Bekerja di sektor pertanian dan perikanan menghadapi situasi sulit. Beralih kerja menjadi pilihan untuk bertahan hidup.
Oleh
MELATI MEWANGI, MARGARETHA PUTERI ROSALINA, M PASCHALIA JUDITH J
·5 menit baca
Anomali iklim menyulitkan mereka yang bekerja sebagai nelayan dan petani. Situasi ini mendorong mereka untuk pergi ke kota besar hingga banting setir ke bidang lain yang lebih menghasilkan. Dalam hal ini, keterlibatan pemerintah dinanti agar masyarakat semakin adaptif.
Di seberang Koperasi Unit Desa Misaya Mina, Eretan Wetan, Indramayu, Jawa Barat, terparkir beberapa becak motor atau cator, warga setempat menyebutnya. Rupanya mayoritas tukang cator di sana adalah mantan nelayan. Mereka memilih jadi kurir yang mengantarkan keranjang berisi hasil tangkapan ikan dari kapal menuju lokasi penjualan. Dulunya mereka adalah penjaring ikan di sana.
”Nelayan itu sering kekurangan ekonomi. Istri saya juga khawatir kalau saya pergi melaut dan cuacanya lagi buruk, taruhannya nyawa. Kalau di darat, lebih nyaman dan tenteram. Akhirnya, saya inisiatif beli becak pakai uang tabungan,” ujar Iwan (53), yang sudah 20 tahun menjadi tukang cator, Selasa (14/11/2023).
Iwan bisa mengumpulkan Rp 75.000-Rp 100.000 per hari dari cator. Sementara, upah menjadi nelayan hanya kisaran Rp 150.000-Rp 300.000 untuk tangkapan melaut selama lima hari. Beralih menjadi tukang cator telah membawa berkat bagi keluarganya. Ia mampu membangun rumah dan menyekolahkan kedua anaknya hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA).
”Kalau jadi nelayan, pegang uangnya musiman. Jika cuaca bagus, duitnya berlimpah. Bulan besoknya enggak ada penghasilan karena cuaca buruk nanti duitnya habis lagi. Sekarang setidaknya selalu ada pegangan duit untuk istri,” kata Iwan semringah.
Ada pula Jayana (40), mantan nelayan, yang sekarang beralih jadi tukang cator. Bukan karena takut dengan gelombang tinggi yang selama ini juga menjadi risiko besar para nelayan, melainkan karena menilai pekerjaan nelayan sudah tidak bisa menghidupi keluarganya. Padahal, dia sudah mengenal dunia nelayan sejak umur 7 tahun.
Bapak tiga anak ini berpikir, profesi sebagai tukang cator tepat untuknya yang tidak memiliki ijazah dan tidak punya keterampilan. ”Saya enggak bisa nukang, ya jadi tukang becak ini yang pas buat saya setelah enggak jadi nelayan,” katanya.
Penghasilan menjadi tukang cator selama tiga tahun ini cukup memenuhi kebutuhan keluarganya dibandingkan menjadi nelayan. ”Cator lebih enak. Nelayan itu enggak tentu (penghasilannya). Saya hampir frustrasi. Tiap hari istri marah-marah karena enggak ada penghasilan,” katanya.
Penghasilan Jayana setelah menjadi tukang cator Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. Namun, itu belum dipotong Rp 10.000-Rp 20.000 untuk ongkos bensin. Penghasilan bersih yang dikantongi Rp 40.000- Rp 80.000 per hari. Kalau melaut, dia paling banyak mendapatkan Rp 30.000 per hari.
Sementara Agung (36) beralih menjadi pekerja di empang budidaya ikan sejak tahun 2013. Pada 2009, dia menjadi nelayan dengan penghasilan Rp 70.000 untuk empat hari melaut. Namun, ia merasa kurang cocok karena sering menghadapi gelombang tinggi dan kehujanan di tengah laut.
”Tidak dilanjutkan jadi nelayan karena terlalu berisiko dan lumayan ngeri. Saya kapok karena mabuk laut,” ujar Agung.
Fenomena peralihan profesi ini banyak dijumpai di sejumlah daerah. Ora obah, ora mangan (Kalau tidak bergerak atau kerja, ya tidak makan). Pepatah Jawa itu cocok menggambarkan kondisi yang dihadapi para ibu pengupas kerang hijau (Perna viridis) di Blok Empang, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara.
Dijumpai pada Rabu (8/11/2023) siang, mereka sibuk memisahkan daging dan kulit kerang yang telah direbus. Mereka asyik bercakap dengan dialek Dermayu (bahasa Jawa Indramayu) yang merupakan kampung halaman mereka.
”Saya pilih (kerja) di sini. Upah buruh tani di desa tuh enggak seberapa. Di sana banyak sawah, tetapi musiman. Kalau enggak ada hujan cuman bisa panen sekali,” ujar Casmi (39), pengupas kerang asal Desa Cidongkol, Indramayu.
Orangtuanya adalah buruh tani yang dibayar dengan beras hasil panen. Untuk memenuhi kebutuhan lain, beras harus dijual terlebih dulu. Saat kondisi paceklik, tentu tak ada hasil yang dituai sehingga lebih banyak berutang di warung. Lalu, mereka melunasinya saat sudah mendapatkan upah.
Berkaca dari pengalaman itu, Casmi memilih berangkat ke Ibu Kota menjadi pengupas kerang dengan upah yang dikantonginya Rp 35.000-Rp 70.000 per hari.
Pilihan
Fenomena di atas adalah gambaran pekerja sektor pertanian dan perikanan yang menghadapi kesulitan ekonomi dan anomali iklim. Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Universitas Gadjah Mada, Bayu Dwi Apri Nugroho, menilai, fenomena tersebut lumrah terjadi di sejumlah daerah.
Hal ini terjadi karena kondisi tanahnya kering dan tidak ada air untuk menanam (sawah tadah hujan). Tak ada pilihan selain beralih ke pekerjaan lain untuk menyambung hidup. Saat kondisi sudah memungkinkan, petani atau nelayan akan kembali lagi ke pekerjaannya.
Saat menyusuri Desa Ranjeng, Indramayu, area persawahan tadah hujan tampak retak-retak. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, musim kemarau kali ini dinilai terlalu panjang. Petani setempat biasanya mulai menanam pada November. Namun, hujan tak kunjung datang. Sebagian petani beralih menjadi kuli bangunan atau kerja serabutan untuk menyambung hidup.
”Kalau bukan bertani, mau ngapain lagi? Petani itu orang yang paling sabar, sawah aja ditungguin. Kalau dijual (sawahnya), nanti kerjanya apa?” ujar Imam (44), petani Indramayu, yang bekerja serabutan sambil menanti datangnya hujan.
Sebelum anomali
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik per Agustus (2001-2022), rata-rata pekerja sektor pertanian yang bekerja pada orang lain menurun sekitar 1 persen. Kompas memproyeksikan hingga tahun 2030, jumlah petani dan nelayan menurun 10 persen atau sekitar 3,8 juta pekerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan akan alih pekerjaan akibat iklim.
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro, Esther Sri Astuti, jauh sebelum ada anomali iklim, jumlah pekerja di sektor pertanian dan perikanan telah menurun. Rata-rata keluarga yang bapak-ibunya petani tidak mau anaknya jadi petani karena penghasilannya kecil. Ini yang membuat jumlah petani kian berkurang.
Mereka menginginkan adanya campur tangan dari pemerintah. ”Bantuan pemerintah itu asal diberikan saja. Anggaran digelontorkan tanpa evaluasi kembali apakah sudah tepat sasaran atau tidak,” ujarnya.