Pasar Tekstil di Jakarta yang Kian Meredup
Sejumlah pusat grosir di Jakarta kini merana karena semakin ditinggalkan pembeli. Penjual mengeluhkan omzet mereka yang terus menurun.
Sejumlah pasar grosir tekstil di Jakarta belakangan semakin lengang. Tawar-menawar antara pembeli dan pedagang yang jamak di sejumlah pasar ternama di Ibu Kota kini perlahan menghilang. Ke mana pelanggan setia pasar tekstil beralih?
Lalu lintas di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Rabu (11/10/2023) siang cukup padat. Deru dan klakson kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, hingga angkutan kota siang itu bersahut-sahutan. Pemandangan itu dibumbui kehadiran sejumlah petugas parkir tak resmi yang mengatur dan menawarkan tempat parkir untuk kendaraan yang melintas.
Isu lama di Tanah Abang, yakni pungutan liar, pun masih terjadi. Tempat parkir kendaraan roda empat yang disediakan oleh pengelola pasar, yakni PD Pasar Jaya, kerap tak lepas dari praktik pungutan liar. Situasi ini sepintas menunjukkan bahwa identitas Pasar Tanah Abang masih belum hilang.
Keramaian di luar pasar berbanding terbalik dengan situasi di sejumlah blok Pasar Tanah Abang. Di lantai dasar Blok A dan Blok B, misalnya, pada siang itu terdapat banyak calon pembeli yang mondar-mandir. Calon pembeli boleh saja berdatangan, tetapi tak berdampak pada omzet pedagang.
Anto (30), karyawan di kios pakaian lantai dasar Blok B Pasar Tanah Abang, mengatakan, sejak Tiktok Shop dilarang pemerintah untuk beroperasi, yakni sejak 4 Oktober 2023, penjualan di Pasar Tanah Abang tak kunjung membaik. Setiap hari, mereka lebih sering membuka dan menutup toko tanpa ada pelanggan yang mampir.
”Situasinya sama saja. Malah Tiktok Shop ditutup, omzet kami dari jualan di Tiktok pun turun,” kata karyawan asal Jakarta Barat itu.
Baca juga : Adu Diskon Bebani Jasa Kurir
Sebelum Tiktok Shop ditutup, kios Anto yang selama satu tahun terakhir memanfaatkan fitur Tiktok Live untuk berjualan mampu menjual hingga 100 potong celana tiap hari. Sementara itu, penjualan secara luring tak pernah pasti. Pakaian yang dijual luring hanya terjual paling banyak enam potong dalam kurun waktu satu minggu.
”Masalahnya memang bukan di Tiktok. Sepertinya memang daya beli masyarakat yang turun. Kios kami sudah sepi pembeli,” katanya. Sebelumnya, pedagang di Pasar Tanah Abang meminta pemerintah menutup Tiktok Shop karena diduga berdampak pada sepinya pembeli di pusat tekstil itu.
Upaya mengatasi sepinya pembeli di Pasar Tanah Abang dengan menjajaki Tiktok juga sudah dilakukan Roby (24), karyawan di kios pakaian lantai 1 Blok B. Namun, upaya itu tak pernah berhasil lantaran selama tiga bulan berjualan di Tiktok, produknya hanya terjual satu potong.
Penjualan di Tiktok memang tak sekadar menyiapkan peralatan siaran dan berinteraksi dengan penonton di ruang siaran. Mereka dituntut harus konsisten siaran setiap hari dengan durasi jam tertentu dan kerap harus membayar biaya promosi ke platform jika ingin menjangkau banyak penonton. Upaya ini dinilai memberatkan karena dia kesulitan membagi waktu, tak ada jaminan bakal ada kenaikan jumlah penonton, hingga mahalnya biaya promosi.
Kesulitan menembus pasar daring di Tiktok dan sepinya pembeli luring itu menyebabkan omzet di kiosnya menurun drastis. Normalnya, omzet yang didapat sehari-hari mencapai Rp 3 juta sehari. Kini, untuk mencapai omzet Rp 500.000 per hari saja sulit dipenuhi.
”Bisa jadi karena banyak penjual online atau daya beli turun. Tapi, kalau online ramai, pasti banyak reseller yang ambil barang ke sini. Tapi, sekarang juga sepi,” ucap Roby.
Sudah tidak ada pembeli. Satu minggu paling hanya terjual dua atau tiga potong. Kios-kios di sini tutup karena sudah tidak mampu bayar biaya sewa. (Afmi)
Omzet yang turun drastis turut dirasakan Afmi (40), pedagang di lantai 3 Blok A Pasar Tanah Abang. Afmi, saat ditemui pada Minggu (1/10/2023), hanya satu dari sejumlah pedagang di lantai itu yang masih bertahan. Di kiri dan kanan lapaknya, kios-kios yang berdampingan rata-rata dalam kondisi tertutup.
