Optimisme dan Kekhawatiran Anak Muda Indonesia Menghadapi Era AI
Mahasiswa jurusan sains dan teknologi berpotensi besar untuk menguasai AI di masa yang akan datang. Kemampuan ini hendaknya ditunjang dengan penguasaan ilmu humaniora dan seni sebagai keunggulan kompetitif lain.
Kehadiran kecerdasan artifisial generatif - seperti ChatGPT membuat Maria (22), mahasiswa semester akhir jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung merasa cita-citanya untuk menjadi analis data, akan terhapus begitu saja. Padahal saat masuk kuliah, Maria percaya diri bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah sesuai dengan cita-citanya tersebut.
"Aku khawatir kerjaan analis data atau sains data yang kerjaannya bikin dashboard, dan coding sederhana bisa banget tergantikan oleh AI," katanya dengan nada cemas saat berbincang akhir Mei lalu.
Apalagi Maria merasa belum pada tahap menguasai ilmu secara mendalam dan baru bisa mengerjakan pekerjaan operasional saja. Dia mencontohkan, orang yang bisa melakukan interpretasi bisnis mendalam di perusahaan tempatnya magang sekarang ini adalah pada level profesional seperti Chief Executive Officer (CEO)
"Lalu bagaimana dengan aku yang masih fresh graduate? Baru saja akan lulus saja sudah rentan dengan AI, terus nanti ini mau masuk level yang mana?" katanya.
Meski masih mempunyai level kecemasan tinggi akan masa depannya, Maria masih berharap bisa mengisi kekosongan pekerjaan pada sisi machine learning engineer yang perannya sulit tergantikan oleh mesin. "Si pembikin AI itu sendiri kan sebenarnya ilmu matematika, yang aku pelajari selama ini," jelasnya.
Hanya saja profesi machine learning engineer itu menurut Maria belum berkembang di Indonesia dan jika ingin bekerja di bidang tersebut harus ke luar Indonesia.
Kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh Meilani (19), mahasiswa Sains Data Institut Teknologi Sumatera, Bandar Lampung. Saat masih SMA, dia bercita-cita untuk menjadi sains data dan bercita-cita bekerja di Google.
Baca juga : Seberapa Besar Pekerjaanmu Terpapar Kecerdasan Artifisial
Namun baru tahun pertama kuliah, cita-cita Meilani tersebut ternyata bisa dikerjakan oleh mesin Chat GPT. “Aku merasa khawatir. Ini jurusan baru, terus ada teknologi baru. Jurusan yang tadinya booming banget, ternyata bisa dikerjain teknologi baru juga,” sebut Mei.
Rasa was-was Meilani bertambah saat ilmu sains data bisa juga dipelajari di lembaga pendidikan non formal seperti kursus ataupun belajar mandiri melalui Youtube. Inilah yang membuat Meilani merasa mendapat banyak saingan saat lulus nanti.
“Misal ada orang yang bukan lulusan S1 sains data, tapi lebih jago dari lulusan sains data, bakal banyak yang menerima dia di lapangan kerja,” katanya.
Sekarang saatnya kita berkolaborasi dengan mereka yang bukan manusia. Teknologi justru membantu kita. Jangan jadikan AI sebuah ketakutan, tapi sebagai alat bantu kita, menyempurnakan apa yang sebenarnya menjadi tujuan besar kita
Di sisi lain, penggunaan kecerdasan artifisial seperti ChatGPT di kampusnya juga masih dibatasi. Hal ini membuat dia merasa sulit untuk mengetahui lebih dalam mengenai teknologi baru tersebut.
Belajar Ilmu Lain
Di tengah kecemasan menghadapi pasar kerja, Maria dan Meilani memilih untuk belajar ilmu lain di luar yang sekarang dipelajarinya.
Maria belajar pengetahuan tambahan seperti manajemen bisnis dan marketing. Dia merasa bahwa tidak cukup hanya belajar matematika saja, tapi juga harus dilengkapi dengan ilmu lain supaya mempunyai keunggulan kompetitif lain.
"Matematika bukan segalanya dan sangat gampang untuk digantikan. Tapi kalau misalnya dikombinasikan dengan skill-skill lain akan lebih berguna karena akan bisa melihat data secara lebih kontekstual, tidak dalam bentuk angka doang," sebut Maria.
Begitu juga dengan Meilani. Sambil menjalani kuliahnya di terus belajar dari kurikulum yang diberikan dan mengeksplorasi ilmu lain. “Jangan hanya stuck di sains data saja karena kita tidak akan pernah tahu ke depan teknologi bakal secanggih apa,” katanya.
