung Karno Lilik Prabowo. Lilik kemudian membenarkan, dokumen PPAB yang mereka miliki sebenarnya mencontoh dari rumah sakit lain. ”Kami saat itu karena tergesa-gesa dan dikejar deadline (proses akreditasi rumah sakit), jadi memang tidak sesuai persis,” kata Lilik.
Penelusuran Kompas tentang PPRA yang belum berjalan di rumah sakit sejalan dengan riset Kementerian Kesehatan yang saat ini masih berlangsung. Riset bertajuk Survei Nasional PPRA di Indonesia (NASPA Project) ini dipimpin dokter spesialis penyakit dalam Robert Sinto. Ditemui di ruang kerjanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Senin (5/2/2024), Robert Sinto menjelaskan, total sampel yang diambil ialah sebanyak 516 rumah sakit. Sampel ini dianggap cukup mewakili 3.000-an rumah sakit yang ada di Indonesia.
Hasil riset menunjukkan, hanya 11 persen dari sampel rumah sakit yang PPRA-nya bisa masuk kategori paling tinggi atau ”advance”. Kategori ”advance”, menurut Robert, artinya PPRA di suatu rumah sakit sudah didukung penuh manajemen. Kemudian sudah memiliki PPAB dan dilengkapi infrastruktur pendukung, seperti laboratorium mikrobiologi klinik untuk memeriksa tes kultur bakteri.
”Sementara skor paling rendah ada sekitar 8 persen. Rendah ini, ya, kira-kira PPRA-nya hanya ada SK-nya doang. Sisanya masuk kategori moderat,” ujarnya.