Potensi Masa Depan yang Terbuka oleh AI
Kecerdasan artifisial atau artificial intelligence menjanjikan potensi besar di masa depan meski tetap ada ancamannya.
JAKARTA, KOMPAS - Hasil analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan, nilai ekonomi yang dihasilkan oleh penerapan kecerdasan artifisial atau AI (artificial intelligence) di Indonesia dapat mencapai Rp 5.299 triliun. Angka ini adalah hasil peningkatan produktivitas setiap lapangan industri di Indonesia yang dimungkinkan bila menerapkan AI.
Analisis menggunakan dasar penelitian OpenAI, perusahaan kecerdasan artifisial pembuat ChatGPT yang dipublikasikan Maret 2023.
Penelitian berjudul "An Early Look at the Labor Market Impact Potential of Large Language Models" ini menganalisis ribuan jenis pekerjaan dan merinci kegiatan setiap pekerjaan di 92 subsektor industri Amerika Serikat (AS). Setiap kegiatan lalu dinilai apakah bisa dilakukan oleh AI atau tidak.
AI yang dimaksud adalah aplikasi AI berbasis LLM seperti ChatGPT dan dikombinasikan dengan otomasi pembuatan gambar atau image generation seperti Midjourney serta computer vision untuk melihat sebuah gambar dan memberi keterangan terhadap gambar tersebut. Dari setiap penilaian pekerjaan tersebut, dapat ditemukan tingkat keterpaparan setiap sektor industri oleh AI. Tingkat keterparan adalah seberapa besar detil pekerjaan yang dapat dibantu AI.
Hasil keterpaparan di setiap industri di AS tersebut lalu diaplikasikan ke sektor industri di Indonesia. Dengan asumsi sektor industri atau lapangan usaha Indonesia juga memiliki sejumlah jenis pekerjaan yang mirip dengan sektor industri AS.
Angka keterpaparan dari 92 subsektor industri AS ini lalu disesuaikan ke dalam 17 lapangan usaha Indonesia yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS). Angka keterpaparan terhadap AI lalu dikombinasikan dengan besaran produk domestik bruto di setiap lapangan usaha.
Nilai ekonomi yang dihasilkan oleh penerapan kecerdasan artifisial atau AI (artificial intelligence) di Indonesia dapat mencapai Rp 5.299 triliun. Angka ini adalah hasil peningkatan produktivitas setiap lapangan industri di Indonesia yang dimungkinkan bila menerapkan AI
Tiga sektor lapangan usaha dengan keterpaparan AI tertinggi adalah informasi dan komunikasi (58 persen), jasa keuangan dan asuransi (55,2 persen), dan jasa perusahaan (52,3 persen). Sementara sektor lapangan usaha pertanian keterpaparannya paling rendah, yakni 1,34 persen.
Dengan menghitung tingkat keterpaparan setiap lapangan usaha, maka dapat diperkirakan jumlah pekerja Indonesia yang dapat dibantu oleh AI, yakni 22 persen dari total pekerja di Indonesia atau sekitar 26,7 juta orang. Sebanyak 26,7 juta orang Indonesia pekerjaannya dapat teredefinisi jika lapangan usahanya menerapkan AI.
Redefinisi pekerjaan oleh AI bukan serta merta mengganti manusia dengan komputer, namun deskripsi profesinya berubah akibat ada sebagian jenis pekerjaan yang dapat dilakukan secara lebih efisien oleh AI.
Baca juga : Seberapa Besar Pekerjaanmu Terpapar Kecerdasan Artifisial
Angka keterpaparan pekerja Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan tingkat keterpaparan AI di Amerika Serikat yang mencapai 38,8 persen, jika menganalisis lebih jauh penelitian OpenAI.
Hasil analisis Kompas tidak berbeda jauh dengan penelitian bank investasi Goldman Sachs yang dirilis Maret 2023. Menurut Goldman Sachs keterpaparan tenaga kerja Indonesia terhadap AI sekitar 16 persen.
Dengan menggunakan data mikro Survei Angkatan Kerja Nasional BPS tahun 2021, analisis Kompas juga memperkirakan durasi jam kerja yang dapat dihemat melalui penggunaan AI. Implementasi AI di Indonesia secara rata-rata dapat menghemat waktu bekerja sekitar 116 menit atau hampir 2 jam kerja per hari. Efisiensi akibat AI terendah ada di sektor pertanian yang hanya sekitar 4,8 menit per hari, sementara di sektor informasi dan komunikasi, durasi jam kerja bisa dihemat 3 jam 14 menit sehari.