Infografik Lulusan STEM dan Penguasaan Internet sebagai Modal Tenaga Kerja AI
Optimis
Berbeda halnya dengan Karel Virdin (20), mahasiswa semester satu Computer Science Binus University Semarang. Meski baru seminggu memasuki dunia perkuliahan, dia optimistis dengan apa yang dipelajari sekarang ini tidak akan tergantikan oleh kecerdasan artifisial.
“Pekerjaan yang terlalu teknis seperti pemogramancoding yang berkaitan dengan yang buat AI itu sendiri, enggak akan tergantikan oleh AI,” kata Karel.
Menurut Karel, jika orang tidak memahami mengenai bahasa pemograman terlebih dahulu, akan sulit mengandalkan ChatGPT untuk membuat sebuah pemograman. “Kita harus benerin banyak bahasa programnya setelah keluar dari ChatGPT,” tambah Karel.
Justru Karel melihat hal ini sebagai peluang besar bagi lulusan ilmu komputer seperti dirinya kelak. “Saya akan masuk ke situ setelah lulus nanti,” katanya
Salah satu peluang baru yang muncul, menurut Karel adalah kehadiran profesi prompt engineering yang bertugas untuk menuliskan teks paling efektif supaya kecerdasan artifisial generatif menghasilkan output yang diinginkan.
Karel justru khawatir jika tidak memahami mengenai kecerdasan artifisial generatif secara mendalam. “Saya takut kalau saya enggak paham apa itu AI. Persaingannya semakin mengerikan, semakin banyak orang yang melek teknologi. Perkembangan teknologi digital pun juga sangat cepat,” sebut karel
Tidak Khawatir
Harits Aufaa (19) dan Vanesia Tasib (20), mahasiswa Program Studi Robotika dan Kecerdasan Buatan Universitas Airlangga, meyakini ilmu yang dipelajari sekarang kelak terpakai di beberapa pekerjaan di era revolusi kecerdasan artifisial.
Vanes sama sekali tidak khawatir kecerdasan artifisial generatif seperti ChatGPT akan menggantikan pekerjaan manusia. “Ada hal-hal yang tidak mungkin digantikan oleh AI, alat yang manusia buat, seperti kreativitas, tanggung jawab, disiplin, dan soft skill lainnya,” kata Vanes.
Hal senada juga disebutkan oleh Harits, bahwa ChatGPT tidak serta merta bisa langsung menggantikan, tapi bisa membantu manusia untuk mencapai tujuan, misalnya membuat aplikasi. “Sebaliknya, AI hanya ‘berbahaya’, jika kita tidak bisa memaksimalkan penggunaan AI,” tambah Harits.
Harits pun bercita-cita, kelak sebagai praktisi AI bisa mengelola AI untuk membantu masyarakat, salah satunya menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru berbasis AI, menggantikan pekerjaan yang telah tergantikan oleh AI.
Ketersediaan Tenaga Kerja
Harits, Vanes, Maria, Meilani, dan Karel, merupakan bagian dari lulusan Science Technology Engineering Math (STEM). Lulusan STEM ini, menjadi bagian dari sumber daya manusia yang dibutuhkan di era kecerdasan artifisial ini.
Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri AI Indonesia (KORIKA) Hammam Riza mengingatkan agar para lulusan STEM perlu melengkapi penguasaan ilmu lainnya di luar Sains dan teknologi.
Menurutnya, para lulusan STEM ini mempunyai keunggulan bagaimana cara menjadi seorang sains data di sebuah perusahaan. "Proses dalam sains data yang mengacu data driven solution atau data driven decision, sekarang sangat dibutuhkan di perusahaan," jelas Hammam, saat ditemui Senin (12/06/2023) lalu.
Lulusan STEM seperti Maria, Meilani, Karel, Hartis, dan Vanes kelak, mempunyai potensi besar untuk lebih memahami kecerdasan artifisial. Kekhawatiran akan tergantikan seharusnya ditepis dengan lebih mempelajari kecerdasan artifisial mendalam serta humaniora/sosial sebagai ilmu tambahan.
Seperti kata Vanes,“Sekarang saatnya kita berkolaborasi dengan mereka yang bukan manusia. Teknologi justru membantu kita. Jangan jadikan AI sebuah ketakutan, tapi sebagai alat bantu kita, menyempurnakan apa yang sebenarnya menjadi tujuan besar kita.”