”Sudah tidak ada pembeli. Satu minggu paling hanya terjual dua atau tiga potong. Kios-kios di sini tutup karena sudah tidak mampu bayar biaya sewa,” kata penjual gamis itu. Afmi menyebut, sebagian pedagang, mulai dari lantai dasar hingga lantai tiga Blok A, memilih menutup atau menyewakan kios mereka karena pakaian yang terjual bahkan tak menutupi biaya pelayanan (service charge) sebesar Rp 1 juta per bulan. Pedagang yang bertahan pun hanya mengandalkan pembeli eceran yang jumlahnya tak seberapa.
Baca juga : Ponsel dan Media Sosial Mengubah Perilaku Belanja Kita
Di awal 2019, Afmi setiap bulan mampu mengantongi omzet puluhan juta. Namun, masa-masa kejayaan itu kini tinggal kenangan. Saat ini, omzet yang dia dapat tiap bulan tak pernah sampai atau lebih dari Rp 5 juta.
Omzet sejumlah pedagang grosir yang mencapai puluhan juta per bulan pada masa sebelum pandemi terjadi lantaran di masa itu masih banyak pedagang dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, hingga Papua yang membeli dalam jumlah banyak, yakni belasan sampai puluhan kodi. Pembeli dari banyak daerah di Indonesia itu perlahan berkurang. Entah ke mana mereka pergi, Afmi tak tahu.
”Dulu, setiap hari ada saja pedagang dari daerah yang belanja. Satu kali belanja, paling sedikit 10 kodi. Sekarang sudah hampir tidak ada,” ucapnya.
Perilaku konsumen berubah
Berkurangnya pembeli di sejumlah pusat grosir tersebut tak terlepas dari perubahan perilaku konsumen. Nova Angel (35), warga Jatinegara, Jakarta Timur, baru kembali mengunjungi Pasar Tanah Abang pada awal September 2023. Dia penasaran untuk kembali berkunjung ke sana setelah ramai pemberitaan keluhan pedagang di pasar itu yang sepi pembeli.
”Saya dulu masih belanja pakaian untuk anak-anak dan keluarga di sana. Cuma sekarang, lebih mudah belanja online. Butuh satu dua potong pakaian, cukup scroll dan check out,” ujar ibu dua anak itu, Selasa (21/11/2023).
Nova lebih gemar berbelanja daring karena menilai harga pakaian yang ditawarkan di beragam platform belanja daring lebih terjangkau. Dia tak perlu berkeringat, apalagi harus berputar-putar di blok pasar, untuk mencari barang atau pakaian yang dibutuhkan.
”Kemarin ke sana juga hanya penasaran karena viral. Ribet sih, mau parkir saja susah dan banyak calo,” katanya.
Kian berkurangnya pembeli dari daerah turut dirasakan sejumlah pelaku usaha jasa penginapan di sekitar Pasar Tanah Abang. Kegiatan usaha perhotelan di wilayah sekitar, tepatnya di Jalan KH Mas Mansyur, Kampung Bali, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak lagi merasakan penuhnya penginapan akibat membeludaknya pesanan kamar.
”Akhir pekan begini harusnya ramai. Tetapi, dari 30 kamar, yang terisi hanya tiga kamar. Kalau dulu, akhir pekan begini, bisa terisi lebih dari separuh. Itu kebanyakan dari pedagang-pedagang daerah yang belanja di Tanah Abang,” kata Yasin (53), pengelola jasa penginapan di Jalan KH Mas Mansyur, Minggu (1/10/2023) siang.
Yasin menyebut, kian sepinya tamu daerah yang biasa menginap disiasati pemilik penginapan dengan mengubah sebagian kamar menjadi kamar indekos. Tempat penginapan itu awalnya memiliki sekitar 70 kamar. Namun, saat ini 40 kamarnya diubah jadi kamar indekos sejak Covid-19 melanda Tanah Air.
”Daripada tidak ada yang dihuni, kami alihkan jadi kos-kosan. Mau bayar listrik dan operasional pakai apa kalau tidak ada tamu yang menginap,” kata lelaki asal Sulawesi itu.
Hilangnya pembeli dari daerah turut dirasakan pedagang di Pasar Grosir Cipulir, Ciledug, Jakarta Selatan. Pasar yang juga dikenal sebagai pusat grosir produk tekstil dan pakaian jadi itu juga seret pelanggan. Meski demikian, saat Tiktok Shop ditutup pemerintah, secercah harapan muncul di sana.