Hasil kalkulasi Kompas soal nilai ekonomi dari penerapan AI di Indonesia yang mencapai Rp 5.299 triliun tak berbeda jauh dengan hitungan firma konsultan Kearney. Menurut Kearney potensi peningkatan ekonomi Indonesia jika menerapkan AI pada semua lapangan usaha mencapai 366 miliar dollar AS atau Rp 5.371 triliun. Analisis Kearney dikutip Kementerian Koordinator bidang Perekonomian terkait potensi kecerdasan artifisial dalam memacu pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan, pemerintah sudah mengantisipasi dampak AI melalui penyusunan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) pada tahun 2020. Dokumen ini diharapkan dapat mengembangkan regulasi dan turut membantu penyiapan talenta AI di masa depan.
Salah satu manifestasi Stranas KA adalah pembentukan Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial atau Korika. Ketua Korika Prof Hammam Riza mengatakan, salah satu fokus utama Korika adalah penyusunan regulasi dan kebijakan pemerintah terkait AI. Dua hal ini menjadi penting dalam pengembangan talenta dan pelindungan tenaga kerja Indonesia di masa-masa krusial ini, menurut dia.
Melalui penyusunan regulasi dan kebijakan diharapkan pemerintah dapat memanfaatkan teknologi AI dalam bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia. "Ini sangat penting, agar para pekerja kita yang mestinya mengisi bonus demografi ini diberi kesempatan seluas-luasnya untuk beradaptasi dengan pemanfaatan AI dalam operasional industri tersebut," kata Hammam.
Dengan kehadiran AI, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Prof Nizam meyakini bahwa memang akan ada jutaan pekerjaan yang hilang digantikan oleh otomasi. Namun, ia meyakini bahwa pekerjaan baru yang dimunculkan oleh AI juga akan lebih banyak.
“Ada prediksi yang bilang, profesi baru yang muncul bisa dua kali lipat pekerjaan yang hilang. Tapi, penciptaan pekerjaan baru tersebut saat ini belum terjadi. Artinya, ada peluang bagi anak-anak Indonesia untuk mengembangkan sesuatu hal yang baru, yang saat ini belum bisa dibayangkan bentuknya,” kata Nizam.
Produktivitas meningkat
Kepala Center of Digital Economy and SMEs Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Rachbini menyebutkan untuk mengukur produktivitas suatu pekerjaan karena penerapan AI, dilihat dari besaran input dan outputnya. Jika output yang dihasilkan lebih besar dari input, berarti produktivitas dan kecepatan bertambah.
“Kalau menggunakan machine learning, secara waktu, pasti akan memberikan produktivitas lebih cepat, karena dengan input yang sedikit dibantu oleh mesin, kita bisa mendapatkan output yang lebih besar,” kata Eisha.
Dari sisi pelaku industri, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Bern Dwyanto menyebutkan selama ini kecerdasan artifisial sudah digunakan di industri asuransi untuk membantu proses bisnis menjadi lebih efektif dan mengurangi manipulasi dalam klaim asuransi.
"AI sudah digunakan untuk scanning wajah dan rekam medis di asuransi kesehatan, proses underwriting asuransi, hingga mengurangi fraud dalam asuransi kendaraan," jelas Bern.
Chief technology officer (CTO) dari firma modal ventura GDP Venture, On Lee membenarkan, efisiensi menjadi salah satu daya tarik utama implementasi di dunia usaha.
Lee mencontohkan efisiensi yang dapat ditawarkan AI adalah analisis data dalam jumlah besar. Puluhan baris data bisa dianalisis dengan cepat oleh AI, sesuatu yang akan membutuhkan waktu lama jika dilakukan manusia.
"Untuk hal-hal tertentu AI memungkinkan kita mendapatkan output faster (lebih cepat), sekaligus higher quality (berkualitas lebih baik)," ujar Lee.
Namun menurut peneliti kecerdasan artifisial Wahyu Adi Setyanto, penerapan kecerdasan artifisial dalam suatu industri bergantung pada biaya yang dikeluarkan oleh pemilik industri. Biayanya lebih besar untuk berlangganan aplikasi AI atau membayar tenaga kerja.
Wahyu mencontohkan suatu industri yang menggunakan AI dan mengurangi tenaga manusia. Tapi kadang kadang output mesin tidak sesuai yang diharapkan, sehingga harus memberi perintah lagi kepada mesin ataupun menyerahkan lagi pekerjaan tersebut pada tenaga manusia.
“Berarti penerapan AI dalam industri itu menjadi tidak efisien dari segi biaya dan waktu,” kata Wahyu.