Ketergantungan Impor Beras RI Berpotensi Makin Tinggi
Anomali iklim berpotensi menyebabkan hujan dan kekeringan ekstrem yang dapat mengganggu produksi beras nasional.
Pekerja mengemas beras untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan di gudang Bulog Kalimantan Timur-Kalimantan Utara di Kota Balikpapan, Kaltim, Rabu (6/9/2023). Program beras murah disebarkan Bulog untuk menekan kenaikan harga beras di pasaran yang memicu inflasi.
JAKARTA, KOMPAS — Anomali iklim berupa El Nino dan La Nina di Samudra Pasifik serta Dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD) dapat menurunkan produksi beras nasional. Akibatnya, serapan cadangan beras pemerintah produksi dalam negeri menyusut.
El Nino dan IOD positif memicu kekeringan berkepanjangan. Sebaliknya, La Nina dan IOD negatif cenderung meningkatkan curah hujan di Indonesia.
Sawah yang mengalami kekeringan dan terendam banjir berisiko gagal panen. Pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) ikut melorot karena produksi berkurang. Secara historis, data pengadaan CBP dalam negeri dari Perum Bulog yang diolah Kompas selama sebulan hingga Kamis (30/11/2023) menunjukkan penurunan serapan ketika anomali iklim terjadi.
Saat IOD positif pada 2015, misalnya, pengadaan CBP dari dalam negeri turun 16,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan berada pada posisi 1,96 juta ton. Jumlah impor beras oleh Bulog pada 2015 pun melonjak sekitar dua kali lipat menjadi 644.357 ton.
Pertengahan 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengumumkan dampak El Nino dan IOD positif secara berbarengan. Badan Pusat Statistik memperkirakan, produksi beras ikut menurun sebesar 2,05 persen dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 30,9 juta ton.
Stabilitas harga
Karena itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebutkan, angka CBP sebaiknya sebesar 3 juta ton untuk menstabilkan harga dan pasokan beras di pasar. Per 13 November 2023, pengadaan CBP dari dalam negeri sekitar 912.500 ton.
”Dalam kondisi darurat, yang penting barangnya (beras) ada dulu. Prioritas sumbernya dari dalam negeri. Apabila kurang dari kebutuhan, sumber pengadaan dari luar negeri dengan mekanisme impor secara terukur,” tuturnya di Jakarta, Senin (13/11/2023).
Kompas memproyeksikan, pengadaan CBP dalam negeri tanpa anomali iklim sebesar 1,08 juta ton pada 2030 dan 643.284 ton pada 2045. Ketika IOD positif terjadi, pengadaan CBP pada dua tahun tersebut masing-masing melorot menjadi 854.294 ton dan 447.832 ton.
Jika IOD negatif terjadi, pengadaan CBP dapat berkurang menjadi 954.850 ton pada 2030 dan 535.177 ton (2045). Angka CBP itu diperoleh dari pemodelan proyeksi produksi beras dalam negeri per tahun.
Baca juga: Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat
Apabila total stok CBP yang dikuasai Bulog mesti 3 juta ton, impor dibutuhkan untuk mengisi selisih dari pengadaan dalam negeri. Berdasarkan proyeksi Kompas, jika tidak ada anomali iklim, jumlah impor pada 2030 dan 2045 diperkirakan 1,91 juta ton dan 2,35 juta ton.
Apabila IOD positif terjadi, angka itu akan meningkat menjadi 2,14 juta ton pada 2030 dan 2,55 juta ton pada 2045. Apabila IOD negatif berlangsung, jumlah impornya masing-masing membengkak menjadi 2,04 juta ton dan 2,46 juta ton.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengakui adanya dampak anomali iklim terhadap produksi beras nasional hingga inflasi dan garis kemiskinan.
”Data (proyeksi) ini dapat membantu Bulog mengantisipasi dan menangani skenario-skenario (produksi beras terhadap anomali iklim,” tutur Budi Waseso.
Langkah antisipasi Bulog terbatas pada evaluasi proyeksi dan rekomendasi pengadaan cadangan pangan, termasuk beras, lalu mengajukannya kepada pemerintah. Jajaran Bulog perlu menjaga kerja sama dengan mitra-mitra di negara sumber impor beras. Tujuannya, ketika Indonesia membutuhkan impor beras, Bulog tetap memperoleh dari relasi tersebut.
