Ibu Hamil Bertaruh Nyawa di Lautan
Dokter di daerah terpencil menghadapi tantangan kompleks. Di tengah minimnya fasilitas dan sulitnya akses, mereka berjibaku melayani masyarakat.

Puskesmas Limboro di Seram Bagian Barat, Maluku, Rabu (21/6/2023). Puskesmas ini berada di tepi Laut Banda.
Dokter Fretsdinand Lengah (35) deg-degan saat menghadapi pasien yang sakitnya parah. Puskesmas tempatnya bekerja berada jauh di pelosok pulau sehingga tidak leluasa dalam merujuk pasien.
Dokter Dinand, begitu ia biasa disapa, bekerja di Puskesmas Limboro, Seram Bagian Barat (SBB), Maluku. Puskesmas itu berjarak sekitar 70 kilometer (km) dari Piru, Ibu Kota SBB. Waktu tempuh Piru-Limboro mencapai empat jam, melewati jalan menanjak dan turunan curam.
Puskesmas itu dikepung Laut Banda, sedangkan jalur daratnya harus melewati sedikitnya lima sungai yang belum ada jembatan. Kalau hujan lebat dalam waktu lama, luapan arus sungai memutus akses darat. Kalau gelombang tinggi, Laut Banda pun tidak bersahabat untuk dilayari.
Tak heran puskesmas yang berdiri 2021 ini masuk kategori sangat terpencil. Para tenaga kesehatan di daerah itu bertanggung jawab terhadap kesehatan 8.000 warga yang tersebar di enam dusun. Puskesmas ini belum punya ambulans darat ataupun ambulans laut. Urusan merujuk pasien menjadi tantangan yang mendebarkan.
Baca juga : Beban Ganda Dokter-dokter di Pedalaman

Puskesmas Limboro di Seram Bagian Barat, Maluku, Rabu (21/6/2023). Puskesmas ini berada di tepi Laut Banda.
Senin (20/6/2023) subuh, seorang ibu hamil butuh pertolongan. Kondisinya sudah parah karena posisi plasenta berada di bawah atau menutup jalan lahir bayi. Ini sudah tak bisa diatasi dr Dinand dan harus dirujuk ke rumah sakit.
Dinand pun merujuk ke salah satu rumah sakit di Ambon. Dari sisi jarak, lebih dekat merujuk pasien ke Ambon dibanding RSUD di Piru. Namun, lantaran puskesmas belum punya ambulans, keluarga pasien harus memikirkan sendiri transportasi ke Ambon.
Warga Limboro yang ingin ke Ambon biasanya naik speedboat milik warga yang tersedia satu kali keberangkatan per hari. Ibu hamil itu bisa berangkat bersama dengan penumpang kapal dengan biaya Rp 100.000 sekali berangkat. Namun, dia harus mengikuti rute kapal yang singgah lebih dahulu di pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar Limboro.
Baca juga : Jejaring Calo Memanipulasi Kompetensi Dokter

Dokter Fretsdinand Lengah, satu-satunya dokter di Puskesmas Limboro, Seram Bagian Barat, Maluku, saat ditemui Rabu (21/6/2023). Puskesmas ini berada di kawasan sangat terpencil.
Jika ingin cepat, keluarga pasien dapat menyewa speedboat berbiaya Rp 2,5 juta sekali berangkat. Lantaran tidak ada biaya, keluarga pasien memilih menggunakan kapal kayu yang biasa digunakan nelayan. ”Mereka pakai itu (kapal nelayan) karena kalau pakai speedboat sewanya mahal,” ujar Dinand, Rabu (22/6/2023).
Selain terkendala sarana pendukung yang minim, SBB juga krisis dokter. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang SBB mencatat, hanya ada 35 dokter yang berpraktik di kabupaten itu. Sebanyak 14 orang di antaranya bekerja di puskesmas. Jumlah ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dokter di 22 puskesmas.
Mereka pakai itu (kapal nelayan) karena kalau pakai speedboat sewanya mahal
Di tengah situasi itu, ada tujuh dokter yang tidak lagi diperpanjang kontraknya oleh pemerintah setempat. Menurut Kepala Dinas Kesehatan SBB Yohanis Tappang, ketujuh dokter itu tak bisa bekerja karena bupati belum menerbitkan SK-nya sebagai pegawai tidak tetap. ”Sebelumnya, mereka bekerja dengan dasar SK Dinkes. Tapi tahun ini bupati bilang SK harus dari bupati langsung,” katanya.
Yohanis berharap para dokter tersebut kembali bekerja di puskesmas. Ketika tak ada dokter, mutu layanan kesehatan berkurang. ”Memang betul puskesmas tak ada dokter masih bisa jalan, tetapi bagaimana dengan mutunya?” ujarnya.

