Hasil analisis tumpang susun peta bangunan dengan peta rencana tata ruang wilayah menemukan banyak pelanggaran tata ruang di daerah aliran sungai yang paling berisiko di Indonesia.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, Yoesep budianto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Luasnya perubahan lahan terbuka menjadi lahan terbangun serta adanya pelanggaran aturan tata ruang banyak ditemukan di daerah aliran sungai Citarum dan Barito. Kedua daerah aliran sungai ini memiliki risiko bahaya bencana banjir dan longsor tertinggi di Indonesia. Pengendalian dan penertiban aturan tata ruang masih tumpul.
Dengan menggunakan data Global Human Settlement Layer tahun 2000 dan 2020 di daerah aliran sungai (DAS) Citarum dan Barito yang ditumpang susun, Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan ada penambahan lahan terbangun atau lahan yang sudah ditutupi berbagai jenis bangunan fisik (rumah, industri, hingga pusat perdagangan) yang cukup masif. Di DAS Citarum ditemukan 28.031 hektar lahan terbangun baru selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 2000 di DAS Citarum tercatat hanya 84.413 hektar lahan terbangun. Data GHSL tahun 2022 menunjukkan sudah ada 112.445 hektar lahan terbangun. Selama 20 tahun tercatat peningkatan lahan terbangun di DAS Citarum sebesar 33 persen.
Dalam rentang waktu yang sama, hal serupa juga terjadi di DAS Barito, Kalimantan Selatan dengan pertambahan 19.692 hektar lahan terbangun. Angka ini bahkan naik hingga 73 persen dari lahan terbangun sebelumnya pada tahun 2000 dengan luas 27.063 hektar.
DAS Citarum dan Barito adalah dua DAS dengan skor indeks risiko bahaya bencana hidrometeorologi tertinggi di Indonesia dengan skor 0,74 dan 0,62. Indeks ini memperhitungkan jumlah kejadian bencana, jumlah korban terdampak, serta jumlah bangunan rusak, selama periode 2013–2022.
infografik Lahan Terbangun yang Melanggar Tata Ruang di DAS Citarum dan Barito
Tidak sesuai aturan
Luas dan masifnya pertumbuhan lahan terbangun di dua DAS itu tidak semuanya sesuai dengan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hasil analisis Kompas, ada 25.132 hektar atau 22,3 persen lahan terbangun di DAS Citarum tidak sesuai peruntukannya. Sementara di DAS Barito, ada lahan terbangun seluas 9.916 hektar atau 21,9 persen yang tidak sesuai peruntukannya.
Temuan ini didapat dari data tumpang susun GHSL tahun 2020 dengan peta RTRW terbaru kabupaten/kota yang masuk dalam wilayah DAS Citarum dan Barito.
Di DAS Citarum, ketidaksesuaian fungsi lahan paling banyak terjadi di lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Ada 16.170 hektar lahan yang sudah tertutup bangunan fisik di areal dengan peruntukan pertanian tanaman pangan dan hortikultura ini. Berikutnya di lahan dengan peruntukan perkebunan (3.248 hektar), hutan lindung atau cagar alam (2.428 hektar), serta sempadan badan air (sungai/waduk/situ/danau) (2.314 hektar).
Di DAS Barito, lahan yang sudah tertutup bangunan fisik paling banyak ada di areal pertanian pangan dan hortilkultura (3.327 hektar), sempadan sungai/waduk/situ (2.919 hektar), perkebunan (1.929 hektar), serta hutan produksi atau hutan rakyat (1.017 hektar).
Selain itu, analisis tumpang susun data GHSL dengan data digital elevation model atau peta ketinggian (DEMNAS) dari Badan Informasi Geospasial juga menemukan lahan terbangun yang berada di kelerengan sangat curam atau kemiringan lebih dari 24 derajat (45 persen). Di DAS Citarum kondisi ini banyak ditemukan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung dengan luas masing-masing 158 hektar dan 135 hektar lahan terbangun.
DAS Citarum sebetulnya mendapat perhatian pemerintah pusat melalui Program Citarum Harum yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves). Ada 11 program yang dilakukan untuk memulihkan Sungai Citarum. Salah satunya melalui penataan ruang dan pendataan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di DAS Citarum.
Asisten Deputi Pengelolaan DAS dan Konservasi SDA Kemenkomarves M Saleh Nugrahadi mengakui, penataan ruang masih menjadi program yang belum maksimal khususnya persoalan perambahan lahan terbangun ke kawasan hutan. Saleh berpendapat ada dilema yang dihadapi pemerintah terkait pertanian di lahan lereng curam. Pemerintah sulit mencegah warga untuk memanfaatkan lahan yang mereka miliki. “Memang ada peraturan yang melarang kelerengan tertentu tidak diperbolehkan, tetapi praktiknya ya sulit (dicegah),” kata Saleh.
Kepala Bidang Penataan Ruang dan Pertanahan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kalimantan Selatan M Nur Sjamsi mengatakan pengendalian pemanfaatan lahan juga belum maksimal khususnya sempadan sungai di perkotaan dan perizinan pertambangan di kawasan DAS Barito.
Ada 25.132 hektar atau 22,3 persen lahan terbangun di DAS Citarum tidak sesuai peruntukannya. Sementara di DAS Barito, ada lahan terbangun seluas 9.916 hektar atau 21,9 persen yang tidak sesuai peruntukannya
Untuk menjaga kawasan hutan, Sjamsi mengatakan, kawasan Pegunungan Meratus saat ini sedang diajukan mendapat pengakuan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) agar menyandang status global geopark. “Konsep tata ruang ini menggeser ketergantungan ekonomi dari tambang akan kami alihkan ke wisata,” kata Sjamsi.
Biofisik
Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Budi Situmorang, penataan dan rehabilitasi DAS harus bermula dari penyusunan regulasi tata ruang oleh pemerintah, baik berupa RTRW maupun Rencana Detil Tata Ruang Wilayah.
Namun menurutnya, rencana tata ruang yang sah juga dapat meningkatkan risiko bencana apabila aturan tata ruang tersebut tidak sesuai dengan kondisi biofisik daerah yang diatur. Misalnya, lahan dengan kemiringan lebih dari 45 persen harus diatur sebagai ruang perlindungan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Pemerintah daerah tidak selalu mengikuti panduan teknis tata ruang yang ada. “Ini karena ada benturan ekonomi dan konservasi. Pemda enggak mengikuti panduan dan tidak berpikir dampaknya,” kata Budi.
Di sisi lain, penindakan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang belum maksimal. Kementerian ATR/BPN menemukan terjadi 4.285 pelanggaran tata ruang di 151 kabupaten/kota di seluruh Indonesia sejak 2015. Dari jumlah itu, baru empat kasus sedang diproses sanksi pidana, lalu 928 kasus (22 persen) dikenai sanksi administratif. “Kami mencari titik pelanggaran yang berdampak besar, sehingga orang lain jadi jera,” kata Budi.
Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Saparis Soedarjanto juga menyatakan, selama ini penyusunan aturan tata ruang tidak selalu selaras dengan cakupan DAS. Hal ini karena, aliran sungai dapat melintasi batas administrasi suatu wilayah. Saparis setuju bahwa semakin besar penyalahgunaan peruntukan lahan dapat meningkatkan potensi bencana.