Pola asuh yang keliru dalam keluarga dapat menjadi salah satu pemicu anak-anak jatuh menjadi korban perdagangan manusia. Hubungan keluarga yang harmonis menjadi benteng awal pencegahan.
Oleh
DIV/JOG/FRD/ILO
·3 menit baca
ARSIP KOMPAS
RA (16) korban anak yang diperdagangkan lewat media sosial di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS - Anak korban tindak pidana perdagangan orang tidak semata karena dipicu desakan ekonomi. Ada juga korban yang berasal dari keluarga yang mapan. Untuk itu, pola asuh dalam keluarga penting untuk mencegah anak terjerumus.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Sholihah mengatakan, praktik perdagangan anak tak jarang menjerat korban dari latar belakang keluarga sejahtera. Belakangan diketahui, anak yang menjadi korban ini berasal dari keluarga dengan pola asuh yang keliru.
“Sejumlah korban dari keluarga sejahtera itu ternyata kurang perhatian dari keluarga. Padahal, atensi dan pola asuh yang baik di keluarga memainkan peran penting untuk mencegah perdagangan anak. Hal ini sangat berandil besar sebagai perlindungan anak di sektor hulu,” kata Ai, saat ditemui awal Februari lalu.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah
Dalam sejumlah kasus korban perdagangan anak dari keluarga sejahtera, Ai menyebut sumber permasalahannya bermula dari perasaan tidak nyaman ketika berada di rumah. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena orang tua yang kurang memerhatikan kemauan anak, membatasi, bahkan terlalu mengekang anak.
Sejumlah korban dari keluarga sejahtera itu ternyata kurang perhatian dari keluarga. Padahal, atensi dan pola asuh yang baik di keluarga memainkan peran penting untuk mencegah perdagangan anak. ( Ai Maryati Sholihah)
Menurut Ai, keluarga harus memperbarui pola asuh yang lebih memberikan kehangatan, perhatian, serta mendengar apa yang dirasakan anak. Kenyamanan itu mesti dihadirkan dan dipastikan bersumber dari rumah, dan saat anak sedang bersama orang tua.
“Membangun dialog, dan saling memberikan kepercayaan kepada anak saya rasa penting. Jangan sekalipun menempatkan anak sebagai tersangka yang kita hakimi. Jangan sampai anak dilanda ketakutan, mencari perlindungan, justru jauh dari luar keluarga. Ini bisa menjadi ancaman berikutnya,” ungkap Ai.
Sejumlah anak berhadapan dengan hukum (ABH) sedang menjalankan shalat berjamaah di Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Bahtera) Bandung, Jawa Barat pada Rabu (18/1/2023).
Child Protection Specialist Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Bahtera) Faisal Cakra Buana mengatakan, kegagalan pengasuhan anak dapat terjadi saat anak kerap mendapatkan kekerasan oleh keluarganya. Anak yang pernah menerima pukulan, bentakan, pengabaian, ancaman, hingga kekerasan seksual cenderung memiliki kecerdasan emosi yang lemah.
Anak dengan kecerdasan emosi yang lemah akan mudah menyalahkan orang lain, mudah curiga, mudah tersinggung, memiliki daya juang yang rendah, dan selalu berpikir negatif. Kerentanan ini akan menguat apabila kekerasan yang didapatkan membekas ke dalam kalbu si anak. "Persoalan kehidupan tidak hanya bisa diselesaikan dengan kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini hanya bisa didapatkan dari kasih sayang dan cinta kasih," ungkap Faisal.
ARSIP KOMPAS
UNA (16) korban perdagangan anak menjadi terapis di salah satu panti pijat plus-plus di Jakarta
Kekerasan di rumah
Di sisi lain, anak yang kerap mendapat kekerasan juga cenderung memiliki jiwa yang labil. Akibatnya anak akan rentan berperilaku melawan norma, menjadi korban eksploitasi, dan bertindak melanggar hukum.
Sejak tahun 1995, Yayasan Bahtera mendampingi anak-anak yang masuk dalam kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus (AMPK). Anak-anak tersebut meliputi korban perdagangan anak, pekerja seks komersial anak, hingga anak yang berkonflik dengan hukum. Dari pendalaman dilakukan, hampir semua anak tersebut mengaku pernah mendapatkan kekerasan oleh keluarga. "Berhasil atau tidaknya sebuah program dari yayasan untuk memerangi perdagangan anak, semuanya kembali ke orangtua," ujar Faisal.
ARSIP KOMPAS
NT (19), korban perdagangan anak saat ditemui di rumahnya di Subang, Jawa Barat pada Kamis (2/2/2023). NT pernah dipaksa menjadi pekerja di salah satu kafe di Gang Royal, Kampung Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara.
Selaput kosong
Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto menegaskan, memang kerap ada fenomena keluarga selaput kosong. Sebutan itu disematkan untuk keluarga yang mapan secara ekonomi, tetapi hubungan di dalam keluarga, termasuk dengan anak, terjalin kering. Kondisi ini membuat anak rawan terpapar pengaruh buruk dari luar rumah.
Hal-hal seperti narkoba hingga dunia prostitusi dapat masuk dengan mudah saat peran keluarga absen. Saat sudah terpapar begitu, Bagong menilai anak mungkin butuh pendekatan penanganan yang berbeda.
“Mungkin butuh pendekatan psikologis kepada anak. Tetapi pertanyaannya, mungkinkah mengandalkan peran orang tua atau keluarga saja? Dalam kondisi tertentu ada keluarga yang tidak punya kesempatan dan kemauan agar anaknya pulih. Sehingga menurut saya, selain keluarga, bisa juga mengandalkan dukungan komunitas tertentu, misalkan, kelompok pengajian,” ujarnya.
ADITYA DIVERANTA
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menilai, persoalan ekonomi memang bukan masalah satu-satunya sehingga anak dapat terjerumus menjadi korban perdagangan manusia.
"Seringkali masalah yang dihadapi oleh anak itu selalu berhubungan dengan kerapuhan orang tua dalam memberikan pengasuhan yang layak," kata Nahar.