Kondisi lantai dasar Pasar Cipulir pada Rabu (11/10/2023) pagi atau setelah delapan hari Tiktok Shop ditutup cukup ramai. Pedagang di lantai satu tampak sibuk memasukkan beragam jenis pakaian ke karung-karung berukuran besar untuk dikirim ke alamat pemesan.
”Lantai dasar hari ini ramai. Saya lihat pembeli-pembeli daerah kembali muncul. Mereka sudah lama sekali hilang. Sepertinya penutupan Tiktok Shop ada dampak,” kata Doni (49), salah satu pedagang pakaian anak di lantai dua Pasar Cipulir.
Suasana di Pasar Cipulir pagi itu sedikit membangkitkan antusiasme pedagang. Mereka sudah sangat lama tak melihat keramaian di lantai satu kecuali saat saat momen tertentu, yakni menjelang Lebaran. Omzet pedagang di tempat itu yang rata-rata mencapai puluhan juta rupiah per bulan kini menurun drastis.
Sebab, selama ini pasar ini jarang ada lalu lalang pembeli. Sepinya Pasar Grosir Cipulir dinilai tak lepas dari ekspansi besar-besaran platform belanja daring. Sebab, penurunan omzet di Pasar Cipulir memang sudah terjadi sejak 2019. Namun, kondisinya tak menukik tajam seperti situasi yang dialami pedagang saat ini.
”Di sini memang sering sepi dan itu sudah dari empat atau lima tahun lalu. Tetapi, tidak seperti satu tahun terakhir. Saat ini, satu minggu kosong, ya, kosong. Dulu, satu hari masih ada pembeli, paling sedikit tiga atau empat orang,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai, gempuran produk tekstil impor yang murah dari China dan diduga turut membanjir di platform e-dagang berdampak pada penurunan omzet produsen tekstil lokal dan pedagang.
Baca juga : Mudahnya Menemukan Barang Impor Murah di E-dagang
Para produsen dan pedagang lokal kesulitan bersaing dengan produk impor tekstil yang dijual sangat murah di platform e-dagang. Bahkan, harga produk yang dijual tersebut di bawah harga pokok produksi tekstil yang dibuat di dalam negeri.
Kenyamanan pasar berpengaruh
Penurunan omzet pedagang pun sebenarnya turut dirasakan pedagang di Pusat Grosir Pasar Pagi Mangga Dua, Pademangan, Jakarta Utara. Sejumlah toko atau kios di pasar yang berdiri sejak 1989 itu pun tutup atau tertulis disewakan. Namun, keramaian di sana berbeda dengan Pasar Grosir Cipulir atau Pasar Tanah Abang lantaran masih padat dengan pengunjung yang datang dan pergi.
”Di sini banyak tempat kuliner. Tempatnya juga nyaman, sekelas mal, lah. Tempat parkirnya juga luas dan tidak susah cari parkiran,” kata Alice (28), pengunjung yang ditemui di ITC Mangga Dua, Rabu (4/10/2023) siang.
Masalah kenyamanan dan tempat parkir jadi persoalan lain di Pasar Grosir Cipulir dan Pasar Tanah Abang. Di dua pasar ini, tarif parkir yang dikenakan kepada pengunjung lebih dari sekali. Di tempar parkir lantai lima Blok F Pasar Tanah Abang, misalnya, setiap pengunjung yang bakal keluar setelah memarkir kendaraannya harus membayar biaya parkir kepada petugas berpakaian PD Pasar Jaya yang berjaga di dekat mobil-mobil yang terparkir.
Pada Minggu (1/10/2023), misalnya, saat Kompas akan meninggalkan tempat parkir di lantai lima Blok F, petugas yang berjaga-jaga meminta biaya parkir Rp 10.000. Setelah itu, saat tiba di loket, petugas yang berjaga di loket kembali mengenakan tarif parkir Rp 20.000.
”Di atas itu sukarela saja. Silakan, dikasih berapa saja, mereka tidak menuntut,” kata petugas loket saat ditanya terkait petugas pertama yang terlebih dahulu memungut parkir.
Meskipun bukan yang utama, pungutan parkir liar tersebut bisa menjadi salah satu alasan bagi konsumen enggan mendatangi pusat grosir tekstil ataupun sentra perbelanjaan. Terlebih, konsumen kian dimanjakan dengan kemudahan belanja daring.
Sinar pasar grosir tekstil di Jakarta yang pernah berkilau kini kian meredup karena mulai ditinggalkan pembeli. Tidak hanya karena perubahan perilaku konsumen yang gemar berbelanja daring, tetapi juga gempuran barang impor yang murah dan faktor kenyamanan pasar. Jika hal itu terus dibiarkan, bukan tak mungkin sentra-sentra grosir yang dulu megah dan ramai bakal mati suri dan mangkrak.