Tak ada dokter
Secara nasional, per 11 Juli 2023, dari 10.444 puskesmas di Indonesia, terdapat 381 puskesmas yang tak ada dokternya. Mengutip Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2022, lebih separuh dari puskesmas yang tak memiliki dokter ada di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Memang betul puskesmas tak ada dokter masih bisa jalan, tetapi bagaimana dengan mutunya?
Ketiadaan dokter di puskesmas ini membuat beban kerja tenaga kesehatan di puskesmas itu tambah berat. Contohnya Puskesmas Taneotob, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Puskesmas yang lokasinya terisolasi mirip Puskesmas Limboro di Maluku ini saat didatangi akhir Juni 2023, belum punya dokter dan dokter gigi.
Untuk diagnosis penyakit, para tenaga kesehatan di Taneotob—yang terdiri dari empat perawat dan dua bidan— berkonsultasi dengan dokter di Puskesmas Lilana. Dua puskesmas ini sama-sama berada di Kecamatan Nunbena. Tapi, prosesnya tidak mudah karena bisa jadi dokter yang dimintai saran sedang menangani pasien.
”Sementara pasien yang kondisinya gawat butuh penanganan segera, sedangkan dokter belum ada jawaban. Terkadang kami inisiatif melakukan tindakan dulu sambil menunggu saran dari dokter,” ujar Kepala Puskesmas Taneotob Nonny L Krisyanto Liunome.
Baca juga : Dokter Lulusan Luar Negeri Mengubur Cita-citanya

Dokter Yuni (kanan) memeriksa pasien yang mengalami sakit gigi, Jumat (23/6/2023) di Puskesmas Lambitu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Meski dokter Yuni bukan dokter gigi, dia tetap melayani pasien sakit gigi sebab di puskesmas itu tidak ada dokter gigi.
Menahan sakit
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), keterbatasan tenaga medis membuat warga harus menahan sakit karena tidak sanggup menanggung biaya transportasi. Ini dialami Ani (43), warga Lambitu, Kabupaten Bima, NTB.
Perempuan itu gelisah menunggu antrean di ruang dokter umum. Mukanya meringis menahan sakit. ”Sakit gigi,” kata Ani (43), seraya menunjuk mulutnya, Jumat (23/6/2023) pagi, di Puskesmas Lambitu.
Puskesmas ini belum punya dokter gigi. Hanya ada dokter umum yang mengobati segala macam penyakit, termasuk sakit gigi. Situasi ini tak masalah bagi Ani asal dapat bertemu dokter. Dikasih obat apa pun mau selama gusinya tidak nyut-nyutan lagi.
Seumpama sakitnya berlanjut, Ani harus dirujuk ke RSUD di Kota Bima atau puskesmas lain yang ada dokter giginya. Masalahnya, angkutan umum yang tersedia terbatas. Jika terlambat dalam perjalanan, Ani berpotensi tidak bertemu dokter di kota.
Baca juga : Dokter Praktik Tanpa Izin

Salah satu ruas jalan menuju Puskesmas Lambitu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Jumat (23/6/2023). Di sejumlah ruas, jalan tidak dilapisi aspal, namun berupa batu dan tanah, Jika pun beraspal, kondisi jalan tidak selalu mulus seperti yang terlihat di foto.
Solusi lain adalah naik ojek seperti yang lazim dilakukan warga setempat. Ani harus menyewa ojek dengan tarif Rp 150.000 sekali berangkat atau Rp 300.000 pulang balik. Membayangkan itu semua, Ani berpikir, ”Kalau uangnya tidak cukup, saya tahan saja sakitnya,” tuturnya pasrah.
Bagi Ani, mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah untuk mengobati gigi merupakan perkara berat. Sebab, penghasilannya dari hasil ladang di Lambitu terbatas.
Kalau uangnya tidak cukup, saya tahan saja sakitnya
Pada hari berikutnya, sakit Ani ternyata kian memburuk. Dokter akhirnya merujuknya ke rumah sakit. ”Saya rujuk ke puskesmas dan rumah sakit, sakitnya berlanjut,” kata dokter Yuni, dokter umum yang menerima Ani.
Catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Bima per Juni 2023, ada 12 dari 21 puskesmas di daerah itu yang belum ada dokter giginya. Padahal, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat mengharuskan puskesmas punya dokter dan dokter gigi.

Suasana di Puskesmas Lambitu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Jumat (23/6/2023). Puskesmas ini hanya memiliki satu dokter umum untuk melayani warga enam desa. Selain kekurangan dokter, puskesmas ini juga krisis tenaga kesehatan lain. Ini membuat layanan kesehatan di puskesmas ini menjadi tidak maksimal.
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Kabupaten Bima Supratman mengatakan selalu mengajukan usulan penambahan dokter, baik ke pemerintah pusat maupun daerah. Namun, ketika formasi dibuka, belum tentu ada dokter yang berminat mengisi posisi itu. Sebab, sebagian lokasi puskesmas di Bima sulit diakses dan juga luas wilayah kerjanya.
Terkait masalah ini, Kementerian Kesehatan membuat sejumlah program untuk mengatasi minimnya tenaga kesehatan di daerah terpencil. Untuk penempatan dokter di wilayah terpencil digagas melalui Program Nusantara Sehat. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, pada Senin (19/6/2023), menginformasikan ada juga beasiswa kesehatan bagi warga terpencil lewat Program Afirmasi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan atau Padinakes.
Krisis tenaga kesehatan ini harus segera diatasi agar warga tak perlu bertaruh nyawa demi mendapat layanan kesehatan.