”Industrio-Medical Complex” Makin Kompleks
Kolusi antara dokter dan industri farmasi telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Pasien yang menanggung akibatnya.
Pengantar redaksi: Tulisan ini merupakan arsip Kompas yang pernah diterbitkan 24 tahun lalu, tepatnya pada Rabu, 22 November 2000. Artikel ini ditayangkan kembali secara digital dalam rangka melengkapi rangkaian laporan investigasi Kompas yang akan turun pada Senin (25/3/2024) tentang penyalahgunaan antibiotik yang telah berlangsung sejak lama serta ancaman kesehatannya. Tulisan ini memberi tambahan latar belakang pengetahuan tentang fenomena peresepan obat yang tidak rasional di kalangan kedokteran sendiri.
Kalau akhir dekade tahun 1970-an hingga awal dekade tahun 1980-an para dokter harus dirayu oleh industri farmasi agar mau meresepkan obat-obat mereka, kini industri farmasi mulai kewalahan menghadapi ”pemerasan” para dokter. Industri farmasi yang lihai mengontrak para dokter mulai dari menawarkan komisi uang, berlian untuk para nyonya dokter, hingga menyervis dengan kamar hotel dan cewek, terbukti memang merajai pasaran. Padahal, obat-obat produknya hanyalah obat-obat jiplakan alias latah (me-too drugs) yang tidak membutuhkan riset.
Sekitar sebulan yang lalu, seorang mantan supervisor detailman (sekarang disebut sebagai medical representative atau medrep) sebuah industri farmasi swasta nasional menelepon ke Redaksi Kompas. Pria itu menyatakan ia punya bukti-bukti tanda terima komisi resep obat-obat produk pabriknya untuk para dokter. Ia menanyakan apakah ada peraturan dan sanksi hukum bagi praktik ”kolusi” atau mengontrak dokter semacam itu. Jawabnya, sulit mengajukan tuntutan hukum baik kepada industri farmasi maupun para dokter yang menerima komisi. Yang ada hanyalah sanksi moral karena ini merupakan pelanggaran etika profesi, terutama oleh para dokter.
Lalu, bagaimana dengan industri farmasi yang melakukan praktik pemasaran tidak etis bagi obat-obat ethical-nya? Paling banter juga hanya sanksi moral karena walaupun pernah ada Memorandum Kesepahaman antara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan Gabung Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) untuk tidak menghalalkan praktik kontrak-mengontrak dokter, kenyataannya praktik itu terus berlangsung.
”Saat ini, masalah unethical promotion sedang hangat kita bahas, terutama di Dewan Penasihat GP Farmasi. Ini memang harus ada upaya untuk mengurangi seminimal mungkin,” demikian tulis Darodjatun, Direktur Utama PT Kimia Farma yang juga Ketua Dewan Penasihat GP Farmasi.
Dikatakan promosi tidak etis yang dilakukan industri farmasi di Indonesia kini sudah menjadi beban bagi kalangan industri farmasi itu sendiri. ”Dahulu, dokter diiming-iming dengan sampel obat yang lalu dibuat arisan oleh para dokter. Setelah sampel obat dilarang, sekarang gantinya boleh apa saja, dan biayanya malah jauh lebih mahal. Sampel, walaupun sering disalahgunakan, masih ada unsur profesionalnya selain biayanya yang relatif masih murah,” ujar Darodjatun.
Pendapat senada dikemukakan Gunawan Pranoto, Presiden Direktur PT Indofarma yang juga Ketua Majelis Kode Etik GP Farmasi. ”Kita semua sudah tahu tentang promosi tidak etis itu karena sudah bukan rahasia lagi. Betapa pun fenomenanya tetap menarik, ternyata justru industri yang melakukan praktik promosi tidak etis seperti itu majunya, kok, lebih cepat dari yang lain. Faktanya begitu. Saya tidak menyebut nama, tetapi faktanya begitu sehingga banyak orang melakukan begitu. Yang begitu saja tak diapa-apakan, jadi mereka ikut dan ternyata lebih maju serta masuk dalam top twenty,” katanya.
Gunawan mengibaratkan industri farmasi yang menjalankan promosi tidak etis sebagai orang yang naik macan. ”Kalau sudah naik macan, susah turunnya, karena begitu turun habislah dia dimakan. Nah, sekarang tinggal keberanian turun dari macan,” katanya pula.