Biaya impor
Agar stok CBP terjaga dan pemerintah dapat mengendalikan harga beras, impor pun jadi pilihan. Merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 yang diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja, pengadaan beras berasal dari produksi dalam negeri. Namun, jika tidak memenuhi, dapat diadakan lewat mekanisme impor.
Proyeksi Kompas, biaya impor beras Indonesia jika tak ada anomali iklim senilai 1,07 miliar dollar AS pada 2030 dan 1,31 miliar dollar AS pada 2045. Apabila IOD positif berlangsung, nilai itu akan membengkak menjadi 1,2 miliar dollar AS pada 2030 dan 1,42 miliar dollar AS tahun 2045. Jika IOD negatif terjadi, nilai impor itu pada 2030 akan meningkat menjadi 1,14 miliar dollar AS dan 1,38 miliar dollar AS pada 2045.
Terkait kebutuhan impor tersebut, Bulog meminjam dana ke sejumlah bank negara untuk pengadaan beras. Pinjaman itu akan diganti Kementerian Keuangan setelah CBP disalurkan dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
”Saya berharap ada kemudahan prosedur dalam pengadaan pangan. Sejak awal pengadaan, ada tim gabungan BPK, Badan Pangan Nasional, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengawasi dan langsung membuat laporan,” kata Budi.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal menambahkan, saat ini utang pemerintah untuk pengadaan cadangan pangan Bulog beserta bunga pinjaman hingga pelaporan mencapai Rp 16 triliun, terhitung sejak pandemi Covid-19. Dia memerinci, utang itu belum termasuk bunga pinjaman dari sejak pelaporan penggunaan dana pengadaan kepada pemerintah.
Kendati ada opsi impor, pilihan ini tidak mudah ketika harga beras di pasar dunia sedang tinggi. Apalagi, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat biaya impor makin mahal. Dia berpendapat, ketika harga beras dunia tinggi, produksi dalam negeri mesti digenjot.
Di sisi lain, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Esther Sri Astuti, menilai langkah pemerintah mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat Indonesia semakin jauh dari swasembada pangan. ”Apalagi, impor membuka celah bagi pemburu rente yang berisiko mengambil Rp 150-Rp 200 per kilogram,” ujarnya.
Potensi lokal
Selain impor, pemerintah punya opsi untuk mengandalkan diversifikasi bahan makanan lokal untuk penguatan ketahanan pangan Tanah Air. Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional Rinna Syawal menyebutkan, sejumlah daerah telah mengalokasikan anggaran pengadaan cadangan pangan.
Dia mencontohkan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyalurkan pisang dan mi berbahan baku tepung singkong modifikasi (mocaf) untuk bantuan pangan di wilayahnya.
”Keputusan ini merupakan wewenang kepala daerah. Kami mengadvokasi ke pemerintah-pemerintah daerah untuk mengenali potensi pangan lokalnya masing-masing,” katanya.
Baca juga: Karena Prahara Iklim, Piring Pun (Akan) Merindukan Nasi
Arief mengatakan, tantangan pengembangan bahan makanan lokal untuk ketahanan pangan berada di pemimpin pemerintah daerah.
Kepala daerah perlu mengetahui potensi pangan lokal sekaligus neraca pangan di wilayahnya. Ketika surplus pangan, kepala daerah perlu mengantisipasi agar harga tak anjlok di produsen.
Jika defisit, kepala daerah perlu bekerja sama dengan daerah lain untuk mendatangkan bahan pangan yang dibutuhkan. Dia juga menekankan anggaran pangan daerah yang alokasinya tak mencapai 1 persen. Artinya, anggaran dan pemanfaatannya di tingkat daerah perlu diperkuat.
Dalam menjaga ketahanan pangan, Budi Waseso menilai, bantuan pangan perlu berbasis potensi pangan lokal, seperti jagung atau ubi kayu.
Baca juga: Pangan Lokal untuk Kebutuhan Gizi Seimbang
Kenaikan beban impor beras ketika produksi nasional menurun menunjukkan pilihan strategi yang tidak berdaya tahan terhadap anomali iklim.
Ketahanan pangan yang berdaulat atas hasil bumi yang ada di Tanah Air berpotensi lebih berdaya tahan apabila negara tak setengah hati menggarapnya.