Lain lagi pendapat Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Sampurno. Tentang kerasionalan penggunaan obat hingga kini masih tetap menjadi isu strategis. ”Ada sebuah paradoks. Di satu sisi harga obat meningkat selama krisis, sementara daya beli masyarakat menurun. Di pihak lain peresepan obat oleh para dokter tidak sedikit yang tidak rasional. Akibatnya, selain membebani keuangan konsumen, juga punya risiko kesehatan,” katanya.
Ia menyayangkan rumah sakit pendidikan di Indonesia justru menjadi tempat mengajarkan preskripsi atau peresepan yang tidak rasional. Padahal, rumah sakit pendidikan di negara maju adalah tempat edukasi dan introduksi kerasionalan obat bagi para dokter muda atau calon dokter. ”Karenanya, diperlukan audit kerasionalan resep, dan ini yang melakukan bukan pemerintah, tapi organisasi profesi. Pertanyaan saya, sampai seberapa jauh ada keberanian profesional untuk melakukan audit profesi ini,” ujarnya.
Ia menyayangkan rumah sakit pendidikan di Indonesia justru menjadi tempat mengajarkan preskripsi atau peresepan yang tidak rasional.
Terjadinya perang kontrak-mengontrak dokter di kalangan industri farmasi, menurut Gunawan Pranoto, sebenarnya merupakan manifestasi perang diskon untuk obat-obat resep, terutama yang tergolong obat latah (me-too drugs) atau obat-obat generik bermerek (branded generic drugs). Diskon tidak diberikan kepada apotek, tetapi kepada para dokter yang meresepkan obat-obat ethical jiplakan itu. Karena diperlakukan sebagai komoditas, obat-obat generik bermerek yang sebenarnya harganya murah tetapi dijual dengan harga berlipat kali bahkan tak jauh berbeda dengan obat-obat asli yang dijiplaknya, maka obat-obat asli buatan industri PMA sebagai produk yang mengandalkan pada persaingan terapeutik menjadi kalah dalam persaingan.
Contoh paling klasik di Indonesia adalah obat tukak lambung Zantac yang berbahan aktif ranitidin buatan Glaxo ketika masuk ke pasaran sudah didahului oleh produk seperti Rantin buatan Kalbe Farma. Obat yang amat laris di pasaran internasional itu tak berdaya menghadapi saingan lokalnya yang harganya hanya sedikit lebih murah.
Margin keuntungan yang besar untuk obat-obat latah ini, yang sebagian besar diproduksi oleh industri swasta nasional (PMDN), membuat industri ini memiliki keleluasaan amat besar untuk memberi komisi kepada para dokter atas nama anggaran promosi. Demikian besarnya keuntungan industri obat-obat jiplakan ini membuat para pemiliknya lalu melakukan divestasi ke sektor lain, seperti properti, perbankan, makanan, perdagangan perhiasan, dan perhotelan.
Tak mengherankan jika dalam jajaran 20 besar industri farmasi di Indonesia ada empat industri PMDN yang menduduki peringkat lima besar untuk total penjualan obat-obat resep dan obat-obat bebas pada semester I tahun 2000, yaitu Kalbe Farma (peringkat 1), Sanbe Farma (2), Tempo Scan (3), dan Dexa Medica (5), plus Konimex yang merajai pasaran obat bebas di peringkat empat. Sementara di bawah mereka berlima baru tampil industri PMA, seperti Bristol Myers Squibb, Medi Farma, Hoechst (kini Aventis), dan Novartis. Masih ada Bintang Toedjoe (peringkat 7), Kimia Farma (8), dan Indo Farma (15).
Industri farmasi PMDN umumnya tidak membutuhkan dana riset dan pengembangan karena tinggal membeli bahan baku dengan harga jauh lebih murah dari harga bahan baku obat aslinya di negara-negara penjiplak (dahulu negara-negara sosialis atau komunis di Eropa Timur, India, atau RRC). Industri farmasi multinasional yang dengan susah payah melakukan riset berbiaya mahal untuk menemukan suatu obat baru harus mengumumkan nama kimia obat tersebut sehingga gampang untuk dijiplak.
Para penjiplak bahan baku tidak peduli dengan soal hak paten dan hak atas kekayaan intelektual (Haki). Begitu pula industri farmasi yang memproduksi obat-obat latah tadi, yang tinggal menciptakan merek-merek dagang hebat dan menggenjot promosi agar obat mereka diresepkan.
Tinggallah pasien dan konsumen menggadaikan nyawa dan nasibnya ke tangan dokter karena tak memiliki daya untuk memilih obat yang harus dipakai.
APA yang dinyatakan supervisor detailman industri farmasi swasta nasional pada awal tulisan ini adalah ulangan dari apa yang terjadi pada tahun 1984. Hanya bedanya waktu itu supervisor detailman industri farmasi PF membuka bukti-bukti kontrak-mengontrak dokter yang dilakukan perusahaannya kepada pers. Dokter yang dikontrak diberi komisi yang besarnya dihitung dari kopi resep yang dibuatnya. Terjadilah kehebohan besar. Citra profesi kedokteran yang luhur tercoreng-moreng.
Akhir tahun 1986, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan, yang waktu itu dijabat oleh Dr Midian Sirait, membentuk Tim Pengkajian Harga Obat dan Rasionalisasi Penggunaan Obat. Salah satu hasilnya setengah tahun kemudian lahirlah Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 437 Tahun 1987 yang melarang pembagian contoh atau sampel obat oleh industri farmasi kepada para dokter.
Dokter yang dikontrak diberi komisi yang besarnya dihitung dari kopi resep yang dibuatnya.
Ketua Umum PB IDI waktu itu, dr Kartono Mohamad, menyatakan industri farmasi tak perlu khawatir kehilangan kontak dengan dokter. Modus kontak bisa diwujudkan dengan membantu IDI melaksanakan Pendidikan Dokter Berkelanjutan (CME) berupa seminar atau cetakan materi penyegaran atau tambahan ilmu bagi para dokter yang akan dihargai dengan satuan kredit partisipasi (SKP), dan bukan seminar-seminar mewah di hotel-hotel besar.
CME dan SKP memang hingga kini terus berlanjut. Namun, kontrak-mengontrak para dokter pun bukan hanya terus berlanjut, malah berlangsung kian canggih. Cukup banyak dokter senior, umumnya para dokter spesialis yang laris, tak malu-malu minta disponsori untuk mengikuti seminar di luar negeri bersama anak dan istri mereka dengan tiket pesawat kelas satu.
Ada pula dokter yang terang-terangan minta disediakan wanita penghibur dan kamar hotel bintang lima.
Celakanya, ada industri farmasi swasta nasional yang amat kreatif dengan merekrut wanita-wanita belia untuk menjadi barisan detailman, dan sebagian dari mereka tak menolak ajakan kencan para dokter. Industri farmasi itu malah memiliki hotel sendiri yang bisa dipakai memberi entertainment komplet kepada para dokter.
Lebih canggih lagi, industri farmasi itu punya bisnis perhiasan, dan para istri dokter senior diiming-iming untuk memperoleh kalung, cincin, gelang, dan anting-anting berlian, asalkan suami mereka mau setia meresepkan obat-obat buatan industri tadi. Daripada mentransfer uang belasan juta rupiah, lebih ekonomis menggantinya dengan berlian yang harga dan kualitasnya amat relatif serta hanya dipahami oleh mereka yang benar-benar ahli.
Cukup banyak dokter senior, umumnya para dokter spesialis yang laris, tak malu-malu minta disponsori untuk mengikuti seminar di luar negeri bersama anak dan istri mereka dengan tiket pesawat kelas satu.
Praktik kolusi industri farmasi dan para dokter ini lazim disebut sebagai industrio-medical complex. Tahun 1983, ketika dikukuhkan menjadi guru besar FK UI, Prof dr Iwan Darmansjah sudah menyuarakan keprihatinan mengenai praktik kolusi ini. ”Ini sudah cerita kuno walaupun masih terus berlangsung dari dulu hinga sekarang. Kuncinya terletak di dokter. Di sini IDI dan fakultas kedokteran memiliki peranan penting. Namun, peranan regulator seperti Ditjen POM tak kalah pentingnya,” katanya.
Prof Iwan menyebutkan contoh di Amerika Serikat ada kewajiban dokter yang melakukan uji klinis suatu obat dan kemudian mempresentasikannya dalam sebuah seminar harus membuat pernyataan etis bahwa ia tidak dikontrak oleh pabrik obat tertentu. Selain itu, ada pula panitia penilai kerasionalan resep dokter yang dibentuk oleh ikatan dokter di sana.
”Di sini yang terjadi justru irasionalitas dalam pembuatan resep oleh para dokter. Anak yang flu diberi antibiotik. Selain merupakan pemborosan yang tak perlu, ini juga akan membuat daya tahan pasien menjadi turun. Antibiotik lapis pertama, seperti penisilin, sudah ditinggalkan, digantikan antibiotik terbaru yang mahal-mahal, yang membuat kuman akan makin cepat kebal terhadap obat yang ada. Sementara penisilin di negara-negara barat hingga kini masih dipakai,” tutur Prof Iwan.
Belum adanya perubahan bermakna dalam penanganan kontrak- mengontrak dokter oleh industri farmasi dari tahun 1980-an hingga sekarang, menurut dr Frans Tshai, adalah juga kesalahan industri farmasi sendiri. Dokter yang pernah cukup lama bekerja di Ciba-Geigy dan pernah pula menjadi direktur eksekutif GP Farmasi ini menyatakan bahwa hingga awal tahun 1980-an kebanyakan dokter masih idealis.
”Tetapi, kemudian datang cekokan ini dan cekokan itu. Satu industri bilang kalau gua enggak kasih bakal kalah saingan, apa boleh buat, ya, terpaksa pura-pura kasih juga. Akibatnya sekarang tercipta kelompok dokter yang telanjur besar dan manja, lalu Anda dapat melakukan apa?” ujarnya.
Dikatakan, ketika ia menjadi Direktur Eksekutif GP Farmasi awal tahun 1990-an, ada perjanjian antara PB IDI dan GP Farmasi untuk menertibkan praktik-praktik kolusi ini, tetapi tidak banyak mendatangkan hasil karena tidak ada yang menindaklanjuti.
”Selama negara berada dalam perkembangan ekonomi yang baik, industri farmasi banyak digoyang. Giliran negara amburadul seperti sekarang, industri farmasi malah tenang-tenang saja tidak digoyang lagi karena urusan yang lebih besar lebih banyak. Nah, ini masa yang harus dipakai oleh industri farmasi untuk membenahi diri sehingga pada masa negara kita membaik nanti kondisi industri farmasi kita juga akan lebih sehat,” kata dr Tshai.
Ketua Umum GP Farmasi Anthony Ch Sunarjo menyatakan, perubahan tak mungkin dilakukan dalam sekejap. Ia meyakinkan bahwa organisasi yang dipimpinnya sungguh-sungguh berniat untuk menjadi agen perubahan (agent of change). Ia juga melihat Ditjen POM kini sudah mulai ada perubahan dan keterbukaan.
”Yang menjadi soal utama adalah mengubah paradigma pemilik industri obat, dan ini adalah hal yang sulit. Mulai tanggal 1 Januari 2001 nanti kami merencanakan industri farmasi anggota GP Farmasi harus mengikuti standar promosi yang disepakati bersama,” katanya.
Mengenai hal ini, KAI Selomulya yang pernah menjadi Presiden Direktur PT Upjohn Indonesia dan kini aktif di GP Farmasi merinci bahwa sejauh ini ada sekitar 50 industri farmasi Indonesia yang telah menandatangani Kode Etik Pemasaran dan Promosi Obat yang dibuat oleh GP Farmasi.
”Mereka akan diberi plakat dan sertifikat semacam ISO serta akan diiklankan. Dengan cara ini diharapkan industri farmasi yang belum menandatangani mau melakukan hal yang sama dan tidak lagi melakukan cara-cara promosi yang tidak etis,” tuturnya.
Selomulya yakin industri farmasi Indonesia masih dapat dibenahi, selain dengan regulasi juga memerlukan komunikasi dan kepemimpinan yang baik. Perubahan atau reformasi hanya dapat dilakukan secara evolusioner, tak mungkin secara drastik. Ini sesuai dengan evolusi industri farmasi sendiri yang pada tahun 1970-an diawali dengan hadirnya salesman industri farmasi PMA.
Tahap pertama adalah berorientasi pada produksi, disusul orientasi pada penjualan, lalu orientasi pada pemasaran yang disertai promosi. Tahap keempat adalah ditentukan oleh pasar (market driven) yang ditandai dengan berkuasanya toko obat. Tahap kelima adalah situasi yang ditentukan oleh konsumen (customer driven), mulai dari munculnya fenomena pemasaran multilevel (MLM) dan e-commerce.
Prof Iwan tetap skeptis dengan niat GP Farmasi untuk melakukan reformasi. ”Industri farmasi selama ini untungnya kelewat banyak. Mereka yang bekerja di industri farmasi menikmati hubungan mesra dengan dokter, karena mereka sendiri bisa ke mana-mana atas nama promosi obat. Lihat saja siapa penumpang pesawat domestik maupun luar negeri. Hampir dapat dipastikan selalu ada penumpang staf atau pimpinan industri farmasi,” katanya.
Lain lagi dengan pendapat Hanny Moniaga yang pernah 26 tahun berkecimpung di dunia bisnis farmasi mulai dari tingkat detailman hingga direktur sebuah industri PMA.
”Dalam banyak hal, dokterlah yang paling banyak diuntungkan oleh industri farmasi atau jasa kesehatan di Indonesia. Faktanya, dokter dapat menentukan obat, laboratorium, bahkan pasien harus dirawat di mana sesuai dengan yang dipilihnya, dan mereka memperoleh bayaran atau komisi dari segala penjuru, mulai dari rumah sakit, laboratorium, apotek, pedagang besar farmasi kalau tender, pabrik farmasi hingga dari pasien sendiri. Pendeknya ada enam kelompok yang menjadi sapi perah para dokter. Itu pun tidak ada jaminan sembuh, lho. Kalau pasien mati pun amat jarang dokternya datang menyampaikan dukacita, sementara tagihan tetap harus dibayar pasien,” ujarnya.
Oleh karena itu, mengubah sesuatu yang bobrok, menurut Moniaga, harus mulai dari institusinya. ”Harus ada pendekatan kepada pimpinan baru organisasi profesi yang kini mestinya lebih muda dan diharapkan tidak meniru seniornya yang kebablasan. Kita perlu lobi kembali untuk membawa ke tatanan baru. PB IDI harus lebih punya power untuk memberikan penalti anggotanya yang nakal. Industri farmasi perlu ramai-ramai kompak untuk tidak mau lagi diperas dokter. Caranya, harus membuat pola tata cara promosi yang dibolehkan asosiasi, kalau mangkir izin registrasinya dicabut,” kata Hanny Moniaga.
Tentang fakta bahwa Lima Besar industri farmasi Indonesia yang ditempati oleh industri PMDN, Moniaga melihat ini sebagai cara mengontrak para dokter yang menghalalkan segala cara, kalau perlu dengan cara ”pemerasan” (blackmail).
”Cara ini afdal karena dokter tentu ngeri juga jika datanya nanti dibuka keluar. Jadinya, ini kontrak yang murah meriah. Ini kombinasi cara mafioso Italia, dengan memberi entertainment di hotel atau tawaran perhiasan, biaya sebenarnya lebih kecil dibanding mentransfer uang langsung ke rekening para dokter,” ujarnya.
Kalau toh ada sumpah serapah, industri farmasi justru perlu melemparkannya kepada para dokter yang biasa memeras. Menurut Hanny Moniaga, ia pernah meneliti 50 dokter spesialis yang disponsori tiket ke kongres di luar negeri.
Ternyata daya ikat dan komitmen mereka terhadap industri farmasi PMA yang mensponsori mereka amat kecil. Para dokter ini malah sering lupa nama produk obat industri yang mensponsori mereka tadi. Sementara kontrak dari industri PMDN terus diterima, dan omzet industri PMA tetap saja tidak terkatrol.
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kini konsumen dan pasien tidak perlu lagi tinggal diam. Ia dapat meminta keterangan dari para dokternya mengapa ia diberi resep dari pabrik obat tertentu. Konsumen harus diberi keleluasaan yang lebih besar untuk meminta obat generik, dan membiarkan konsumen memilih obat sesuai dengan kemampuannya, apakah obat itu buatan BUMN, PMDN, atau PMA.
Namun, selama pembiayaan kesehatan oleh masyarakat Indonesia masih harus membayar untuk setiap pelayanan yang diterimanya atau pola fee for service, posisi pasien atau konsumen masih akan selalu lemah. Nasib pasien akan selalu ditentukan oleh pena dan resep dokter yang menentukan obat-obat ethical.
Situasi inilah yang selalu rentan untuk disalahgunakan baik oleh dokter ataupun industri farmasi. Solusi yang lebih struktural adalah asuransi kesehatan yang akan mengontrol pemborosan yang tak perlu, obat-obat yang irasional, dan standar medis yang adekuat, tetapi profesional.